MOJOK.COÂ –Â Menurut saya, kompetisi pada Pilpres 2019 tidak akan sepanas laga Pilpres 2014. Kenapa?
Bulan Desember telah tiba. Setapak lagi kita melangkah ke bulan yang sering disebut banyak kalangan sebagai ‘bulan politik’, yakni Januari 2019. Pasalnya, di bulan tersebut, dua kubu yang sedang berlaga, ibarat dua pembalap, sudah bukan fase mbleyer-mbleyer lagi. Namun, mereka kini sudah mulai ngegas.
Tapi benarkah situasi akan begitu panas? Menurut saya tidak. Kompetisi ini tidak akan sepanas laga Pilpres 2014. Kenapa?
Pertama, pergerakan relawan telah mampu diisolasi oleh kaum parpol. Pada pilpres 2014, salah satu mesin Jokowi saat itu adalah para relawan yang tumbuh dan merebak di berbagai daerah. Tapi kali ini faktor relawan makin mengecil. Itu hal yang wajar.
Relawan dalam aktivitas politik memang punya ambang batas waktu. Relawan di berbagai daerah pun, selain sebagian masuk ke partai politik, sebagian lagi memang kelak akan tetap memilih Jokowi, tapi tidak diekspresikan dengan cara sebagaimana tahun 2014.
Sementara itu, barisan relawan di Jakarta sebagai pusat pertarungan politik dan kekuasaan juga sudah mampu diisolasi oleh kaum parpol. Sebab, parpol yang merapat di Jokowi sudah punya pengalaman pada tahun 2014, ketika manuver relawan begitu leluasa sehingga dianggap ‘mengganggu’ jatah pembagian kue kekuasaan terhadap parpol yang jelas punya legitimasi secara formal dan mesin politik sampai TPS. Tentu saja, tetap akan ada pergerakan relawan di kubu Jokowi, tapi para parpol telah membuat pagar yang kukuh. Dengan demikian, relawan yang nanti tidak punya kedekatan politik dengan parpol, akan besar kemungkinan tidak mendapatkan jatah kue kekuasaan.
Kedua, para anggota parpol akan lebih dulu memastikan mereka berebut suara untuk diri sendiri. Gejala seperti ini terjadi di kedua kubu. Begitu masuk bulan Januari, pertarungan darat antarcaleg dari pusat sampai daerah akan sangat ketat. Mereka bukan hanya bersaing antarcaleg parpol, tapi juga caleg dari parpol yang sama. Alhasil, gesekan keras terjadi di lapangan, tapi bukan gesekan pilpres.
Ketiga, salah satu faktor X yang dianggap bisa cukup signifikan mengubah peta politik justru tidak terjadi. Apa itu? Melemahnya perekonomian secara drastis. Jokowi dan kabinetnya cukup berhasil mengamankan diri sehingga faktor X itu tidak atau setidaknya belum terjadi.
Apakah masih mungkin terjadi? Tentu saja masih sangat mungkin. Hanya saja, pemerintahan Jokowi nisbi punya pengalaman mengamankan itu semua. Setidaknya, publik lebih punya deposito kepercayaan bahwa pelemahan ekonomi tidak akan terjadi. Kalau persepsi dan sentimen publik sudah mengarah ke sana, berarti kemungkinan terjadinya semacam krisis ekonomi itu makin kecil terjadi.
Keempaat, faktor agama sudah tidak lagi menjadi dorongan pergesekan sosial. Reuni 212 memang sudah digelar dan justru tesis ini menunjukkan ke arah sana. Jika ditelisik lebih dekat dan hati-hati, Reuni 212 yang terjadi lebih ke arah perhelatan reuni beneran. Memang wajar jika ada yang menganggap kemungkinan ‘ditunggangi’ kepentingan politik pilpres, tapi pada prakteknya, hal itu tidak terjadi.
Coba perhatikan, orasi-orasi yang berbau politik tidak mendapatkan tanggapan yang antusias. Biasa saja. Artinya, kegiatan akbar itu semata memang ekspresi kolektif untuk mengenang sebuah kegiatan yang pernah dilakukan bersama-sama secara massal. Kegiatan keagamaan terlihat lebih dominan. Tidak tampak terbaca semacam protes kepada pemerintahan Jokowi.
Sedikit banyak, hal ini tentu ada pada faktor dipilihnya KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi. Memang hal ini pada awalnya sempat menimbulkan kontroversi bagi sebagian pendukung Jokowi, tapi dalam perjalanannya, pilihan ini membuktikan punya dampak psikologis dan sosiologis yang tepat. Hal ini pula yang dulu sempat diisyaratkan oleh Mahfud MD begitu gagal mendampingi Jokowi di detik-detik akhir: dia bisa mengerti kenapa yang dipilih adalah sosok KH Ma’ruf Amin. Karena ini arena politik, maka pertimbangan politiklah yang paling kental. Dan pertimbangan itu punya landasan yang kuat.
Kelima, secara pribadi saya berani memperkirakan bahwa secepatnya akan ada ‘islah politik’ antara kubu Jokowi dan Prabowo, begitu pilpres selesai digelar.
Tidak seperti pilpres 2014, kerumitan yang terjadi justru nanti akan lebih banyak tersita pada persoalan antarcaleg. Bukan pilpres. Dan begitu kemenangan Jokowi terjaga dua digit, maka secepatnya kubu Prabowo akan bersikap realistis.
Kubu Prabowo justru akan secepatnya mengonversi perolehan suara mereka yang cukup tinggi dalam pileg untuk melakukan ‘komunikasi politik’ dengan pihak Jokowi. Mereka telah berada di luar kabinet selama dua kali dan sudah merasakan sendiri betapa tidak efektifnya berada di luar kekuasaan.
Hal yang sama saya kira juga akan terjadi pada Demokrat, PKS, dan PAN. Jadi dari sisi elit politik, pada akhirnya nanti justru semua pihak akan senang, semua pihak akan mendapatkan jatah kekuasaan. Dan lagi-lagi, nanti yang bakal kena korban pertama kali adalah para relawan.
Ya, tentu saja yang saya maksud adalah relawan yang ingin dan masih ingin mendapatkan bagian dari kekuasaan.
Semua akan baik-baik saja pada akhirnya. Ini seperti dua petinju yang lama bertarung. Akan capek sendiri. Semua capek. Lalu bersalaman.
Maka, tak perlu terlalu khawatir benar. Semua akan baik-baik saja. Dan kembali setiap kita, warganegara, akan berkutat dengan masalah sehari-hari kita sendiri.