MOJOK.CO – Pekerjaan resmi, digaji negara, kerap menenteng kondom ke mana-mana, dan pernah didamprat karena dianggap mau menghalangi orang memperbanyak “jumlah umat”. Itulah penyuluh KB.
Profesi yang saya tekuni memang tidak terlalu beken. Bahkan saking tidak bekennya, anak saya yang berusia hampir 11 tahun pun kurang detail mengetahui pekerjaan saya. Ketika saya bertanya kepadanya apa pekerjaan saya, dia hanya menjawab, “Bunda itu ngasih penyuluhan di desa-desa, kalau tidak salah tentang masyarakat apa ya…,” jawabnya tidak terlalu yakin.
Profesi saya adalah seorang penyuluh Keluarga Berencana atau masyarakat lebih sering menyebutnya sebagai penyuluh KB. Ngomong-ngomong, Anda tahu tidak penyuluh KB? Bersedihlah saya apabila banyak yang tidak tahu. Tapi saya menyadari sih, BKKBN saat ini tidaklah setenar dulu waktu saya SD. Karena saya ingat, selalu ada soal pelajaran di sekolah yang jawabannya adalah NKKBS alias Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera. Dan malangnya, saya hanya ingat jawabannya, tapi tidak ingat soalnya mengenai apa. Mungkin inilah waktunya bagi kami para penyuluh KB untuk mengembalikan kejayaan BKKBN, hehehe….
Pengalaman pertama kali terjun ke masyarakat untuk memberikan penyuluhan secara perorangan merupakan pengalaman yang sulit dilupakan. Berbekal data mengenai jumlah anak yang dimiliki oleh sebuah keluarga dan pengalaman zaman kuliah yang sering terjun ke masyarakat, saya bersama dengan beberapa teman dengan langkah tegap dan percaya diri mengetuk sebuah pintu rumah.
Rumah tersebut kami pilih karena si empu rumah memiliki anak 4 atau bahkan 5. Tak lama kemudian, seorang ibu membukakan pintu. Setelah berbasa-basi ala kadarnya, kami pun menceritakan maksud tujuan kami berkunjung ke rumahnya. Dan apa jawaban ibu tersebut? “Saya itu pengin memperbanyak jumlah umat,” ia berkata dengan nada bicara amat keras. Setelah itu saya sudah tidak terlalu ingat lagi apa yang dikatakan karena ia langsung menceramahi kami dengan dalil agama. Seketika hati saya nelangsa, pekerjaan ini tak semudah yang saya bayangkan!
Meskipun belum sembuh dari trauma yang ditimbulkan si “ibu banyak umat”, saya tetap wajib melakukan penyuluhan perorangan. Kali ini saya beserta teman masih mengunjungi sebuah rumah yang empunya juga beranak banyak.
Kami tiba di rumah itu. Begitu pintu dibukakan, belum sempat kami berbasa-basi ibu pemilik rumah langsung memarahi kami. Iya, memarahi kami dengan mengatakan bahwa kami tidak berhak mengatur hidupnya serta keluarganya tidak pernah merepotkan kami hingga ia dan suaminya bebas punya anak berapa saja. Ia juga mengatakan bahwa kedatangan kami tidak ada gunanya karena ia tidak akan terpengaruh oleh kami.
“Saya nggak mau ikut KB!” itu kalimat pamungkasnya.
Setelah hening beberapa saat, kami hanya berucap, “Siapa yang mau menyuruh jenengan (Anda) KB? Kami hanya mau bilang kalau anaknya ditambahi biar genap kalau mau bikin kesebelasan.”
Seketika ibu tersebut reda amarahnya dan malah menangis. “Selama ini, semua orang menyuruh saya buat KB karena anaknya banyak. Jadi saya hafal dan marah. Tapi jenengan yang penyuluh KB malah ngendika (berkata) seperti itu. Saya jadi malu.”
Selang beberapa minggu kemudian, kami mendapat kabar bahwa salah seorang anaknya hilang. Dicari ke mana pun tidak ketemu bahkan sampai dicari ke desa tetangga. Ternyata di luar dugaan, si anak tertidur di bawah tumpukan pakaian kering yang belum sempat dilipat. Saking banyaknya pakaian tersebut, ditambah posisi tidur si anak yang tepat di bagian lengkungan dinding rumah yang terbuat dari bamboo, makin sempurnalah ia dilewatkan orang lain yang mencarinya.
Menjadi penyuluh KB juga identik dengan alat kontrasepsi, terutama kondom. Padahal tupoksi saya tidak hanya mengurusi alat kontrasepsi, tetapi juga mengenai kependudukan dan pembangunan keluarga (mungkin kapan-kapan ini perlu dibahas?). Nah, karena identik dengan kondom inilah saya sering dijadikan bahan ejekan teman-teman. Dari nge-tag di media sosial kalau ada tulisan mengenai kondom, obrolan yang selalu dikait-kaitkan dengan kondom, hingga dipanggil “juragan kondom”.
Saking menghayati dunia perkondoman, begitu menikah, saya langsung bilang ke suami untuk mempraktikan cara menggunakan kondom. Kan tidak lucu saya memberi penyuluhan tentang kondom tetapi saya sendiri tidak bisa menggunakannya. Dan ternyata menggunakan kondom bagi pemula bukanlah hal yang mudah. Ini tentu saja berdasarkan pengalaman saya dan suami.
Semenjak saat itu, setiap kali penyuluhan mengenai penggunaan alat kontrasepsi, saya sering melakukan praktik cara menggunakan kondom. Dan saya sangat menikmati momen tersebut Ketika para ibu berceletuk. Misal, mengenai ukuran milik suaminya. “Mbak, kok contohnya kecil? Punya suamiku lebih gede lho.” Seloroh ini kemudian disambut candaan, “Gedenya seberapa, Bu?” yang ia jawab lagi, “Pokoknya kalau tak genggam pakai tanganku nggak muat.”
Atau celetukan orang yang pengin segera pulang. “Ayo, Mbak, pertemuannya ditutup. Saya pengin segera pulang.” Tak jarang pula ada yang memberi usulan, “Mbak biar lebih greng, ngasih kondomnya yang bergerigi, jangan yang polos.” Atau menanyakan, “Mbak, ada kondom yang aroma durian nggak?”
Celetukan-celetukan itulah yang membuat saya bisa tertawa lepas dan sejenak melupakan bahwa saya masih memiliki angsuran yang harus saya bayar setiap bulannya.
BACA JUGA Di Lampung Dianggap Orang Jawa, di Jawa Dianggap Orang Lampung dan esai-esai Mojok lainnya.