MOJOK.CO – Merasa pemerintah hari ini beserta para oposannya kerap bertindak konyol? Oke, ini rahasianya: itu bukan hal baru. Sejarah Indonesia kaya akan itu.
Minggu, 11 Juni 1983. Ada keheningan mencekam di seluruh wilayah Indonesia. Sepanjang lima menit empat detik sejak pukul 11.29 WIB, penduduk dari Sabang sampai Merauke tinggal di dalam rumah, menutup erat pintu dan jendela rumah mereka. Beberapa minggu sebelumnya, pejabat negara dengan gencar menyampaikan kepada khalayak untuk mewaspadai bahaya kebutaan yang mungkin timbul akibat paparan cahaya matahari saat terjadinya gerhana matahari total.
Siaran televisi dan radio serta pemberitaan media cetak diisi dengan serangkaian imbauan agar masyarakat menyaksikan peristiwa langka semesta tersebut melalui televisi yang disiarkan langsung Televisi Republik Indonesia (TVRI). Rakyat diperintahkan untuk tidak secara langsung menyaksikan peristiwa itu. Pemerintah bahkan menerjunkan aparat kepolisian dan militer untuk memastikan orang tidak berkumpul di tempat terbuka menyaksikan gerhana. Di Jawa Timur, bahkan aparat telah menyita puluhan teropong yang mungkin akan digunakan untuk mengamati gerhana. Bahkan pemerintah juga menyuruh para pemilik ternak untuk menggiring hewan peliharaan mereka ke kandang dan menutup mata hewan-hewan itu dengan kain agar selamat dari kemungkinan kebutaan.
Gerhana matahari total 1983 adalah salah satu lelucon besar dalam catatan sejarah Orde Baru di masa jayanya. Dengan caranya yang khas, pemerintah berhasil menularkan kebodohan massal di kalangan petinggi negara untuk khalayak ramai. Ketika jutaan orang-orang Indonesia mengunci diri dengan hati cemas di dalam rumah mereka, turis, ilmuwan, dan wartawan mancanegara ramai berdatangan ke Indonesia untuk meliput dan menyaksikan secara langsung peristiwa gerhana. Indonesia memang menjadi tempat terbaik mengamati gerhana. Sebagian dari mereka bahkan menyaksikan peristiwa gerhana tersebut di Candi Borobudur demi menambah suasana magis gejala kosmis tersebut.
Di luar kampanye pemerintah untuk melindungi rakyatnya dari kemungkinan kebutaan total akibat paparan radiasi sinar matahari saat gerhana, sejumlah terpelajar dan akademisi di kampus telah menyampaikan suara mereka tentang penyampaian informasi keliru dan berlebihan dalam mengantisipasi gerhana. Namun, suara mereka terdengar sayup-sayup saja. Di dalam masyarakat dengan kaum militer sebagai penguasa, suara cerdik pandai tidak berarti apa-apa dibanding perintah seorang sersan dan prajurit sekalipun. Mereka bisa menyampaikan ini dan itu terkait keahlian masing-masing, tetapi soal ketertiban dan keamanan sepenuhnya urusan tentara.
***
Kekonyolan seperti itu mungkin cukup mengherankan bagi generasi jaman now. Namun, bagi mereka yang lahir dan tumbuh besar pada zaman itu, segalanya adalah makanan sehari-hari. Masyarakat Orde Baru telah terbiasa patuh dan mengikuti petunjuk (baca: perintah) penguasa terkait apa yang benar dan selaras dalam kehidupan sehari-hari. Rezim itu tumbuh semakin kuat dengan mantra ketertiban dan keamanan yang menjadi landasan bekerjanya sistem sosial, budaya, dan politik masyarakat Orde Baru.
Penerjemah utama ketertiban dan keamanan sudah pasti adalah kalangan tentara yang menduduk posisi penting bukan saja di bidang kemiliteran, tetapi juga dalam birokrasi sipil yang berjenjang dari istana negara sampai kampung-kampung di pelosok. Apabila ada pejabat setingkat RT dari kalangan warga sipil, bisa dipastikan sudah tidak ada lagi seorang pensiunan tentara yang tinggal di lingkungan tersebut.
Sejarah masyarakat Orde Baru adalah sebuah cerita sejarah ketika kaum militer tampil sebagai warga utama kelas satu, diikuti secara berurutan dengan birokrat, pengusaha kaya, dan sisanya adalah orang-orang kebanyakan. Masyarakat sudah maklum bila setelah lama menanti dalam antrean panjang membeli tiket kereta, tiba-tiba muncul seorang perempuan berkebaya dan sanggul berjalan lenggang kangkung menuju loket tanpa mengantre. Mereka yang ada dalam barisan antrean hanya bisa menggerutu dalam hati dan menduga-duga bahwa kalau bukan istri seorang perwira, barangkali ia istri pejabat penting di pemerintahan.
Sepanjang tiga dekade kekuasaan Orde Baru, masyarakat memahami dengan baik apa arti privilese dan siapa saja yang berhak menikmatinya. Privilese ini berkelindan dengan piramida hierarki sosial masyarakat Orde Baru. Di lapisan paling atas adalah para pejabat tinggi negara, kemudian para hartawan serta mereka yang dapat mengeruk rezeki berlimpah, diikuti para pejabat rendahan, dan terakhir adalah orang-orang kebanyakan. Di dalam struktur birokrasinya, tugas para bawahan adalah membuat senang atasan mereka. Tabiat ini mengular dari tingkat kampung sampai istana negara. Meski sering disebutkan, setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum, tetapi setiap orang tahu bahwa ada orang-orang tertentu yang kebal terhadap hukum. Anak penguasa yang tersangkut kasus kriminal tetap dapat menikmati hidup berlebihan mereka tanpa perlu khawatir menghadapi jeruji penjara. Hukum hanya berlaku untuk orang kebanyakan. Hukum juga mengalami perluasan arti sebagai hukuman, bukan lagi sebuah upaya pencapaian keadilan.
Dalam lapangan kebudayaan, apa yang bersifat publik bercampur baur dengan hal yang privat. Apabila penguasa tertinggi saat itu memandang gerhana mungkin membawa kesialan bagi kehidupan pribadinya—sesuai bisikan para dukun atau “orang pintar” di sekelilingnya—maka mesin pemerintahan di bawahnya turut bekerja keras memastikan pandangannya berlaku juga untuk seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada juga pihak yang merasa perlu perlu bertanggung jawab atas kekonyolan itu. Kehidupan toh akan kembali normal dan para pegawai akan melanjutkan pekerjaan mereka seperti biasa. Apabila muncul suara-suara sumbang di luar kelaziman, rezim itu tidak terlampau dibuat pusing untuk memperhatikan secara serius permasalahannya. Semua sekadar mewakili suara dari kalangan barisan sakit hati yang terlempar dari lingkaran kekuasaan. Sejauh tidak tersangkut dengan ekstrem kiri dan kanan, mereka diizinkan menjalani hari tua tanpa peran dan kedudukan penting apa pun di dalam masyarakat.
***
Penguasa Orde Baru adalah karikatur menarik dalam sejarah yang menggabungkan praktik pemujaan terhadap sains dan teknologi dengan takhayul yang mengisi spiritualitas para petinggi rezim itu. Pemerintah Orde Baru cukup rasional untuk meyakini pentingnya teknologi abad ke-20 untuk mengeruk kekayaan alam yang tersimpan dalam perut bumi Indonesia. Mereka juga lebih percaya pada angka-angka statistik yang menyampaikan angka pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya. Angka-angka pertumbuhan menjadi jauh lebih penting dibanding romantisme berdiri di atas kaki sendiri tetapi hidup dalam standar pas-pasan seperti kisah sejarah pemerintahan sebelumnya. Dibanding sibuk memikirkan perkara bagi-bagi tanah untuk penggarap miskin dan tak bertanah, pemerintah lebih meyakini penggunaan mekanisasi melalui traktor dan teknologi bibit unggul untuk mendongkrak produksi pangan dalam negeri.
Kemajuan dan pertumbuhan ekonomi dalam mantra modernisasi itu, bagaimanapun, tetap membutuhkan spiritualitas yang menenangkan hati para petinggi negara. Oleh karena agama bersifat sekunder saja dalam kehidupan sosial dan budaya, serta kedekatan dengan kaum agamawan membawa kemungkinan tergelincir pada posisi tidak bersih lingkungan dari sudut pandang rezim, maka kehadiran “orang pintar”, dukun, dan paranormal menjadi bagian penting yang mengisi spiritualitas untuk membantu menjelaskan tanda-tanda alam bagi kemajuan karier dan kedudukan para petinggi negara. Persinggungan para birokrat, perwira militer, dan pengusaha kaya dengan sejumlah “orang pintar” adalah kelaziman zaman itu.
Perkawinan antara kepercayaan terhadap sains dan teknologi dengan praktik klenik pada akhirnya melahirkan satu jenis penguasa medioker dengan semboyannya ngono ya ngono, nanging ojo ngono. Meski norma kemiliteran mengisi kehidupan sehari-hari publik, tetapi ia tidak menciptakan masyarakat Sparta seperti dalam sejarah Yunani Kuno. Setelah pengalaman perang kemerdekaan pada 1945, sepertinya memang sulit mendapatkan lagi tindak keperwiraan yang patut dibanggakan. Bagaimanapunm, bukan berarti hal ini menyebabkan mereka kehilangan rasa percaya diri.
Dengan kaum militer menempati posisi dominan dalam pemerintahan, sebuah cara pikir yang berlaku dalam dunia militer merembes pula dalam kehidupan sipil. Para petinggi Orde Baru meyakini bahwa persoalan keterbelakangan pembangunan di Indonesia adalah rendahnya disiplin dalam kehidupan masyarakat. Alhasil, berbagai ritual yang berlaku dalam kehidupan militer berlaku pula dalam kehidupan sipil. Setiap Senin murid-murid sekolah dasar dan menengah wajib menjalankan upacara bendera mendengarkan pidato kepala sekolah yang lebih sering membosankan. Praktik ini dianggap sebagai metode efektif menumbuhkan patriotisme di kalangan generasi muda.
Di dalam momen upacara ini kerap guru olahraga berkeliling membawa gunting mencukur siswa lelaki yang kedapatan rambutnya tumbuh melebihi daun telinga. Sikap anti-gondrong menjadi bagian kebudayaan yang tumbuh pada masa itu. Entah karena memang Indonesia tidak sedang berperang atau sebab terlalu sedikit pekerjaan yang harus dilakukan, dalam beberapa momen tertentu aparat gabungan dari pihak kepolisian dan militer turun ke jalan melakukan razia rambut gondrong di jalanan. Peristiwa ini sempat melahirkan protes besar di kalangan mahasiswa pada dekade 1980 sebagai buntut dari perkelahian mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan taruna militer. Kebiasaan untuk usil terhadap kehidupan pribadi orang lain di dalam masyarakat menjadi praktik yang berjalan sistematis di bawah rezim tersebut.
Ketiadaan disiplin juga dianggap sebagai penyebab merosotnya prestasi dan mutu olahraga di Indonesia. Pada 1980-an, sebagai tanggapan terhadap prestasi PSSI Garuda yang terus merosot di ajang internasional, pimpinan PSSI yang juga berasal dari kalangan militer memutuskan mengirim para pemain bola nasional mengikuti latihan baris-berbaris, memanggul senjata, dan serangkaian latihan lainnya untuk meningkatkan disiplin mereka. Hasilnya kita semua tahu, prestasi sepak bola Indonesia terjun bebas dibanding negara-negara tetangga. Di sini ada persoalan pokok yang terlupakan. Rezim itu telah keliru menerjemahkan kepatuhan sebagai disiplin. Disiplin adalah kepatuhan rakyat terhadap penguasa. Mendisiplikan masyarakat dengan demikian berarti membuat masyarakat patuh terhadap segala keputusan penguasa.
***
Setelah Orde Baru runtuh, saya merasakan syukur tak terhingga bahwa segala kekonyolan yang mewarnai kehidupan masyarakat jaman old akan segera sirna seiring berakhirnya rezim tersebut. Namun, saya terlalu cepat berharap. Setiap saat menjelang ujian nasional, saya menyaksikan anak-anak sekolah di tingkat dasar dan menengah berdoa bersama sambil mengucurkan air mata menyambut ujian nasional. Momen itu mengingatkan saya tentang pengalaman tahun 1983. Kedatangan ujian nasional adalah gerhana yang lain dalam kehidupan jaman now. Pembaca mungkin bisa mencantumkan serangkaian “gerhana lain” dalam kehidupan masa kini. Sejarah Indonesia rupanya tidak pernah kehabisan zaman edan di setiap zamannya.