Intervensi asing untuk Kementerian Keuangan
Terbaru, pada Juni 2022, Bank Dunia kembali memberikan dana sebesar 750 juta dolar AS untuk belanja pembangunan yang lebih efisien dan tepat guna. Reformasi kebijakan dan administrasi pajak menjadi alasan mengapa Indonesia harus berbenah, dan dana dari mereka adalah pemulusnya.
Bahkan, sebelumnya, pada April 2022, Indonesia juga menerima dana sebesar 350 juta dolar AS. Siapa yang menerimanya? Kementerian Keuangan yang diwakili Febrio Nathan Kacaribu dan Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan via Andi Megantara.
Dalam data yang mudah kamu temukan di Google dengan kata kunci “Program Information Document” terpampang jelas bahwa ada lima agenda, jika itu bukan disebut kepentingan, yang wajib dilakukan pemerintah Indonesia.
Lima agenda tersebut terbagi menjadi dua kategori. Pertama, peningkatan efektivitas publik untuk Sumber Daya Manusia. Tampak indah dan mulia, bukan? Di sini ada tiga sub-kategori, yaitu program anti-stunting, pemulihan TB karena Covid-19, dan peningkatan akses pelayanan kesehatan.
Kedua, melindungi manusia. Kesannya kayak mau ada zombie menyerang Indonesia, ya? Jadi, ada dua sub-kategori yaitu pengendalian tembakau dan bantuan pelatihan kerja bagi yang terkena dampak (resesi).
Tembakau kena lagi
Bagi saya, yang menarik adalah pengendalian tembakau. Ada apa dengan tembakau? Apakah sebegitu berbahayanya sehingga Kementerian Keuangan perlu “meminta” dana kepada Bank Dunia? Dalih apalagi yang ingin digunakan oleh Kementerian Keuangan, yang dalam hal ini diwakili oleh Sri Mulyani dan Febrio Nathan Kacaribu, untuk mengendalikan tembakau? Apakah kenaikan cukai rokok untuk menurunkan jumlah perokok anak?
Nah, jumlah perokok anak ini ramai dalam dua pekan terakhir dan ada fakta menarik. Nur Rohim Yunus, peneliti dari UIN Syarif Hidayatullah mengatakan bahwa adanya diskrepansi data antara dua lembaga yaitu, Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik.
Riset 2018 oleh Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa jumlah perokok anak meningkat dari 7,2 menjadi 9,1 persen. Riset tersebut bekerja sama dengan Global Youth Tobacco. Sedangkan, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah perokok anak menurun, dan bahkan pada 2021, menyentuh angka 3,69 persen. Tentu saja, BPS melakukan riset tersebut dengan tenaga orang dalam yaitu, orang-orang Indonesia.
Dari data tersebut, jika saya baca, tidak heran muncul dugaan bahwa Kementerian Keuangan lebih menghamba dan percaya kepada pihak asing ketimbang hasil riset anak negeri. Padahal, seperti yang dijelaskan Luhut Binsar Panjaitan dalam Konferensi G20 beberapa saat lalu bahwa Indonesia tidak boleh diintervensi negara lain.
Indonesia ternyata belum berdaulat
Survei dari Pusat Kajian Hukum dan Pancasila Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan 90 persen masyarakat Indonesia TIDAK MAU mendapatkan intervensi asing. Indonesia harus berdaulat.
“Kita harus tunjukkan ke dunia bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar, bangsa yang bisa mengatur dirinya. Negara-negara lain tidak perlu mengatur kita.”
Bahkan, secara klir, Luhut juga menyampaikan jangan sampai komoditas unggulan Indonesia, yang salah satunya tembakau, mendapatkan hambatan. Sebab, komoditas yang banyak menghidupi masyarakat Indonesia itu sering mendapatkan kampanye negatif.
Semestinya, pemerintah harus membaca lebih jeli dan cermat. Omong kosong, apabila masyarakat Indonesia diminta untuk berdaulat, suruh membikin karya sendiri, yang pada akhirnya hanya sekadar penghargaan, klaim tepuk tangan, tanpa ada tindak lanjut.
Jadi, sudah terlanjur di zona nyaman, Kementerian Keuangan? Tangan di bawah lebih menyenangkan daripada di atas, ya? Aaah, emang soal cuan, terkadang, memang mudah diselesaikan lewat perjanjian berdalih belas kasihan.
BACA JUGA Dana Pensiun dan Mulut Manis Sri Mulyani Si Sales Bank Dunia dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno