Saya beruntung, punya cukup banyak kawan yang suka sekali belajar. Begitu gemar mencari ilmu dengan perilaku yang macam-macam. Ada yang bisa saya mengerti, meski banyak pula yang susah saya pahami.
Seorang kawan saya misalnya, pernah berbulan-bulan berusaha mencari sosok yang dipikirnya pas untuk mempelajari suatu ilmu. Bahkan sebagai gambaran begitu besar keinginannya mencari ilmu, hanya untuk sekadar mencari informasi tempat Sang Guru saja membutuhkan waktu lama dan sangat merepotkan.
Ketika akhirnya ketemu di mana Sang Guru, kawan saya pergi ke rumahnya. Untuk pergi ke sana, kawan saya mesti naik pesawat lalu dilanjutkan menyewa mobil. Cukup jauh. Pencarian pertama gagal. Sang Guru tak ada di tempat. Pencarian kedua juga gagal. Lagi-lagi Sang Guru tidak ada di rumahnya. Pada pencarian ketiga, dia akhirnya bertemu dengan sosok yang dicarinya.
Tapi tidak lama kemudian dia sudah di Jogja lagi. Saya yang tahu proses itu agak penasaran. Kok cepat sekali proses belajar kawan saya itu? Karena rasa penasaran, saya menemuinya, dan langsung saya bertanya soal itu.
Jawaban kawan saya bikin kaget. Dengan santai dia menjawab begini, “Aku sudah bertemu beliau. Tapi langsung pulang.”
“Lah, kenapa?”
“Sampai di sana aku disuguhi minum. Begitu beliau minum, pakai tangan kiri. Wah, ya nggaklah kalau begini.”
Saya hanya geleng-geleng kepala. Hanya karena orang minum memakai tangan kiri, kawan saya membatalkan pencarian ilmunya.
Akan tetapi kisah seperti itu agak banyak. Kalau tidak salah, Imam Bukhari pernah berbulan-bulan mencari seseorang yang dianggap bisa memberikan informasi tentang sebuah hadis.
Ketika bertemu dengan sosok yang dicarinya, Sang Imam langsung balik. Waktu itu, Imam Bukhari melihat sosok yang dicarinya sedang menggoda kuda seakan sedang menggenggam makanan, agar kuda itu mendekat. Padahal tidak ada makanan di genggaman tangannya. Dari situ, Imam Bukhari mengambil kesimpulan, orang tersebut tidak bisa dijadikan rujukan.
Saya juga beruntung punya beberapa teman yang serius mencari pemimpin di negeri ini. Mereka serius mencari tahu sosok Prabowo dan Jokowi, Sandi dan Ma’ruf Amin. Bagi mereka, memilih pemimpin bukan sekadar suka atau tidak. Ini persoalan tanggung jawab moral. Orang-orang sejenis ini tak terpengaruh medsos, tak ikut analisis ini dan itu, apalagi gosip. Kalau ada satu juta orang saja yang seperti ini, sepertinya politik bisa jadi kerja yang indah.
Tapi saya punya kisah lain juga. Dulu, di sebuah desa, ada satu keluarga yang juga sangat serius mencari pemimpin. Mereka berlima (dua orangtua dan tiga anak) malam sebelum pencoblosan memanjatkan berdoa terus-menerus. Namun apa daya, sehabis Subuh, mereka berlima malah ketiduran. Saat mereka bangun, TPS sudah ditutup. Orang yang hendak mereka pilih, yang berdasarkan keyakinan setelah berdoa, ternyata kalah, dan hanya kalah dengan selisih 4 suara.
Setelah kejadian itu, keluarga tersebut punya penyesalan yang sangat panjang. Mereka merasa, karena kekeliruan merekalah maka desanya punya pemimpin yang salah. Cerita yang hampir sama terjadi di desa lain. Mirip. Berdoa bersama, lalu ketiduran. Begitu bangun, pemilihan telah usai dan calon yang mereka dapatkan lewat mimpi kalah tipis.
Bedanya, Si Bapak segera memanggil semua anggota keluarga. Dia bilang begini, “Ada banyak orang percaya pada takdir. Tapi begitu urusan seperti yang kita alami, kepercayaan terhadap takdir lenyap. Menggerutu dan menyesal. Bukankah terpilihnya kepala desa sekarang memang sudah takdir Tuhan?”
Nah, sekarang saya mau berkisah tentang apa yang saya alami sendiri. Pada Pilpres 2014, beberapa kawan saya yang konon mendalami ilmu kejawen, sufi, atau apalah itu, hampir sebagian besar dari mereka saat bertemu saya bilang begini, “Sudah ditulis di langit, yang akan menjadi Presiden adalah Prabowo.”
Ya jelas saya geli. Saya bukan sepenuhnya orang rasional, tapi setidaknya saya bisa melakukan analisis politik berdasarkan survei yang ada. Itu alasan pertama. Alasan kedua, lha kok ada orang yang tahu kalau Tuhan memutuskan Prabowo yang menang? Kok jadi ngeri amat? Tapi hal serupa itu bukan hanya dikatakan satu orang, melainkan banyak orang.
Begitu Pilpres selesai, dan Jokowi menang, saya langsung menemui teman-teman saya itu. “Ini bagaimana dengan skenario Tuhan? Kok Jokowi yang menang?” tanya saya dengan ketawa-ketiwi.
Uniknya, alasan mereka sama. Sebetulnya Prabowo yang menang, tapi malaikat yang membawa mandat Prabowo dicegat di tengah jalan oleh jin, lalu mandat itu direbut untuk Jokowi.
Saya langsung bilang, “Cak, sori ya, aku ini penulis fiksi. Tapi ya kok nggak kepikiran bikin fiksi kayak gitu.”
Mereka tersinggung. Tapi ya hanya sebentar. Karena tak lama kemudian semua orang akhirnya sibuk mencari makan.