Kisruh antara Partai Demokrat versi AHY versus versi Moeldoko, tampaknya belum lerai, bahkan eskalasinya makin meningkat. Namun, ada satu sorotan yang menimbulkan perdebatan publik: apakah Jokowi terlibat di belakang aksi Moeldoko dalam mengambil alih Partai Demokrat?
Salah satu cara yang mendasar dalam membuat analisis tersebut adalah apa motifnya jika Jokowi mendukung aksi Moeldoko dan atas perhitungan kepentingan apa? Mari kita membuat sedikit perhitungan.
Pertama, kalau misalnya kepentingan Jokowi adalah untuk membuat semacam stabilitas politik dalam sisa pemerintahannya, saya kira itu jelas motif yang tidak masuk akal. Selama ini, hanya dengan menyisakan PKS dan PD di luar pemerintahan Jokowi, kedua partai tersebut tak banyak bisa melakukan manuver yang konfrontatif, yang bisa mengganggu efektivitas pemerintahan Jokowi. Jangankan mengganggu dalam konteks aksi-aksi politik yang membahayakan. Bahkan dalam kategori merecoki pun, tidak sanggup dilakukan kedua partai tersebut.
Kedua, posisi Moeldoko yang sangat strategis sebagai kepala staf presiden, rasanya tidak mungkin dipertaruhkan oleh Jokowi untuk membuat kondisi politik ingar-bingar. Terlebih, pemerintah sedang fokus mengatasi pandemi dan tantangan ekonomi. Pasalnya, pandemi bukanlah sesuatu yang mudah. Jangankan mendukung, merestui langkah Moeldoko pun rasanya tidak masuk akal dalam situasi yang serbasulit seperti sekarang ini.
Ketiga, Jokowi pasti sadar bahwa di dalam kabinetnya, ada sekian nama yang berniat sekaligus berpotensi ikut adu capres/cawapres pada 2024. Jika sejak awal Jokowi terlihat mendukung salah satu di antaranya, apalagi dengan merestui manuver yang berisiko, tentu hal tersebut juga berpotensi menimbulkan kekisruhan di dalam jajaran kabinetnya.
Keempat, terakhir, jika Jokowi mendukung langkah Moeldoko, hal itu akan mengundang keresahan di partai-partai pendukungnya. Sebab dengan tidak ada dalam ekosistem pemerintahan, maka kemungkinan Demokrat untuk meraih hasil besar dalam Pilpres 2024 akan menipis. Artinya, itu akan sedikit memudahkan persaingan partai-partai pendukung Jokowi untuk meraup hasil lebih banyak lagi.
Apabila Demokrat bisa diambil oleh Moeldoko, pasti partai tersebut akan dibawa merapat ke kubu Jokowi yang sudah mulai sesak. Hal itu terbukti sudah, manuver pertama yang dilakukan Demokrat versi Moeldoko adalah mengumumkan merapat ke kubu Jokowi, dan memberi sinyal soal bagian kursi menteri. Menilik hal tersebut, rasanya mendukung Moeldoko, bukan opsi penting bagi Jokowi. Pasalnya, dia tak mau mengambil risiko kegaduhan baru terjadi di barisan partai-partai pendukungnya.
Poin-poin di atas menimbulkan pertanyaan baru. Apakah Moeldoko setidaknya memberi tahu apa yang akan dilakukannya kepada Jokowi? Sebagai salah satu orang dekat Presiden Jokowi, baik secara pribadi maupun secara kelembagaan, rasanya tidak mungkin Moeldoko tak memberitahu kepada Presiden Jokowi. Di sinilah sisi yang mesti ditelisik lagi. Lantaran dalam berpolitik, tersimpan bahasa-bahasa dan simbol-simbol politik yang bisa sangat multitafsir.
Bisa saja Moeldoko memberitahu Jokowi, tetapi dengan informasi yang sepotong-sepotong, atau tidak lengkap. Jokowi tentu saja bukan jenis manusia yang punya karakter untuk melarang-larang. Bisa saja Jokowi hanya bilang semacam, coba dipikir dan dihitung baik-baik. Misalnya begitu. Lalu Moeldoko kukuh dengan argumennya. Ya sudah. Cuma masalahnya, mungkin apa yang dikatakan Moeldoko kepada Jokowi tidak sesuai fakta yang kemudian terjadi. Ternyata yang terjadi geger-geden, yang berpotensi bikin kisruh situasi politik, terlalu bising, dan berpotensi membuat kegaduhan baru di internal orang-orang maupun partai-partai politik di barisan Jokowi.
Masalahnya sekarang, kenapa dalam situasi kisruh seperti sekarang ini, Jokowi tidak segera mengambil tindakan?
Kalau misalnya tindakan yang kita bayangkan adalah menegur Moeldoko, tentu saja itu percuma. Nasi bukan hanya sudah telanjur menjadi bubur, melainkan buburnya pun sudah jatuh ke tanah. Ini situasi yang sudah tidak bisa diperbaiki lewat teguran. Bayangkan, tidak mungkin misalnya setelah Jokowi menegur Moeldoko lalu kepala staf presiden itu akan datang kepada AHY dan bilang, “Dik Agus, sorry ya, saya kemarin khilaf. Ini Demokrat saya kembalikan.” Artinya, teguran tidak akan bisa memadamkan api yang dipercikkan oleh Moeldoko.
Lalu kalau begitu, kenapa tidak dipecat atau dalam bahasa yang lebih sopan, diganti saja? Supaya Moeldoko selain lebih fokus mengurus Demokrat baru hasil prakaryanya itu, juga bisa menjaga Jokowi tidak dilibatkan dalam kisruh yang cenderung memalukan tersebut.
Saya punya keyakinan Jokowi akan mengganti Moeldoko. Apalagi situasi makin memanas. Jokowi sadar semua itu tidak baik buat jalannya pemerintahannya. Mungkin dia sedang menunggu momentum yang pas. Supaya seolah dia tidak membuang begitu saja sosok yang selama ini harus diakui mampu memimpin sebuah lembaga yang sangat penting dalam mendukung dan mengamankan kinerja seorang presiden.
Masalah yang lain adalah, mendapatkan ganti orang dengan kualitas seperti Moeldoko (dalam konteks sebagai kepala staf presiden), tentu bukan hal yang mudah. Baik dalam soal kapasitas maupun kecocokan personal (chemistry).
Moeldoko saya kira memang sedang membuat kesalahan fatal dalam langkah politik, yang membuatnya terjebak, maju kalah, mundur malu. Namun, Jokowi pun sedang dalam situasi dilematis yang membuatnya butuh waktu untuk mengganti Moeldoko.
Rasanya, mengganti Moeldoko adalah kepastian. Dan itu hanya soal waktu. Karena tidak semua akan selalu enak pada waktunya. Termasuk mengganti orang kesayangan.
BACA JUGA Manuver Moeldoko Baru Halaman Pertama dan KOMENTAR KEPALA SUKU lainnya.