MOJOK.CO – Kenapa sih orang Indonesia demen banget foto sama bule yang notabene bukan seleb di tempat wisata? Apa motifnya?
Seorang kawan mengirim kabar tentang keberadaannya. Ia sedang piknik di Jogja, katanya. Sebagai bukti, ia lalu memamerkan foto dirinya dengan latar Candi Prambanan yang megah. Ia tampak semringah dalam foto itu, berdiri di tengah, di antara empat orang bule yang wajahnya juga tampak bahagia. Saya membalasnya dengan tiga jempol.
Apa yang menarik dari foto kawan saya itu adalah kehadiran para bule dalam frame itu, meski tidak terlalu aneh juga. Berfoto dengan bule di tempat wisata sudah menjadi semacam ritual bagi wisatawan lokal. Rasanya tidak afdal bila ketemu bule dan tidak mengajaknya berfoto. Toh para bule itu seperti sudah mafhum dengan kebiasaan ini. Mereka biasanya nurut ketika ada yang memintanya berfoto bersama. (Saking mafhumnya, permintaan dengan bahasa pantomim juga mereka langsung mengerti).
Ada seorang bule traveler menyebut kebiasaan tersebut sebagai salah satu karakter orang Indonesia. Ia menyebut beberapa karakter lain, seperti suka memberi jawaban yang tidak lugas. Jawaban insyaallah, misalnya, sering berarti ‘tidak’. Begitu juga istilah OTW, biasanya berarti ia baru siap-siap hendak berangkat. Atau bila ada yang bertanya tentang rute dan mendapat jawaban, “Lurus saja, masih agak jauh,” maka itu sesungguhnya berarti ia tidak yakin dengan tujuan yang dimaksud.
Soal karakter yang disebut belakangan itu mungkin bisa dipahami dari gambaran yang pernah dibuat oleh Mochtar Lubis tentang enam ciri manusia Indonesia. Tapi, bagaimana dengan karakter yang suka foto bareng bule? Mengapa harus bule? Apa yang membuat kita terdorong untuk berfoto dengan mereka?
Pasti banyak jawaban. Ada yang menghubungkan karakter tersebut dengan sejarah kolonialisme di Indonesia. Terbiasa dijajah dalam waktu lama membuat orang-orang Indonesia meyakini bahwa orang luar selalu lebih baik, lebih luhur, lebih pinter, lebih beradab, lebih kaya dari mereka. Mental inlander gitu lah. Namun, jawaban ini dianggap kurang relevan jika dikaitkan dengan generasi kelahiran tahun 2000-an yang notabene jauh dari peristiwa penjajahan, tapi juga getol dengan kebiasaan tersebut.
Kebiasaan itu mungkin lebih mudah dikaitkan dengan gaya-gaya norak kita yang sewaktu SMP yang begitu percaya diri menyandar, bersedekap atau memegang handle pintu mobil seolah bersiap membuka dan masuk ke dalamnya. Padahal itu mobil orang yang sedang diparkir. Gaya itu sudah membuat kita merasa perlente. Begitu juga dengan foto dengan bule, bisa jadi itu merupakan cara untuk menunjukkan bahwa kita telah menjadi bagian dari pergaulan dunia yang luas.
Pertanyaan lain yang menggoda saya mengenai kebiasaan tersebut adalah apakah yang dipikirkan para bule dengan perilaku kita: bahagia, heran, geli, atau justru merasa kasihan?
Saya mencoba menelusur ke beberapa blog para pelancong. Pasti masih banyak penerus Ibnu Batutah yang rajin merekam perjalanan mereka, menulis kesan-kesan yang mereka dapatkan dari perjumpaan dengan penduduk lokal di Indonesia. Saya menemukan beberapa jawaban.
Dalam satu tulisan, ada turis yang bercerita tentang kesannya selama berkunjung ke Indonesia. Awalnya ia sempat merasa heran dan canggung ketika ada orang yang meminta foto bareng dengan dirinya. Permintaan itu dirasa benar-benar janggal. Ia bukan figur terkenal yang nama dan wajahnya hilir mudik di televisi, apalagi di saluran Indonesia. Ia juga menyadari dirinya tidak ganteng-ganteng amat. Di tempat asalnya tidak pernah ada ajakan berfoto seperti ini dari teman atau kerabatnya, bahkan oleh istri anaknya. Jadi, permintaan itu membuatnya merasa jadi selebritas yang digoreng dadakan. Tentu saja ia merasa tersanjung bukan kepalang.
Di ruang komentar, beberapa bule memberikan informasi tambahan. Ada yang merasa geli, terutama dengan gaya-gaya sok akrab yang ditemuinya. Misalnya tentang tingkah para remaja tanggung yang suka berpose merangkul ketika difoto, seolah mereka adalah teman lama yang baru berjumpa.
Namun, terlepas dari keluguan-keluguannya, kebiasaan meminta foto dengan bule itu juga menjadi sarana diplomasi serta promosi yang ampuh. Berkat kebiasaan itu tidak sedikit para bule yang merasa aman dan nyaman. Mereka merasa diterima, dicintai, dihormati dan diperlakukan dengan baik. Kebiasaan berfoto terbukti telah memberi sumbangan penting bagi perkembangan pariwisata kita di Indonesia.
Kamu juga pernah kan foto sama bule? :p