MOJOK.CO – Kekuatan populis yang mampu ngontrol masyarakat kita dalam waktu cepat itu ya organisasi agama. Bikin fatwa mudik Lebaran haram misalnya.
Sebagai warga Muhammadiyah, saya bangga dengan sikap PP Muhammadiyah terbaru yang menyatakan bahwa tidak mudik Lebaran tahun ini merupakan jihad kemanusiaan.
Landasannya nggak usah dibahas, lah. Sampeyan semua sudah pada tahu. Ini masa genting, segala kemungkinan terburuk mesti secepatnya dicegah dengan melibatkan sebanyak mungkin pihak.
Dan, salah satu pihak yang paling strategis sekaligus sangat powerful dalam menjalankan kendali atas masyarakat luas ya otoritas keagamaan.
Anda yang selama ini hobi bersikap sinis kepada otoritas-otoritas keagamaan mungkin tidak akan setuju, dan menganggap pola seperti itu omong kosong. Namun, kalau kita mau melihat realitas sosiologis masyarakat Indonesia, kekuatan populis yang mampu mengontrol massa dalam jumlah besar dan dalam waktu cepat ya agama dan pemegang otoritas agama.
Otoritas tersebut bisa jadi jalan pintas efektif untuk menggerakkan jutaan orang, daripada sekadar seruan-seruan moral Pak Jokowi yang setiap saat muncul di layar tipi jaringan Indihom di rumah saya, apalagi sekadar video kartun iklan layanan masyarakat yang menampilkan Pak Airlangga Hartarto dan Pak Muhadjir Effendi itu.
Sayangnya, seefektif apa pun, tetap saja saya melihat para penggenggam otoritas keagamaan itu masih terbebani dengan rasa pekewuh dan malu-malu. Coba kita lihat saja bahasa yang dipakai.
Untuk urusan salat Jumat, misalnya, PP Muhammadiyah bulan lalu masih juga menggunakan kata “mengimbau”. PP Muhammadiyah mengimbau umat muslim, khususnya warga Muhammadiyah, agar tidak melaksanakan salat Jumat dulu di masjid selama masa serbuan wabah COVID-19 ini.
Wow! Mengimbau! Dan namanya imbauan, maksimal kan ya sebatas “Alangkah baiknya bila kita semua…”.
Konsekuensi logisnya, ini cuma soal level kualitas, bukan soal garis tegas antara maslahat dan tidak maslahat, apalagi soal merusak dan tidak merusak. Padahal, yang kita hadapi sekarang ini lebih serius daripada perkara bagus-bagusan yang tercermin dalam istilah “imbauan” dan “alangkah baiknya”.
Begini maksud saya. Agama, dalam hal ini Islam, punya tingkatan-tingkatan hukum atas sesuatu. Ada wajib, sunnah (dianjurkan), mubah (boleh), makruh (lebih baik dihindari), dan haram (terlarang keras).
Dari kelima tingkatan itu, rasanya yang namanya imbauan itu setara dengan sunnah saja, dan “imbauan agar tidak” ya setara makruh.
Tak terkecuali untuk sikap tidak mudik Lebaran, yang disebut jihad kemanusiaan itu. Tidak mudik itu disetarakan sunnah, dan mudik itu disetarakan makruh. Dan karena mudik itu cuma setara makruh, maka kalau Anda menghindarinya ya Anda dapat pahala, tapi kalau Anda tetap ngotot melakukannya Anda tidak berdosa. Ya, tidak berdosa. Alias aman-aman saja.
Dalam khazanah obrolan hukum Islam, contoh kasus makruh yang paling lazim disebut adalah makan jengkol. Makan jengkol itu bau dan bisa bikin orang lain terganggu, maka hukumnya makruh. Tapi kalau Anda tetap makan, ya nggak dosa, wong cuma makruh.
Nah, mudik Lebaran di masa corona ini cuma disetarakan dengan makan jengkol, Sodara!
Sementara itu, kita sama-sama sudah paham bahwa risiko mudik Lebaran massal tahun ini adalah tersebar luasnya virus sampai taraf tak terkendali.
Para pemudik bisa menjadi carrier virus dari kota lalu menyebarkannya ke kampung halaman, dan ribuan bahkan jutaan pemudik bisa menyebabkan tumbangnya korban dalam jumlah yang berlipat-lipat lebih menyeramkan daripada yang selama ini kita bayangkan.
Betul, ini sudah perkara risiko kematian massal. Kalau sudah begini, sebagaimana Majelis Tarjih Muhammadiyah pernah menjatuhkan fatwa haram untuk rokok, semestinya tak perlu juga malu-malu dan takut-takut jika lembaga yang sama, bersama MUI, syukur-syukur Bahtsul Masail NU sekalian, menyatakan dengan tegas: “Mudik di masa wabah Corona haram hukumnya!”
Kenapa tidak? Sekali lagi, bukankah nyawa ratusan ribu orang yang sedang dipertaruhkan?
Itu tadi baru pertimbangan rasionalnya, kenapa mudik Lebaran yang berisiko menciptakan ratusan ribu kematian itu layak difatwa haram. Pertimbangan lain, ya memang bahasa-bahasa keras begitu sangat diperlukan untuk menciptakan efek psikologis yang jelas ke hadapan massa yang sangat luas.
Bahkan saya sendiri tidak keberatan kalau tiba-tiba muncul narasi-narasi lain yang lebih galak, dengan memanfaatkan emosi massa, hanya demi tujuan kilat agar publik luas dengan mudah bisa lebih terkendali.
Misalnya, rasanya keren juga jika Pak Amien Rais naik panggung lagi dan mengobarkan ghiroh Perang Badar.
“Perang melawan COVID adalah Perang Badar! Siapa saja yang tak tahan di rumah lalu nekat mudik, dia ibarat prajurit pengecut yang cinta dunia dan takut mati, lari terbirit-birit dari medan pertempuran!”
Bisa juga dilanjutkan dengan, “Hari ini kita akan tahu siapa yang berada di kubu Partai Allah dan siapa di Partai Setan. Partai Allah dihuni mereka yang tetap tabah meringkuk di rumah masing-masing, dan Partai Setan berisi mereka yang dengan cueknya mudik Lebaran!”
Dahsyat, kan? Saya yakin, meskipun sebagian di antara Anda tertawa, narasi-narasi seperti itu di gelaran politik terakhir terbukti efektif dan ditaati jutaan orang. Nah, sekaranglah saatnya kalimat-kalimat agung yang membuat dada menggelinjang itu digunakan untuk manfaat yang lebih nyata, demi kemaslahatan segenap rakyat Indonesia.
“Lah, gimana dengan kami yang tak punya apa-apa lagi di kota, sudah jadi korban PHK, tak ada lagi makanan tersisa, dan artinya kami malah cari mati kalau nggak mudik, Buosss? Mudik bagi kami adalah upaya mengungsi untuk menyelamatkan nyawa juga!”
Oh, kalau itu jelas.
“Terkait para penghuni kota yang tak lagi punya sumber penghidupan, haram hukumnya bagi pemerintah untuk menelantarkan mereka! Haram! Haram! Haram! Dosa besar! Pemerintah akan dibenamkan ke kerak neraka jika mengabaikan mereka!”
BACA JUGA Dua Jenis Mudik dan Perlukah Mudik Dilarang? atau tulisan Iqbal Aji Daryono lainnya.