MOJOK.CO – Fanshuri merasa penasaran akan era keemasan zaman khilafah. Menurutnya, aneh saja kalau zaman sekarang kejayaan itu tak bisa diulang.
“Gus, kenapa Islam sekarang tak bisa kayak zaman khilafah dulu ya?” tanya Fanshuri di sela-sela main catur bareng Gus Mut.
“Islam sekarang? Islam yang mana nih maksudmu?” tanya Gus Mut.
“Ya Islam yang di Indonesia ini lah. Kalau denger cerita-cerita soal khilafah, di mana ilmu pengetahuan dan kekuatan Islam ada di puncak-puncaknya, kok Islam di zaman sekarang nggak bisa ya mendekati kayak gitu? Padahal kan teknologi sudah berkembang pesat, tapi kita masih aja kalah sama Barat,” kata Fanshuri.
Gus Mut terkekeh.
“Khilafah itu banyak serinya, Fan. Kamu merujuk yang era mana dulu ini?” tanya Gus Mut lagi.
“Ya khilafah yang zaman Harun Ar-Rasyid itu lho, Gus, contohnya. Itu kan eranya Abu Nawas kan? Era banyak orang-orang keren dan jenius-jenius… bahkan keempat mazhab yang populer, dari Imam Abu Hanifah Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal lahir di era itu semua,” kata Fanshuri.
Gus Mut tersenyum.
“Oh, era Kekhalifahan Abbasiyah to maksudmu?”
“Iya, Gus. Era itu,” jawab Fanshuri.
“Kamu tahu nggak ceritanya Khilafah Abbasiyah bisa berdiri?” tanya Gus Mut lagi.
“Ya berontak sama kekhalifahan sebelumnya kan, Gus? Kekhalifahan Umayyah kayaknya. Iya kan?” kata Fanshuri memastikan.
“Iya betul kok. Alasannya berontak kamu tahu nggak?” tanya Gus Mut kembali.
“Gus Mut ini kok malah jadi yang tanya-tanya saya. Saya ini kan tanya karena nggak tahu, malah dites begini. Hayaaa pusing saya, Gus,” kata Fanshuri sambil cengengesan.
Gus Mut ikut tertawa.
“Maksud saya, Kekhalifahan Abbasiyah itu bisa begitu tersohor itu karena sudah melakukan kudeta ke khilafah paling luas wilayahnya dalam sejarah Islam dan juga khilafah yang pernah masuk pada periode paling kelam,” kata Gus Mut.
“Lho lho? Gus Mut jangan sembarangan. Itu era khalifah lho, era khilafah, era kerajaan Islam, masa iya era kerajaan Islam punya sejarah kelam,” kata Fanshuri.
“Islam-nya sih nggak membawa kekelaman itu, tapi orang-orangnya itu yang membawa kelamnya sejarah Islam. Lagian, Kekhalifahan Umayyah itu pada periode-periode awal dan akhirnya, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Kerajaan Keluarga Arab ketimbang Kerajaan Islam, Fan,” kata Gus Mut.
Fanshuri terdiam sejenak. Bingung.
“Apa tadi, Gus? Kerajaan Arab? Kerajaan Islam? Memang ada bedanya ya?” tanya Fanshuri.
“Hoo, beda dong, Fan. Jadi gini cerita singkatnya. Adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang mengubah khilafah Islam ini jadi bersistem monarki absolute, khalifahnya turun-menurun untuk keturunan Arab, wabilkhusus untuk keturunan suku Quraisy saja. Ini sistem yang nggak dikenal sebelum-sebelumnya, termasuk era Khulafaurrasyidin. Muawiyah sendiri dipercaya terpengaruh pada sistem kerajaan di Persia dan Bizantium. Suatu ketika Muawiyah menetapkan putranya, Yazid bin Muawiyyah sebagai khilafah selanjutnya. Nah, penunjukkan semena-mena ini bikin Madinah berontak, karena di sana ada Hasan bin Ali, cucu Nabi Muhammad. Karena Hasan bin Ali dan pendukungnya tak mau tunduk sama aturan monarki ini, lalu terjadilah peristiwa Karbala itu,” kata Gus Mut.
Fanshuri melongo, cuma menelan ludah sejenak.
“OOH, jadi Karbala itu latar peristiwanya karena itu to? Baru tahu saya,” kata Fanshuri.
“Tapi Kekhalifahan Umayah itu juga berjasa besar menyebarkan Islam sampai Andalusia, Spanyol Selatan, cuma karena wilayahnya kelewat luas dan sistem pemerintahan sentralistik ke Damaskus doang, jadi ya gitu deh,” kata Gus Mut.
“Gitu deh gimana, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya ciri-ciri pemerintahan sentralistik itu kan rawan sama diskriminasi sama warganya. Cuma tafsiran pemerintah pusat aja yang diakui kebenarannya. Makanya era itu permusuhan dengan orang-orang Syiah dan masyarakat non-Arab itu kental sekali. Mereka itu adalah kelompok masyarakat kelas dua, selain masyarakat non-muslim, dan masyarakat arab yang bukan dari keturunan Suku Quraisy,” kata Gus Mut.
“Oalah, jadi karena diskriminasi itu, lantas Bani Abasiyah memberontak ya, Gus?” tanya Fanshuri.
“Iya itu salah satu sebabnya. Tapi ini ceritanya sangat panjang, Fan. Sejarah khilafah ini tuh udah kayak ‘Game of Thrones’ gitu. Jadi singkatnya, Khilafah Abbasiyah itu lahir berdasar atas ketidakpuasan pemerintahan sentralistik Kekhalifahan Umayah, makanya Kekhalifahan Abbasiyah itu lebih desantrilistik, sekat-sekat agama dan ras dipangkas. Dari pikiran yang lebih egaliter itu lah kemudian mereka jadi lebih rasional. Mau terbuka menerima ilmu pengetahuan dari luar Islam, termasuk menerjemahkan kitab-kitab filsafat dari Yunani. Ibukota pun dipindah dari Damaskus ke Baghdad, agar citra ‘Kerajaan Arab’-nya milik Kekhalifahan Umayah bisa digeser. Seolah mau bilang, ‘ini kerajaan Islam’ bukan lagi ‘kerajaan Arab’,” kata Gus Mut.
Fanshuri masih melongo.
“Wah, ruwet juga ya ceritanya, Gus,” kata Fanshuri.
“Iya, memang ruwet. Tapi paling tidak dengan pikiran yang lebih rasional dan terbuka dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain, tidak kagetan dengan kepercayaan di luar Islam, justru Kekhalifahan Abbasiyah itu mencapai puncaknya. Lahir keempat mazhab yang dikenal di Indonesia misalnya. Ya perkembangan ini masuk akal karena kebutuhan Kekhalifahan Abbasiyah dengan teritori begitu luas, penggunaan ilmu fikih pun mengalami akulturasi dengan bangsa-bangsa dan tradisi lain di luar tradisi arab. Seperti kita mengenal zakat pakai beras misalnya, itu bagian dari jasa Kekhalifahan Abbasiyah yang lebih moderat,” kata Gus Mut.
Fanshuri manggut-manggut.
“Jadi kalau Islam di Indonesia nggak bisa kayak gitu alasannya berarti…”
“Ya kalau kita sebagai masyarakat muslim masih tak mau berpikiran terbuka, kaku, tertutup, ya sulit kalau mau mendekati kayak era Kekhalifahan Abbasiyah. Hawong, jangankan sama yang non-muslim, yang sesama muslim aja kita bisa saling serang satu sama lain kok,” kata Gus Mut.
Fanshuri kali ini cuma bisa menerawang.
“Ternyata khilafah yang diangan-angankan orang-orang itu masih jauh sekali ya, Gus,” kata Fanshuri.
Gus Mut cuma terkekeh.
BACA JUGA Ada Khilaf dalam Khilafah dan kisah-kisah Gus Mut lainnya.