MOJOK.CO – Seorang tamu berkunjung ke kediaman Gus Mut dan mulai mempertanyakan kenapa agama itu sering nggak rasional atau nggak logis.
Entah mimpi apa Gus Mut semalam, hari ini dirinya kedatangan seorang tamu yang sedang gundah terhadap agama yang dipeluknya. Sebenarnya bukan saja meragukan agama yang dipeluknya, orang ini juga meragukan konsep agama-agama di dunia.
Setelah melalang buana ke mana-mana, orang ini pun menemukan kabar bahwa kalau mau bertukar pikiran bisa ke Gus Mut.
“Memangnya Gus Mut itu Islam sejak kapan?” kata tamu ini langsung memulai obrolan dengan serius.
“Wah, saya nggak tahu,” kata Gus Mut.
“Lho kok nggak tahu? Lha sampeyan itu agamanya Islam apa bukan, kok bilang nggak tahu?” tanya si tamu.
“Menurut sampeyan, saya ini Islam bukan?” tanya Gus Mut.
“Ya Islam,” kata si tamu.
“Ya berarti saya Islam sejak sampeyan menganggap saya Islam,” kata Gus Mut.
“Lah kok patokan Islam sampeyan malah dari saya?” tanya tamu ini heran.
“Memang seharusnya patokan itu dari siapa?” tanya Gus Mut lagi.
“Ya dari sampeyan sendiri to,” kata si tamu.
“Kalau patokannya dari saya sendiri, memang sampeyan percaya kalau saya Islam hanya karena saya bilang saya Islam lalu saya berpakaian dan bersikap kayak orang Islam?” tanya Gus Mut lagi.
“Ya nggak juga sih,” kata si tamu.
“Makanya itu, kalau sampeyan nggak percaya, kenapa saya harus memaksa sampeyan percaya kalau saya Islam?” kata Gus Mut.
“Gus Mut, percaya Allah?” kata si tamu tiba-tiba.
“Percaya. Sampeyan?” Gus Mut balik bertanya.
“Dulu sih percaya,” kata si tamu.
“Sekarang?”
“Sudah nggak lagi,” kata si tamu.
“Dulu sempat percaya itu kapan kalau boleh saya tahu, Mas?” tanya Gus Mut.
“Ya waktu kecil, waktu saya masih dididik keras sama bapak ibu saya soal agama. Tapi saat itu saya pikir itu bukan bentuk kepercayaan sih, nggak murni dari dalam hati saya. Cuma kebetulan keluarga saya religius saja saya jadi ikut agama bapak ibu saya,” kata si tamu.
“Lalu?” tanya Gus Mut.
“Lalu saya sekolah ke mana-mana. Belajar antropologi, sejarah, sosiologi, filsafat, sampai kemudian menemukan bahwa agama yang saya percayai ini aneh,” kata si tamu.
“Aneh? Aneh di mananya?” tanya Gus Mut.
“Ya banyak sekali hal-hal yang nggak rasional dan logis. Padahal di sisi lain dalam agama, kita juga diperintahkan untuk membaca dan berpikir, lalu kenapa ketika saya banyak berpikir dan tahu banyak hal karena membaca, saya justru menemukan bahwa ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan secara rasional pada agama saya,” kata si tamu.
“Oh, berarti sampeyan itu meragukan agama karena agama itu nggak rasional?” tanya Gus Mut.
“Iya,” kata si tamu.
“Oh, begitu,” kata Gus Mut.
Si tamu bingung. Kedatangannya ke Gus Mut memang untuk menguji reputasi Gus Mut yang dikenal jago dalam ilmu mantiq atau ilmu logika. Lalu ketika agamanya diragukan sebegini keras kenapa tidak ada bantahan sama sekali? Si tamu heran.
“Gus Mut nggak ingin membantah saya?” tanya si tamu.
“Apanya yang perlu dibantah?” tanya Gus Mut lagi.
Si tamu tambah heran. Sepertinya reputasi yang didengarnya soal Gus Mut tadi cuma pepesan kosong saja.
“Ya pernyataan saya tadi. Apa Gus Mut nggak merasa terganggu dengan orang kayak saya yang meragukan agama Gus Mut?” tanya si tamu.
“Kenapa saya mesti terganggu?” tanya Gus Mut lagi.
“Ya kan bisa saja saya bikin banyak orang murtad dari agama Gus Mut didasarkan dari keraguan saya ini,” kata si tamu.
“Kalau ada orang yang murtad hanya karena keraguanmu, ya berarti memang orang itu sebenarnya tidak beriman dari dulu. Kedatanganmu ke mereka itu kan bukan penentu,” kata Gus Mut sambil terkekeh.
Tiba-tiba Gus Mut membenarkan letak duduknya.
“Saya ingin tanya, Mas, boleh?” kata Gus Mut.
“Silakan,” kata si tamu.
“Anu, Mas, kira-kira sampeyan kalau menebak air teh dalam cangkir ini rasanya apa?” tanya Gus Mut sambil menunjuk dua cangkir teh di hadapannya.
“Manis,” kata si tamu.
“Dari mana sampeyan tahu? Kan sampeyan belum merasakannya dari sejak datang tadi?” tanya Gus Mut.
“Ya karena kebiasaan. Biasanya kan teh yang disuguhkan ke tamu itu dikasih gula,” kata si tamu.
“Berarti sampeyan punya pola,” tanya Gus Mut.
“Maksudnya, Gus?”
“Ya pola. Sampeyan dari dulu pernah merasakan teh suguhan dari tuan rumah—entah di mana—lalu meminumnya. Kejadian itu terjadi berkali-kali. Ingatan itu lalu dijadikan pola. Jadi sebuah kesimpulan sederhana yang jadi jawaban sampeyan bahwa air teh di hadapan kita ini pasti dikasih gula,” kata Gus Mut.
“Iya, benar. Lantas?”
“Sekarang kalau saya tanya agak jauh, kira-kira orang zaman dulu yang menemukan gula pertama kali, tahunya rasa gula itu manis dari mana?” tanya Gus Mut.
“Ya dicicip.”
“Kalau sampeyan? Apa perlu mencicip gula dulu untuk tahu bahwa gula itu manis? Misalnya ketika beli gula di warung, apa iya sampeyan akan mencicip gula yang akan dibeli?” tanya Gus Mut.
“Ya nggak perlu. Kan semua orang udah tahu kalau gula itu manis,” kata si tamu.
“Oh, jadi kesimpulan kita bisa dilandaskan pada pengalaman orang lain yang pernah mencicipi rasa gula ya?” tanya Gus Mut.
“Ya, itu bisa,” kata si tamu.
“Berarti sebelum anggapan rasional bahwa gula itu manis, ada pengalaman empirik dari orang lain dulu ya?” kata Gus Mut.
“Maksudnya, Gus?” tanya si tamu.
“Misalnya gini. Orang zaman dulu melihat awan mendung setelah itu hujan deras. Orang jadi mikir. Wah, ternyata awan mendung itu tanda-tanda akan hujan. Lalu cerita ke orang lain. Orang lain percaya, nah, itulah rasionalitas. Jadi kita tahu tanpa perlu mengalami langsung. Atau cuma butuh mikir,” kata Gus Mut.
“Itulah kenapa rasionalitas penting, Gus. Termasuk juga untuk melihat bagaimana cara kerja agama,” sergah si tamu.
“Benar. Sekarang saya tanya, ada nggak hal-hal di dunia ini yang bisa kamu alami dulu tapi akalmu itu belum bisa menjawabnya?” tanya Gus Mut.
“Memang ada, Gus, kejadian kayak gitu? Ya mana mungkin. Setiap kejadian yang manusia alami itu pasti bisa dijelaskan pakai akal,” kata si tamu.
“Sampeyan nggak pernah jatuh cinta ya?” tanya Gus Mut tiba-tiba.
Si tamu kaget mendengar pertanyaan itu.
“Ya pernah dong, Gus. Dengan istri saya, saya jelas jatuh cinta,” kata si tamu.
“Lha ya itu, apa iya akal sampeyan bisa langsung menjelaskan kenapa sampeyan jatuh cinta? Kan nggak. Alasan-alasan sampeyan cinta sama istri sampeyan kan lahir setelahnya. Setelah kejadian, baru akal masuk di sana, menjelaskan. Penjelasan akal pun kadang-kadang nggak memuaskan,” kata Gus Mut.
“Lantas?” tanya si tamu.
“Artinya, rasionalitas atau logika itu cuma satu dari sekian cara untuk menemukan kebenaran. Bukan satu-satunya. Kadang-kadang kebenaran itu ditemukan dulu sebelum akal sampai ke sana,” kata Gus Mut.
“Sama seperti orang beragama. Mereka menemukan dulu lewat pengalaman, baru akalnya masuk untuk mencoba menjelaskan. Kenapa begini, kenapa begitu, meski ya kadang nggak memuaskan jawabannya,” tambah Gus Mut.
“Lalu kenapa orang-orang tetap teguh beragama kalau tahu bahwa kepercayaannya itu tidak menjawab secara memuaskan?” tanya si tamu.
“Ya karena pondasi utama agama itu percaya. Hal yang baru bisa lahir dari pengalaman, bukan dari kepuasan, Mas.”