MOJOK.CO – Bukankah sedekah diberikan ke orang-orang tertentu? Tidak bisa sembarangan ke sekadar pengemis? Gimana kalau dia hanya pura-pura?
Masih asyik bermain catur dengan Gus Mut, Fanshuri baru menyadari ada pengemis yang mematung di pagar rumah Gus Mut.
“Eh, ada yang minta-minta, Fan. Tolong dong,” kata Gus Mut memberi uang pecahan dua ribuan ke Fanshuri agar meneruskannya ke pengemis di luar.
Fanshuri pun mengambil uang itu lalu segera mendekat ke pengemis. Begitu sudah dekat, Fanshuri memerhatikan pengemis ini. Seorang pria, tidak ada kekurangan apapun, dan terlihat sehat. Kalaupun ada yang membuatnya tampak memelas, itu karena pengemis ini berpenampilan kotor saja.
Tak ada perkataan apapun dari Fanshuri ketika memberi uang itu. Si pengemis ini bahkan hanya melihat uang dari Fanshuri, tak berkata apa-apa dan pergi begitu saja. Melihat itu, Fanshuri justru merasa sedikit sakit hati. Sambil kembali ke dalam rumah, Fanshuri ngomel-ngomel nggak karuan.
“Pengemis sombong. Dikasih tubuh sehat bukannya cari kerja, malah ngemis-ngemis ke rumah orang-orang,” omel Fanshuri.
Gus Mut mendengar omelan Fanshuri dan sedikit tersenyum.
“Kamu itu kenapa ngomel-ngomel, Fan? Habis sedekah bukannya gembira malah jadi tambah suntuk,” kata Gus Mut.
“Nyebelin banget itu tadi pengemis. Dikasih duit bukannya bilang ‘terima kasih’ malah main pergi gitu aja,” kata Fanshuri.
“Ketimbang pengemisnya, kamu malah lebih lucu, Fan,” kata Gus Mut.
“Hah? Kok?” Fanshuri kaget.
“Ya iyalah, orang kamu cuma nyalurin sedekah kok malah kamu yang ngomel-ngomel,” kata Gus Mut sambil terkekeh.
“Eh, iya juga ya, Gus? Haha. Tapi emang tadi pengemisnya nyebelin sih, Gus,” kata Fanshuri.
“Nggak usah dipikirin lah yang begitu-begitu, bikin kotor hati,” kata Gus Mut.
“Ta-tapi, Gus. Kalau kebiasaan Gus Mut yang suka sedekah sembarangan gitu, apa itu nggak bahaya?” tanya Fanshuri.
“Bahaya? Bahaya gimana maksudnya?” tanya Gus Mut.
“Ya itu kan bikin pengemis kayak tadi jadi manja. Padahal sebenarnya dia bisa aja cari kerja, tapi gara-gara orang kayak Gus Mut yang terlalu baik sedekah ke siapa aja gitu, orang kayak tadi malah memanfaatkan,” kata Fanshuri.
Gus Mut tertawa mendengarnya.
“Ini saya serius, Gus. Ketimbang manfaatnya, apa yang Gus Mut itu malah lebih banyak mudhorot-nya. Apa tidak sebaiknya sedekah Gus Mut itu diarahkan ke hal-hal pasti aja? Ke badan amal misal atau ke masjid gitu,” kata Fanshuri.
Gus Mut masih tersenyum mendengarnya.
“Kan orang penerima sedekah itu juga harus diperhatikan, Gus. Nggak yang sembarangan. Makanya dalam agama diatur juga kan? Kalau nggak sesuai maka jadi batal amalannya,” kata Fanshuri.
“Nah itu. Salah kaprah kan kamu, Fan,” kata Gus Mut.
“Sa-salah kaprah? Salah kaprah gimana?” tanya Fanshuri.
“Ya salah kaprah. Yang diatur itu soal zakat. Karena zakat itu kewajiban, jadi ada faktor syarat dan rukun. Seperti ketentuan penerima zakat misal, itu diatur. Kalau nggak memenuhi penerima zakat, ya zakatnya nggak sah. Beda sama sedekah yang sifatnya sunah, karena sunah makanya lebih cair aturannya. Ibarat kamu mau kasih sedekah ke orang yang lebih kaya raya dari kamu ya itu tetap sah sebagai sedekah,” kata Gus Mut.
Fanshuri sedikit melongo mendengarnya.
“Hah? Serius, Gus?”
“Ya serius dong, masak soal begini aku bercanda sih, Fan,” kata Gus Mut.
“Ta-tapi kan, Gus, kalau sembarangan ngasih ke pengemis yang pura-pura miskin kan bahaya buat dianya,” kata Fanshuri.
“Memang benar, di dalam keutamaan memberi sedekah itu siapa yang berhak menerima itu urutannya memang ada,” kata Gus Mut.
“Lah, itu ada urutannya, Gus. Dari siapa misal?” tanya Fanshuri.
“Dari keluarga dulu. Kalau misal ada anggota keluarga kita yang lebih membutuhkan, sedekahkan ke dia dulu. Lalu setelah itu ke tetangga terdekat,” kata Gus Mut.
“Baru ke orang lain kan?” kata Fanshuri memotong, “Nah itu, berarti Gus Mut tidak memenuhi urutan itu dong kalau asal sedekah ngasih ke orang lain. Memang apa hukumnya memberi sedekah ke pengemis yang pura-pura miskin, Gus? Nggak mungkin sunah juga dong?” tanya Fanshuri.
“Pertanyaannya, dari mana kamu tahu kalau dia hanya pura-pura?” tanya Gus Mut balik.
Fanshuri berpikir sejenak.
“Ya kan bisa dilihat dari gelagatnya lah, Gus,”
Gus Mut cuma tersenyum ke Fanshuri.
“Sekali lagi, Fan. Sedekah itu bukan amalan wajib. Jadi aturan di dalamnya juga tidak seperti zakat. Kalau dia berpura-pura ya biarkan itu jadi urusannya, sepanjang kita tak tak bisa membuktikan dia pura-pura atau tidak ya jangan asal dihukumi. Itu malah bisa jadi suudzon yang berujung fitnah to?” kata Gus Mut.
Fanshuri merenung sejenak.
“Lagian yang membuat tidak sah dari amalan sedekah itu apa sih, Fan?” tanya Gus Mut.
Fanshuri agak bingung ditanya begitu.
“Iya juga ya, nggak ada juga ya hal yang membuat sebuah sedekah itu batal.”
“Lagipula kalau misal, ini misal saja, aku keliru karena memberi sedekah ke pengemis yang kamu duga pura-pura itu tadi, apakah aku berdosa karena melakukan itu?” tanya Gus Mut.
Fanshuri bingung.
“Ya, bu-bukan begitu maksudnya, Gus. Maksud saya itu mereka yang menerima itu kan tidak berhak menerima sedekah dari Gus Mut,” kata Fanshuri.
“Fan, kamu itu masih tidak bisa membedakan antara sedekah dengan zakat namanya. Sedekah itu nggak harus berbentuk materi lho, beda sama zakat yang harus ada nash-nya. Coba deh ingat-ingat lagi,” kata Gus Mut.
Ditantang begitu, Fanshuri tiba-tiba jadi ingat sesuatu.
“Oh, iya juga ya, senyum aja bisa jadi sedekah ya?” kata Fanshuri.
“Ilmu juga bisa jadi sedekah. Bahkan sekadar menyingkirkan jarum dari tengah jalan pun sudah bisa dianggap sebagai sedekah,” kata Gus Mut menambahi.
Fanshuri terdiam, merasa ada yang salah pada logikanya.
“Bayangin coba gini, kamu lagi nyingkirin jarum dari tengah jalan, dan orang yang dimanfaatkan dari hal kecil itu adalah seorang penjahat atau koruptor yang melewati jalan yang kamu bersihin barusan. Apa iya itu membuat sedekahmu jadi batal?” tanya Gus Mut.
Fanshuri kaget mendengar itu.
“Hehe, iya juga ya, Gus?” kata Fanshuri kali ini sambil cengengesan.
BACA JUGA Bersedekah Kok Minimalis dan Biasa-Biasa Saja atau kisah Gus Mut lainnya.