Politik progresif One Piece
One Piece karya Eiichiro Oda menceritakan kisah seorang anak bernama Monkey D. Luffy. Si tokok ini mengumpulkan mengumpulkan kru dengan beragam latar belakang dan berpetualang untuk mencari harta karun bernama One Piece. Siapa saja yang menemukan harta karun itu, berhak menyandang gelar Raja Bajak Laut.
Serial ini sudah berusia 27 tahun. Kini, ia telah menjadi komik terlaris kedua di dunia, melampaui judul-judul seperti Batman, Asterix, dan Spiderman.
Alfredo Rosete, dalam risetnya yang berjudul “Navigating Labor and Environmental Justice with Eiichiro Oda’s One Piece (2025)” yang dimuat dalam Contemporary Asian Popular Culture Vol. 1: Squid Game, Utopias, and Dystopias menyebutkan bahwa One Piece terkenal karena sikapnya yang anti-authoritarian dan mendukung politik progresif.
Memang, One Piece karya Eiichiro Oda sering menggambarkan perjuangan melawan pemerintahan yang represif dan otoritas yang korup. Ini terlihat dalam The World Government and the Marines, yang sering digambarkan sebagai musuh.
Serial tersebut juga membahas topik tentang kelestarian lingkungan dan pembelaan terhadap buruh. Topik ini menunjukan adanya isu resistensi dalam One Piece.
Bender One Piece yang dipilih sopir truk adalah simbol yang pas untuk menyuarakan sikap anti-pemerintah otoriter. Oligarki yang berkuasa sebenarnya telah membenturkan sopir truk dengan sesama masyarakat kelas pekerja.
Bila dalam One Piece, oligarki itu adalah The World Government and the Marines, maka bagi sopir truk, oligarki itu adalah pemerintah yang berselingkuh dengan pengusaha. Bendera One Piece, dan juga muralnya, menjadi simbol yang menggantikan kata-kata keras dalam aksi unjuk rasa yang rentan dengan penangkapan oleh aparat keamanan.
Pilihan penggunaan simbol One Piece, mirip dengan penggunaan simbol semangka di Palestina. Siasat melawan rezim dengan memanfaatkan budaya populer.
Pertarungan ideologi
Penelitian lain dari Thomas Zoth berjudul “The Politics of One Piece: Political Critique in Oda’s Water Seven (2011)” menyoroti tentang adanya pertarungan ideologis dalam One Piece.
Bukan sekadar menganalisis narasi pertarungan dalam One Piece secara denotatif, Thomas Zoth menemukan adanya pertarungan ideologis. Para protagonis, yang dipimpin oleh Monkey D. Luffy, mewujudkan nilai-nilai seperti kebebasan, persahabatan, dan ketekunan.
Musuh-musuh mereka sering mewakili antitesis dari nilai-nilai ini, menjadikan setiap konflik sebagai perjuangan simbolis antara ideologi yang berlawanan. Setiap anggota kru mewakili nilai-nilai tertentu, dan musuh mewakili antitesis dari nilai-nilai tersebut. Pertempuran bersifat ideologis, dengan kemenangan para pahlawan menegaskan kembali keunggulan nilai-nilai yang diwakili oleh tesis tersebut.
Pertarungan ini telah dimulai ketika bendera One Piece mulai dikibarkan, dan muralnya mulai dilukis. Ketakutan pejabat tinggi, seperti Wakil Ketua MPR dan politisi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, dan Menteri HAM Natalius Pigai dengan menyebut pengibaran bendera One Piece sebagai ancaman bagi persatuan nasional, dan gerakan sistematis untuk memecah belah bangsa.
Ketakutan ini justru menunjukan bendera merah putih sedang terkoyak. Terkoyak oleh sikap para pengusaha yang membenturkan kreativitas publik dengan narasi besar kebangsaan menurut versi mereka sendiri.
Para pejabat pemerintah yang kurang menikmati budaya populer, akhirnya gagap menanggapi pengibaran bendera One Piece. Para pejabat yang blunder sepertinya perlu menikmati hidup sejenak dengan membaca One Piece. Pernyataan yang buruk dari mereka menyebabkan bendera merah putih justru semakin terkoyak.
Penulis: Fajar Junaedi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Salah Satu Alasan Saya Bertahan Hidup Sebagai Orang Indonesia Adalah Menunggu One Piece Tamat dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.











