Ketika Semua Penjual Makanan Berpotensi Melakukan Dosa

Sebetulnya, saya menahan diri untuk tidak mengomentari hal ini. Tapi karena sudah terjadi berulang kali, sebagai orang yang dianugerahi akal budi, dan kemampuan menulis, saya harus mengemukakan pendapat saya ini.

Sudah beberapa tahun ini, ada seorang ustaz yang membahas khusus soal kesehatan. Ustaz tersebut berlatar belakang pendidikan kedokteran, namun konon sudah tidak melakukan praktik lagi. Awalnya sih, dalam ceramah-ceramahnya, lumayan menarik. Soal kesehatan, kebugaran tubuh, asupan makanan, dll. Sebagian sudah saya ketahui, sebagian lagi belum. Tentu untuk tema seperti ini, tidak bisa digebyah-uyah. Disamaratakan. Karena kondisi tubuh seseorang itu unik, berbeda, tidak sama. Bahkan untuk hal yang lazim. Saya beri contoh, umumnya orang akan diminta minum air putih yang cukup. Tapi ada banyak orang yang diminta tidak boleh mengonsumsi banyak air putih, bahkan sedikit saja.

Kecenderungan menyamaratakan kondisi orang, kadang mengganggu. Suatu saat, saya pernah diminta oleh seorang dokter untuk menulis tentang bahayanya kampanye mengurangi atau bahkan tidak mengonsumsi garam. Bagi beberapa orang itu mungkin bagus, tapi bagi kebanyakan orang justru bisa membahayakan. Sialnya, kampanye seperti ini masif, tanpa melihat kondisi orang per orang.

Balik ke soal Pak Ustaz. Setelah membicarakan banyak tema yang cukup menarik, dia mulai masuk ke ranah yang menurut saya sangat sensitif. Kira-kira begini. Kalau ada orang berbisnis makanan yang disebutnya ‘makanan sampah’, maka orang tersebut bisa berpotensi mendapatkan dosa, karena bisa menyebabkan orang lain menjadi tidak sehat, dan karena menyebabkan orang tidak sehat maka berdosalah dia. Yang biasa disebut di sana tentu saja penjual gorengan, penjual nasi goreng, rumah makan padang, bakso, gule, tongseng, dll. Di sini menurut saya, Pak Ustaz tidak bersikap bijak…

Pertama, seolah kondisi semua orang itu sama. Tubuh manusia itu kompleks dan unik. Teman saya seorang pelari. Sehari sebelum lari, dia harus makan nasi padang yang banyak. Sebab kalau tidak, dia justru tidak punya energi untuk lari. Bapak saya puasa daud, usianya 70 tahun. Kalau buka puasa, dia makan nasi dua piring. Kalau sahur makan sepiring penuh nasi. Sangat sehat. Ahamdulillah. Kalau tidak makan nasi, bapak saya lemas. Malah tidak sehat. Kawan saya seorang petani, makannya banyak sekali. Seminggu dua kali, dia bermain badminton. Saya berkali-kali makan dengannya, porsi makan nasinya luar biasa. Dan dia sehat. Pak Ustaz menganggap semua orang sama.

Kalau kuli bangunan, petani, sales, dan olahragawan tidak dapat asupan makanan yang cukup, bisa jadi malah mengganggu kehidupan mereka. Apalagi jika ditambah dengan faktor, bagi orang kecil, makan dengan lauk gorengan saja sudah mewah, bisa membeli nasi goreng apalagi nasi goreng dengan telor, sudah mewah sekali. Apalagi bisa makan kambing atau makan di rumah makan padang.

Lha, kalau jenis warung seperti itu, termasuk menu di berbagai warteg, dianggap tidak baik lalu dicap bisa menimbulkan dosa, wah rasanya Tuhan kok enggak segitunya, ya… Bahkan bisa jadi para pedagang itu mendapatkan pahala. Mereka mencari rezeki yang halal untuk melanjutkan dan mempertahankan hidup, menu mereka terjangkau sehingga orang di lapisan bawah masih bisa makan, dan roda ekonomi di lapis bawah berputar.

Kedua, seolah manusia itu tidak otonom terhadap dirinya sendiri. Jadi kalau ada orang menjual nasi goreng, maka setiap orang pasti makan nasi goreng. Kalau ada orang yang sakit dan tidak boleh makan nasi padang, lalu orang itu makan nasi padang, tentu yang salah bukan yang menjual, dong. Para pedagang makanan itu menjual makanan bukan untuk mencelakai orang lain.

Menganggap manusia itu tidak otonom dan gampang disetir oleh pihak di luar diri mereka, apalagi itu persoalan penjual makanan, tentu itu bukan hanya tidak bijak melainkan juga naif. Terkesan selalu menyalahkan pihak lain dibanding meningkatkan kemampuan untuk percaya pada keputusan-keputusan manusia itu sendiri. Itu mirip dengan saat Ramadan tiba. Yang buka warung kan maksudnya tentu untuk orang yang tidak atau berhalangan berpuasa. Kalau ada orang yang batal puasa gara-gara ada warung makan yang buka, tentu itu kesimpulan yang gegabah.

Ketiga, cara pandang Pak Ustaz terlalu sempit. Saya teringat ada orang yang mengharam-haramkan rokok. Orang ini tidak tahu, ada hampir 700 ribu petani tembakau di Indonesia, dan ada 1 juta petani cengkeh di Indonesia, yang merupakan bahan utama membuat rokok. Cukai dan pajaknya, ratusan triliun masuk ke kas negara setiap tahun. Uangnya dipakai untuk membangun jalan, rumah sakit, membayar gaji para pegawai negeri, dll.

Ekonomi di bawah bergerak dengan cepat. Kalau uangnya haram, berarti semua hal yang dibangun dari uang itu mesti dipertanyakan kehalalannya. Jutaan orang bisa naik haji karena terintegrasi dengan industri rokok. Ada banyak hal yang mesti dilihat dalam aspek ekonomi, yang jika ditumpas dengan satu pelabelan, hasilnya bisa mudarat. Umat bisa jatuh dalam kemiskinan, dan kemiskinan bisa menyeret orang kepada kekufuran.

Demikian juga dalam hal menjual makanan. Masak sih jualan gorengan saja berdosa? Itu bisnis UMKM. Bisa laku jualannya saja sudah bagus. Ikut menopang perekonomian keluarga. Kalau perekonomian keluarga bagus, potensinya bisa membuat kondisi kampung menjadi bagus. Dan negara terbantu dengan hal itu. Kalau diikuti ceramah Pak Ustaz, semua makanan yang dijual berpotensi dosa. Kecuali pedagang pecel. Itu pun pecelnya tidak pakai nasi dan tidak ada telor ceplok. Penjual lotek saja keliru bagi dia, karena ada ketupat dan gorengan bakwannya. Cilaka benar…

Terus kalau para pedagang makanan banyak yang salah, mereka disuruh berdagang apa? Buah-buahan dan sayur-sayuran saja? Terus bagaimana sektor-sektor lain tumbuh? Makin rapuhlah perekonomian negeri ini. Kalau perekonomian nasional rapuh, kemiskinan tambah banyak. Ketika kemiskinan terjadi, maka potensi kemaksiatan dan kriminalitas bakal marak. Apa hal seperti itu tidak pernah dipikir oleh Pak Ustaz?

Kenapa sih sekarang orang hidup kok ribet banget? Bisnis makanan saja kok dianggap berpotensi dosa. Kenapa tidak menyoroti bisnis kendaraan yang berpotensi merusak kesehatan. Atau bisnis tambang yang banyak merusak alam. Atau kalau perlu bisnis pesawat terbang yang berpotensi mengotori udara. Dengan begitu kalau kita nanti naik haji atau umrah, naik saja kapal layar, dengan bekal kangkung. Jangan berbekal dendeng, ikan asin, dan nasi. Itu semua tidak sehat.

BACA JUGA Setoples Belalang Goreng dan Kenangan tentang Ibu dan KOMENTAR KEPALA SUKU lainnya. 

 

Exit mobile version