MOJOK.CO – Pernikahan bukan penghalang sebuah impian. Melepaskan topeng yang melekat bukan hal yang salah. Namun, jangan biarkan topeng hasil pernikahan mengikis habis wajahmu. Ingat, kebahagianmu yang utama.
Topik pernikahan tidak jarang menjadi pembahasan dalam sebuah percakapan. Baik itu bersama orang lain atau menjadi pertimbangan untuk diri sendiri. Namun lucunya, berbagai pandangan tertuang saat membahas topik ini.
Pernikahan digambarkan seperti membuka lembaran baru kehidupan yang penuh kebahagiaan. Seperti sebuah film yang sering berakhir dengan momen bahagia yaitu saat pemeran utama bersanding dalam pernikahan. Namun, apa yang terjadi usai pernikahan nan indah itu?
Sebuah film mengenai pernikahan seakan berputar kembali di pikiran saya. Kim Ji-young: Born 1982 adalah film Korea Selatan yang bercerita tentang kehidupan seorang wanita dan berbagai tekanan akibat pernikahan.
Masalah pernikahan yang dia hadapi bukan karena suami yang kejam atau rentetan masalah rumah tangga lain yang mungkin ditemukan dalam sinema Indonesia. Permasalahan dalam pernikahan Kim Ji-young jauh lebih kompleks namun sering dianggap remeh oleh orang lain, salah satunya soal standar ganda.
Dalam film itu digambarkan seorang wanita yang memiliki banyak peran dalam kehidupan pernikahan, yaitu sebagai istri, ibu, dan menantu. Banyaknya peran tersebut sering menyamarkan jati diri seorang wanita. Wanita yang sudah menikah seakan mendapatkan peran baru yang “harus dimainkan” secara sempurna. Akan tetapi, tergambar dengan jelas bahwa, dalam usaha menyempurnakan peran baru, seorang wanita kehilangan jati dirinya. Peran baru yang melekat seakan menjadi topeng yang menyembunyikan wajah atau identitas aslinya.
Banyak wanita mendambakan pernikahan sempurna bak dongeng yang memiliki akhir happily ever after. Namun, sayangnya konflik dalam dongeng sering terabaikan karena diakhiri dengan momen paling bahagia. Mempertimbangkan untuk menikah tidak salah, namun yang menjadi pertanyaan, sudah siapkah kamu untuk menanggung beban dari sebuah pernikahan?
Banyak pemikiran kuno yang masih tetap lestari mengenai pernikahan. Salah satunya adalah posisi wanita sebagai pengurus rumah tangga, suami, dan anak. Posisi tersebut membatasi kesempatan bagi perempuan dalam mengembangkan diri dan kariernya.
Laki-laki dianggap lebih pantas untuk mencari nafkah dan wanita cukup menjadi ibu rumah tangga saja. Oleh karena itu, tidak jarang wanita mengorbankan karier demi memantaskan diri sebagai ibu rumah tangga yang baik. Masalah yang sangat klasik, tetapi masih lestari sampai sekarang.
Yang lebih menyakitkan lagi, peran ibu rumah tangga sering dianggap remeh oleh orang lain. “Enak sekali, hanya diam di rumah dan menerima gaji suami.” Tidak jarang cemooh seperti itu dilontarkan kepada ibu rumah tangga. Wanita sepertinya ditakdirkan untuk selalu berada di posisi serba salah. Pertanyaannya, apakah benar ibu rumah tangga adalah peran remeh semata?
Tentu saja tidak. Film Kim Ji-young: Born 1982 menggambarkan dengan miris bagaimana ibu rumah tangga mengorbankan kehidupannya. Tidak hanya secara fisik, mentalnya ikut terkena dampak.
Kejenuhan dalam menjalankan peran ibu rumah tangga ternyata mampu mengguncang mental. Di puncak jenuhnya, tokoh Kim Ji-young “berubah” menjadi orang lain dan menyampaikan segala kesahnya. Ia menyampaikan keinginan yang dipendamnya melalui “orang lain”.
Namun gangguan jiwa yang dialami oleh Kim Ji-young tidak hadir begitu saja. Diskriminasi karena budaya patriarki telah dialaminya sejak kecil. Banyak keluarga yang menganggap anak laki-lakinya lebih berharga dan selalu diutamakan.
Kim Ji-young menerima perlakuan timpang dari ayahnya. Ketika ibunya tahu soal perlakuan sang ayah, semuanya sudah terlambat. Gangguan mental sudah kadung terjadi. Hmm… apakah keterlambatan ini disebabkan ibu Kim juga mengalami perlakuan tidak adil juga? Bisa jadi.
Pemikiran kuno mengenai derajat laki-laki yang lebih tinggi tidak hanya berlaku dalam sebuah pernikahan. Nyatanya, seorang anak laki-laki mendapatkan “keuntungan” dari jenis kelaminnya. Bahkan, ada adegan di mana Kim Ji-young saat remaja hampir menjadi korban pelecehan seksual. Bukannya memberikan perlindungan dan dukungan, ayahnya malah menyalahkan gaya berpakaian (rok pendek) dan sikapnya yang terlalu ramah kepada orang lain.
Budaya patriarki telah mengakar sangat dalam. Lebih miris ketika kita tahu kalau sebagian wanita mewajarkannya. Wanita seakan telah ditakdirkan untuk selalu berada di posisi yang lebih rendah. Bahkan, jika ada wanita yang menuntut untuk berada di posisi yang sama akan dipandang aneh. Terutama dalam sebuah pernikahan.
Ketika melakukan perlawanan, wanita akan ditekan oleh keadaannya sendiri. Sebuah tekanan yang membuat perlawanan itu menjadi sia-sia. Terutama ketika wanita sudah mulai merasa “harus menerima” keadaan. Miris sekali.
Sosok Kim Ji-young juga begitu. Dia sudah paham bahwa untuk mengubah sesuatu, dia harus menghadapi tantangan baru. Pengalaman dilecehkan ketika masih kanak, lalu dituntut menjadi orang yang berbeda di dalam pernikahan membuat sosok Kim berada dalam “ruang antara”. Antara mau melawan tapi sulit sekali dan menerima keadaan.
Pada titik tertentu, meski harus “membuang” jati diri, Kim mengaku menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Seakan-akan, dia terperangkap dalam situasi ini. Ujungnya, Kim menyalahkan diri sendiri atas kegagalan menjadi sempurna ketika menjalankan banyak peran sebagai istri, ibu, dan menantu.
Ada berapa dari wanita di luar sana yang bernasib seperti Kim? Ketika mereka sampai pada titik menyalahkan sendiri padahal sebetulnya korban dari sebuah budaya?
Saya mencoba memahami bahwa status istri dan ibu akan otomatis melekat setelah wanita menikah dan punya anak. Sering terjadi, proses belajar menjadi istri dan ibu ditepikan oleh banyak orang. Mereka menganggap wanita selalu harus langsung bisa. Padahal, prosesnya tidak muda. Ada proses adaptasi di sana.
Banyak orang “tidak peduli” dengan proses itu. Pokoknya harus bisa. Harus sempurna. Bahkan ketika wanita sudah ikhlas “menggadai” jati diri demi pernikahan yang bahagia. Banyak orang, terutama mereka orang dekat, bahkan tidak peduli dengan kesusahan yang sedang dijalani wanita dalam proses ini.
Saya ingin menyampaikan kepada wanita di luar sana, jangan sampai kehilangan jati diri untuk kesempurnaan peran yang dituntut orang lain. Seorang suami menuntut wanita menjadi istri yang sempurna. Seorang anak menuntut wanita menjadi ibu sempurna. Seorang mertua menuntut wanita menjadi menantu yang sempurna. Lalu, kepada siapa seorang wanita harus menuntut?
Mirisnya, wanita akan menuntut ke dirinya sendiri untuk menyempurnakan peran-peran yang dilekatkan pada dirinya.
Jangan sampai sebuah pernikahan menghilangkan jati diri seseorang. Babak baru kehidupan mungkin dirasakan setelah menikah. Namun dalam mengisi babak baru tersebut bukan berarti kamu harus mencoret bahkan menghapus lembaran cerita lama sebelum menikah. Jati diri bukan sebuah barang penukar dalam pernikahan.
Tidak benar jika impian yang dibangun sejak dulu harus musnah karena sebuah pernikahan. Mungkin ada yang berkata, “Yah, itu adalah sebuah pengorbanan.” Benar, itu adalah pengorbanan, tetapi impianmu tidak dibangun untuk dikorbankan. Sebuah impian dibangun untuk dicapai.
Pernikahan bukan penghalang sebuah impian. Melepaskan topeng yang melekat bukan hal yang salah. Namun, jangan biarkan topeng hasil pernikahan mengikis habis wajahmu. Ingat, kebahagianmu yang utama. Sesekali, hiduplah untuk dirimu. Bukannya egois, namun kamu butuh dukungan dan kasih sayang dari dirimu sendiri.
BACA JUGA Ngeri Sekali Jadi Korban Kekerasan Seksual di Negeri Ini, Minta Keadilan Malah Mentok di Jalur ‘Kekeluargaan’ dan tulisan-tulisan lainnya di rubrik ESAI.