Sehabis salat Ashar di langgar, Yai Sobar seperti biasa sesekali bercengkerama dengan tetangganya.
Wak Daiman dengan setengah berkelakar tiba-tiba bilang, “Yai, saya itu kok pengen meninggal dunia di hari Jumat ya, sokur pas salat Jumat.”
“Ya, meninggal dunia itu baik semua. Apapun harinya.” jawab Yai Sobar dengan tersenyum lapang. Sembari sesekali melihat anak-anak kecil berlarian di depan langgar.
“Tapi kan meninggal dunia di hari Jumat itu baik, Yai…”
“Betul. Tapi orang yang bilang meninggal dunia di hari Jumat itu baik, meninggalnya bukan di hari Jumat.”
Wak Daiman terperanjat. “Jadi Kanjeng Nabi itu tidak meninggal di hari Jumat?”
“Kanjeng Nabi kan nabi bagi banyak orang. Bukan untuk orang-orang yang meninggal di hari Jumat saja…”
Wak Daiman terpekur. “Tapi kalau bisa, saya ingin mati pas salat, Yai…”
“Itu keinginan yang baik…”
“Kalau Pak Yai?”
“Saya ini mati dalam keadaan apapun sudah saya pasrahkan Tuhan. Mau mati karena sakit, karena kecelakaan, karena disantet orang, karena diracun orang, mati ya mati. Sesuai kehendak Tuhan.”
“Dibunuh orang, Yai? Disantet?”
“Lha ya penyebab orang mati kan banyak. Apakah mati karena disantet orang itu buruk? Kan belum tentu. Wong bukan dia yang nyantet. Mati diracun orang kan juga bukan hal yang buruk. Wong bukan dia yang meracun orang. Biasa saja. Jangan sampai keingingan mati dalam posisi salat, membuat kita berpikir bahwa orang yang mati karena sebab lain itu buruk… Agama itu tidak seperti itu.”
Wak Daiman dahinya berkerut. Tapi dia manggut-manggut.
“Kanjeng Nabi itu, pernah tidak jadi menyalatkan jenazah orang karena yang bersangkutan masih punya utang. Keluarga almarhum diminta untuk segera membayar utang…”
Wak Daiman menyimak dengan baik.
“Tapi Kanjeng Nabi sendiri, meninggal dunia juga dalam posisi punya utang…”
Wak Daiman lagi-lagi terhenyak. “Kok bisa begitu ya?”
“Sekali lagi, Kanjeng Nabi itu nabi bagi banyak orang. Bukan nabi khusus orang kaya. Kanjeng Nabi tahu, kalau kemungkinan besar umatnya mati dalam posisi masih punya utang…”
“Saya juga masih punya utang, Pak Yai…” Wak Daiman merenges. Laki-laki berusia hampir 60 tahun itu memperlihatkan separuh gigi depannya yang ompong.
“Aku juga punya utang kok, Wak Daiman. Santai saja. Orang punya utang itu bukan masalah. Punya utang itu bisa dijadikan cara mengurangi rasa ujub. Nah, yang bermasalah itu, punya utang tapi tidak membayar.”
Wak Daiman kembali terkekeh. Hatinya terasa lapang.