MOJOK.CO – Norma dan aturan, baik itu yang dari agama maupun negara, didesain untuk membatasi manusia beserta keinginannya.
Kabar penolakan pesantren Kiai Kholil atas tawaran bantuan salah satu kampanye politisi daerah bikin geger warga kampung. Apalagi menurut isu yang beredar, besaran bantuan itu tidak main-main, hitungannya sudah bukan puluhan juta melainkan ratusan juta. Ada yang mendukung penolakan itu, namun ternyata ada juga yang kecewa dengan penolakan itu.
Beberapa yang kecewa dengan itu adalah Fanshuri dan Mas Is. Keduanya memilih memberanikan diri untuk sowan ke Gus Mut, putra dari Kiai Kholil. Mereka berdua ingin mempertanyakan apa alasan penolakan itu, mengingat pesantren memang sedang butuh dana.
“Apa Gus Mut itu tidak merasa Kiai Kholil terlalu idealis ya, Gus? Lagian bantuan itu kan kita semua tahu nggak akan mungkin dimakan sama Kiai Kholil, tapi 100 persen dikasih ke pesantren,” tanya Mas Is membuka pembicaraan.
“Iya, Gus. Menolak rezeki nomplok begitu bisa bahaya. Bisa jadi senjata makan tuan,” tambah Fanshuri.
Gus Mut cuma tersenyum, sambil menyodorkan teh ke kedua tetangganya itu.
“Bapak tentu sudah memikirkan masak-masak soal itu. Tenang aja. Kayak rezeki itu cuma dari sana aja sih kalian ini,” kata Gus Mut santai.
“Bukan, bukan gitu, Gus,” kata Mas Is, “maksud saya, kita kan semua tahu pesantren ini kan lagi butuh banyak dana. Misalnya aja, kamar mandi sebelah utara masjid kan perlu direnovasi. Belum dengan pembangunan kamar baru, santri sudah membludak tapi ruangan sudah nggak ada. Ini sudah dalam tahap kepepet, Gus. Kalau kepepet kan duit kayak gitu kan nggak apa-apa.”
Gus Mut tersenyum mendengarnya.
“Ah, Gus Mut ini kalau dikasih tahu selalu senyam-senyum aja sih,” kata Fanshuri.
“Haha, kalian kok malah jadi baper sih. Aku itu tersenyum karena benar-benar senang dengan respons kalian atas penolakan bantuan dari Bapak,” kata Gus Mut.
Fanshuri dan Mas Is saling pandang. Keduanya bingung.
“Lho, kok Gus Mut malah senang kita protes gini?” tanya Fanshuri.
“Ya itu tandanya kalian sayang banget sama pesantren ini. Sampai direla-relain buat sowan ke rumah, cuma buat menyampaikan keberatan,” kata Gus Mut.
“Nah, iya, Gus. Justru karena kami itu sayang banget dengan pesantren ini, makanya kami itu nggak habis pikir dengan jalan pikiran Kiai Kholil,” kata Mas Is.
Gus Mut lagi-lagi tersenyum.
“Memangnya kalau menurut Gus Mut, apa alasan kita perlu nolak bantuan kayak begitu? Padahal kita sebenarnya lagi butuh-butuhnya,” tanya Fanshuri.
“Fan, pesantren itu memang nggak butuh dana itu. Itu dulu hal yang perlu kamu tahu,” kata Gus Mut.
“Ah, Gus Mut ini bisa aja. Jelas-jelas kapan hari lalu Kiai Kholil pernah cerita ke saya kalau beliau punya keinginan untuk memperluas area pesantren,” kata Mas Is.
“Itu kan keinginan, bukan kebutuhan,” kata Gus Mut.
“Hasssh, kan sama aja, Gus,” kata Mas Is.
“Ya beda dong,” kata Gus Mut.
Fanshuri dan Mas Is terdiam. Bingung.
“Keinginan itu lahir lebih karena kesenangan. Sedangkan kebutuhan itu justru kadang lahir dari hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Gus Mut.
“Ma, maksudnya gimana itu, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya kayak salat atau ibadah misalnya. Itu kesenangan atau kebutuhan?” tanya Gus Mut.
Fanshuri terdiam. Mas Is cuma melirik Fanshuri, tak tahu harus menjawab apa.
“Ibadah itu kebutuhan, tapi jarang ada orang yang bisa sampai pada tahap jadi kesenangan. Ada memang, orang-orang saleh beneran atau sekelas sufi senang dengan ibadah, tapi itu juga jarang. Atau kita tahu kalau anak kecil itu butuh belajar, tapi apa mereka senang belajar? Kan belum tentu. Artinya apa yang disampaikan Bapak ke Mas Is itu cuma keinginan, bukan kebutuhannya Bapak,” kata Gus Mut.
“Memang butuhnya Kiai Kholil apa? Punya pesantren besar juga kan?” tanya Mas Is.
“Bukan dong. Butuhnya bapak itu bahkan bukan punya pesantren, tapi butuhnya Bapak adalah ngajar. Kebetulan aja makin banyak orang yang ke sini nitipin anaknya buat belajar ngaji. Jadi ‘terpaksa’ dibangun kamar-kamar biar mereka yang belajar bisa menetap di sini sebentar untuk konsen diajar Bapak. Dalam hal ini, baik si santri dan Bapak, sama-sama butuh. Bukan sama-sama ingin. Bapak butuh menyampaikan ilmunya agar jadi jariyah, santri butuh ilmu karena itu memang kewajiban dalam agama. Jadi udah sampai di situ aja, simpel,” kata Gus Mut.
“Kalau ada kesempatan memperbanyak santri kan makin bagus dong, Gus? Artinya Kiai Kholil menutup kemungkinan santri-santri lain di luar sana untuk belajar kalau nolak bantuan begitu,” kata Fanshuri.
Gus Mut terkekeh.
“Bapak itu khawatir, Fan,” kata Gus Mut.
“Khawatir apa, Gus? Khawatir kalau bantuan ini pasti ada udang di balik batunya ya karena ini pemberian politisi?” tanya Mas Is.
“Ya itu salah satunya, tapi ada yang lebih mengkhawatirkan Bapak ketimbang itu,” kata Gus Mut.
“Apa, Gus?” tanya Fanshuri.
“Bapak khawatir kalau kelewat banyak santri, Bapak nggak bisa mengontrol semuanya. Khawatir itu cuma jadi mewah-mewahan secara lahirnya, tapi rusak secara dhohirnya. Intinya, Bapak itu belum siap kalau tiba-tiba santrinya jadi membludak dua atau tiga kali lipat. Ada pertanggungjawaban yang ngeri menurut pandangan Bapak. Makin banyak jamaah, makin besar tanggungannya dan untuk sementara ini Bapak belum sepenuhnya siap,” kata Bapak.
Fanshuri dan Mas Is terdiam sejenak.
“Hooo, pantes Kiai Kholil lebih memilih jadi kiai kampung aja ya selama ini ketimbang terjun ke medan yang lebih luas,” kata Fanshuri sedikit lirih.
“Lah iya,” kata Gus Mut.
“Ta, tapi, Gus….” kata Mas Is tiba-tiba, “saya itu masih nggak habis pikir. Duit yang dijanjikan buat bantuan itu besar banget lho. Gila apa, duit segitu ditolak Kiai Kholil. Apa nggak ada rasa eman-eman blas, Gus?”
Gus Mut kali ini terkekeh.
“Kok malah ketawa sih, Gus, ini saya tanya beneran lho,” kata Mas Is.
“Ngapain eman-eman sama duit yang bukan punya kita, Mas Is? Sampean ini lho aneh-aneh aja,” kata Gus Mut.
“Lah tapi itu kan duit dalam proses mau jadi punya kita?” tanya Mas Is.
“Jangankan duit yang sedang dalam proses punya kita, duit yang kita punya sekarang aja hakikatnya bukan punya kita kok. Kalau begitu mikirnya ya jadi nggak ada yang perlu dieman-eman, Mas Is. Kalau Mas Is nganggap semua ini cuma titipan, ngapain eman-eman? Kalau sama harta begituan aja Mas Is merasa memiliki sepenuhnya, ya itu bakal berbahaya, Mas Is,” kata Gus Mut.
“Kok malah jadi berbahaya? Kan wajar dong, itu kan hak kita,” kata Mas Is.
“Jadi berbahaya, karena hasrat begitu itu nggak ada batasnya, Mas Is. Kita maunya punya uang banyak, punya istri cantik, punya jabatan tinggi. Tapi begitu sudah dapet, kita bakal ingin lebih lagi. Hasrat manusia itu nggak terbatas, unlimited. Padahal tubuh kita, fisik kita, ini semua punya batas. Kita kepengin makan sebanyak mungkin yang enak-enak sampai mau kita lahap semua, faktanya perut kita cuma cukup untuk sepiring nasi doang. Nah, makanya kita perlu pembatasan diri. Makanya kita butuh aturan-aturan atau norma-norma, butuh agama. Biar kita terbiasa dibatasi untuk nggak selalu memenuhi seluruh hasrat yang ada di kepala kita. Bisa hancur kemanusiaan kalau hasratnya sama sekali nggak dibatasi, karena fisik manusia memang dari sananya nggak didesain untuk memenuhi seluruh hasratnya,” kata Gus Mut.
Fanshuri dan Mas Is terdiam sejenak. Lalu senyum muncul dari bibir keduanya.
BACA JUGA Untuk Apa Belajar Agama Pakai Akal kalau Ujung Jawabannya Balik ke Iman? atau kisah Gus Mut lainnya.