MOJOK.CO – Perkara kaos #2019GantiPresiden bukanlah perkara main-main, Jokowi sampai perlu merespons hal ini. Dia pernah mengalaminya sendiri dan berhasil.
Busana dan politik itu hal yang biasa ditautkan. Politik itu sebagian besar soal persepsi. Salah satu unsur dalam persepsi diedarkan lewat citra visual. Kaos adalah bagian dari citra visual. Sederhana sekali penjelasannya, kan?
Itu yang menyebabkan kenapa kalau kampanye politik selalu dianggap penting untuk punya seragam. Bahkan, tokoh tertentu di Indonesia, jika kita sebut namanya, yang cepat berkelebat di pikiran kita adalah citra visualnya. Misalnya, kalau saya sebut “Sukarno”, bayangan kebanyakan dari kita adalah sosok berkopiah dan berbaju perlente dengan atribut kemiliteran.
Sebetulnya, Jokowi pernah dengan cerdik dan berhasil membidik hal itu. Baju kotak-kotak yang dia pakai dalam kampanye pilgub DKI 2012 bukan semata baju biasa, tapi sudah menjadi ikon pergerakan kemauan rakyat Jakarta untuk memilih pemimpin baru yang dianggap bisa memberi terobosan dan mau bekerja keras.
Kaos, sebagai simbol politik tidak akan berarti apa-apa jika tidak tumbuh dengan keinginan masyarakat. Di titik inilah sebetulnya kaos #2019GantiPresiden menarik untuk dicermati: Apakah mendapatkan respons dari masyarakat atau tidak?
Kalau tidak, saya kira tak perlu dibesar-besarkan. Tapi, kalau iya, ini menjadi salah satu pekerjaan utama tim Jokowi.
Waktu ujinya pun tidak perlu lama-lama. Kalau dalam dua bulan ini (April dan Mei 2018) kaos #2019GantiPresiden tidak banyak dipakai orang, simbol perlawanan terhadap Jokowi itu sudah habis. Selesai. Tapi, kalau makin banyak orang yang memperdagangkan dan memakai kaos tersebut, lampu tanda bahaya seharusnya mulai dinyalakan.
Saya masih ingat persis, waktu Jokowi menggunakan baju kotak-kotak, hanya dalam waktu kurang dari sebulan stok baju itu susah dicari di pasaran. Baju itu dijual mulai dari harga 50-an ribu sampai di atas 200 ribu, dan selalu habis. Kita bisa melihat orang memakai baju kotak-kotak dengan bangga, sekalipun bukan warga Jakarta. Di berbagai kota di seluruh Indonesia, baju itu dikenakan orang dengan perasaan yang berbeda. Ada imajinasi yang menyatukan mereka, ada fiksi yang menautkan mereka. Sungguh fenomena politik yang luar biasa.
Jejak itu bergema sangat panjang, bahkan ikut berkontribusi dalam pemenangan Jokowi sebagai presiden RI ketujuh pada 2014. Tanpa gema citra kemeja kotak-kotak yang menyebar ke seluruh Indonesia, rasanya sulit bagi Jokowi waktu itu untuk punya popularitas dan elektabilitas yang naik sangat cepat dan dengan cepat pula mengalahkan tokoh-tokoh nasional yang lebih dulu populer: Prabowo Subianto, Mahfud MD, Aburizal Bakrie, bahkan Megawati.
Dari pengalaman itulah, mungkin, sebagai pelaku yang pernah mengalami sendiri, insting politik Jokowi langsung bekerja dengan cermat dalam melihat fenomena kaos #2019GantiPresiden.
Kalau dalam dua bulan ini kaos itu dikenakan orang dengan rasa bangga, dipajang di berbagai medsos, dan bisa kita temui di berbagai tempat di seluruh Indonesia, kaos ini berarti tumbuh bersama dengan apa yang sedang bekerja di bawah sadar masyarakat kita. Apalagi jika sampai diperdagangkan di pasar, mal, atau pedagang kaki lima. Pun demikian jika kita mudah menjumpai orang mengenakan kaos itu di mal, jalanan, bandara, stasiun kereta, dll.
Mungkin saja sinyalemen Prabowo menerima mandat dari Gerindra untuk maju lagi sebagai calon presiden akan dipastikan, salah satunya, dengan cara melihat apakah kaos ini direspons positif oleh masyarakat kita atau tidak.
Jadi, perkara kaos ini bukan main-main. Inilah yang bisa menjelaskan kenapa Jokowi perlu merespons hal ini. Dia pernah mengalaminya sendiri. Dan berhasil. Ada jejak panjang di dirinya soal kekuatan busana dalam politik. Membekas begitu kuat. Karena itu, insting politiknya cepat bereaksi. Saya kira itu wajar.
Demikian.