MOJOK.CO – Menjadi warga kelas menengah Indonesia seperti mendapat lotre kutukan. Tidak bisa dapat bantuan dan paling menderita karena tekanan ekonomi.
Mau tau apa yang bikin hidup kelas menengah Indonesia itu rasanya kayak taek? Sebab banyak kebijakan pemerintahnya yang nggak jelas! Asuuuuuuu!
Belum reda kemarahan publik terkait riuh revisi UU Pilkada yang bikin massa turun ke jalan, bukannya kapok, pemerintah malah bikin ribut lagi. Kali ini dari Dirjen Perkeretaapian yang ada di bawah naungan Kementerian Perhubungan, bikin ulah.
Dilaporkan serentak oleh beberapa media di Tanah Air, pemerintah berencana mengubah alur pemberian subsidi bagi layanan KRL Jabodetabek menjadi layanan berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Asu!
Meski belum jelas apakah akan langsung diterapkan tahun depan, satu yang pasti, wacana ini tertuang dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025 yang telah diserahkan pemerintah ke DPR untuk dibahas bersama dalam waktu dekat. Orang-orang ini mikirnya apa ya? Selalu bikin menderita warga kelas menengah Indonesia.
Kebijakan yang SELALU menumbalkan kelas menengah Indonesia
Kamu pernah membayangkan kondisi kayak gini nggak. Banyak negara menggenjot penggunaan transportasi umum untuk menekan polusi dan kemacetan. Tiba-tiba, secara sangat brengsek, Indonesia malah mau mengatur tarif KRL pakai NIK. Goblok banget!
Alasannya juga selalu klise, yaitu agar subsidi tepat sasaran. Wooooooo gendeng!
Apa selama ini dikiranya pemakai KRL itu harusnya orang miskin sehingga moda transportasi ini nantinya lekat dengan stigma kendaraan umum wong kere? Kalau benar ini logika yang ada di pembuat kebijakan, berarti benar belaka bahwa kita emang nggak pernah siap buat jadi bangsa maju.
Dan tau nggak siapa tumbal terbesar dari penyesuaian tarif berbasis NIK ini? Lagi dan lagi, kelas menengah Indonesia.
Kenaikan warga kelas menengah Indonesia yang jadi tumbal kebijakan pemerintah
Mari kita intip dari data ya, karena angka gak bisa bohong. Kita harus mengakui bahwa di periode pertama Jokowi (2014-2019), terjadi ledakan penduduk kelas menengah. Peningkatannya pesat, dari 39 juta jiwa di 2014, menjadi 50 juta jiwa pada 2018.
Ini naik hampir 9% dibanding data 2014 di mana hanya 15,6% kelas menengah dari total populasi kita. Ini pertanda bagus, bahwa ekonomi kita tumbuh dengan baik. Hal baik seperti ini harus kita apresiasi, sebab pemerintah menjalankan tugasnya dengan oke. Kayaknya sih begitu.
Eh tapi jangan senang dulu. Lampu kuning menyala di fase kedua pemerintahan Jokowi, tepatnya setelah 2018. Kondisi ini makin parah ketika pandemi COVID-19 melanda. Dalam rentang 2018-2023 saja, ada 8,5 juta orang yang “turun kelas” dari kelas menengah menjadi calon kelas menengah dan rentan atau kalau saya nyebutnya, nyaris dimiskinkan oleh keadaan.
Penurunan daya beli para warga yang rentan
Sebabnya ya apalagi kalau bukan penurunan daya beli kelas menengah Indonesia. Di konteks KRL aja deh. Seberapa banyak sih pekerja sektor formal yang mengalami kenaikan gaji signifikan dalam 5 tahun terakhir?
Dengan gaji yang naik lambat, KRL jadi penyelamat karena sebagian besar pekerja di Jakarta tinggal “tidak di Jakarta”. Sebuah desa raksasa, yang kita tau sendiri harga tanah dan bangunannya sudah nggak terjangkau di budget kelas menengah Indonesia pada umumnya.
Kelas menengah Indonesia itu posisi paling berat dan rentan. Mereka tidak mendapat bantuan seperti layaknya kelompok masyarakat yang diklasifikasikan sebagai orang miskin.
Namun, kelas menengah juga belum bisa disebut mapan secara finansial. Karena saya ada di kelompok ini, saya mengamini betul karena nyaris mustahil kita bisa lompat kelas jadi orang kaya meski dikasih waktu 5 tahun, misalnya. Dan dengan mayoritas kelas menengah umumnya adalah pekerja sektor formal atau karyawan kantoran, nyaris mustahil pula kita jadi orang kaya di jalan ini.
Mari berdikari
Sekarang coba jawab pertanyaan saya. Ada berapa orang di sekitar kamu yang jadi karyawan kantoran tanpa usaha sampingan, tapi bisa beli rumah, mobil, dan punya tabungan ratusan juta dengan modal sendiri?
Kalau kamu kesulitan menjawab pertanyaan ini, ya berarti memang nggak ada jawabannya.
Jadi ya solusinya, karena kebijakan pemerintah sering caur, seperti kata Bung Karno, kita harus berdikari. Dengan pola pikir kocak para pembuat kebijakan dan situasi ekonomi yang gak menentu kayak gini, opsi yang bisa kita lakukan cuma belajar memulai bisnis sendiri.
Kalau bisnis skala besar terlihat susah karena modal dan sewa tempat, setidaknya kita bisa coba dengan bisnis daring. Banyak platform e-commerce di Indonesia yang bisa jadi awal mula kita memulai bisnis online, misalnya Tokopedia.
Tokopedia bisa jadi pilihan untuk mandiri
Ini lebih ke preferensi saya mengingat user interface mereka yang simpel dan mudah dipahami aja, sih. Terutama buat pemula yang baru nyemplung di toko online.
Kelas menengah Indonesia itu adalah golongan yang paling pas untuk jadi pembuka jalan bisnis pribadi. Secara modal, sebenarnya kita ada, meski nggak banyak, tapi cukup untuk jadi awalan.
Memulai bisnis di platform kayak Tokopedia itu kan sebenarnya bisa 0 rupiah karena nggak perlu sewa tempat atau bayar iklan di awalnya. Bahkan untuk mengajukan kredit usaha ke bank, karena umumnya kelas menengah Indonesia punya gaji tetap, kemungkinan besar kita juga punya peluang besar dapat suntikan modal dari bank.
Dengan memulai bisnis kecil-kecilan, setidaknya kita ikhtiar untuk memastikan hidup ke depannya lebih aman dan stabil. Meski kebijakan pemerintah sering ngawur banget!
Penulis: Isidorus Rio
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Berjuang Membangun Toko Online Selama 2 Tahun di Tokopedia dan Kini Saya Bisa Hidup dengan Nyaman dan pengalaman inspiratif lainnya di rubrik ESAI.