MOJOK.CO – Dulu, Stasiun Lempuyangan Jogja lekat dengan citra orang miskin. Stasiun ini ruwet dan kotor. Namun, kini, ia bukan lagi milik si miskin saja!
November yang lalu, tulisan saya tentang Stasiun Tugu Jogja yang belum ramah sopir ojol di Mojok menuai komentar yang beragam. Ada yang setuju, ada yang membantah. Salah satu komentar yang menarik bagi saya adalah ungkapan rasa kangen, atau nostalgia, terkait stasiun lain di Jogja yang juga ikonik, yaitu Stasiun Lempuyangan.
Stasiun Lempuyangan Jogja berdiri pada 2 Maret 1872. Ia menjadi stasiun tertua di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui SK Gubernur Nomor 120/KEP/2010 dan Perda DIY Nomor 188, pada 2014, pemerintah menetapkan stasiun ini sebagai bangunan cagar budaya. Yah, stasiun ini memang ikonik.
Sejak dulu, Stasiun Lempuyangan sudah melayani KA ekonomi yang diberangkatkan dari Jogja. Dulu, ketika semua KA ekonomi lain masih diberangkatkan dari Stasiun Tugu, stasiun ini sudah menjadi titik keberangkatan KA Empu Jaya jurusan Jakarta Pasar Senen (KA Progo) dan KA Argopuro jurusan Banyuwangi Baru (KA Sri Tanjung), dan KA Gajah Wong jurusan Jakarta Pasar Senen.
Selain melayani penumpang KA ekonomi jarak jauh, stasiun ini juga melayani penumpang KA Prameks jurusan Kutoarjo-Yogyakarta-Solo Balapan-Palur. Di dekat stasiun ini terdapat Balai Yasa Pengok, yaitu dipo atau bengkel KA yang terbesar di Pulau Jawa.
Ingatan saya tentang Stasiun Lempuyangan Jogja
Begitulah, Stasiun Lempuyangan Jogja lekat dengan KA ekonomi. Memang, sampai sekarang, kalau naik KA bisnis dan eksekutif, kamu harus naik dari Stasiun Tugu. Oleh sebab itu, dulu, Lempuyangan dianggap sebagai stasiun yang lebih ramah untuk kelas menengah ke bawah. Sejak dari sejarah, hingga kondisi stasiun, seperti ada “perbedaan kasta” antara si kaya dan si miskin.
Makanya, Stasiun Lempuyangan Jogja lebih akrab dengan pemandangan khas stasiun dan KA zaman dulu. Mulai dari pedagang asongan yang bisa masuk ke KA hingga pengantar masih bisa masuk ke peron. Bahkan, pengantar bisa naik ke KA dan merasakan KA maju dan mundur untuk pindah rel atau menyambung gerbong.
Dulu, kamu bisa bisa masuk peron dengan membayar Rp2 ribu saja. Apakah pembaca masih ada yang ingat kondisi saat itu? Antrean di depan loket yang sempit adalah pemandangan biasa. Mereka berebut kursi dekat jendela untuk KA jarak jauh. Saya paling sering mendapati penumpang berebut kursi untuk naik KA jurusan Jakarta Pasar Senen.
Setelah itu, pengantar akan mengantre juga untuk masuk peron. Petugas peron cukup sering berteriak: “Uang pas!” Maksudnya, pengantar yang masuk peron diharapkan membayar dengan uang pas Rp2 ribu supaya tidak susah mencari kembalian. Setelah masuk ke peron, pemandangan “semrawut” khas stasiun zaman dulu langsung menyapa.
Saya juga masih ingat betul ruwetnya jalanan di depan Stasiun Lempuyangan Jogja. Dulu, jalanan di sana masih berlaku 2 arah. Sudah begitu, motor yang diparkir di pinggir jalan membaur dengan becak, menambah kesemrawutan. Makanya, kalau ada KA jarak jauh sampai, jalanan di depan stasiun langsung terasa menyebalkan.
Baca halaman selanjutnya
Perbaikan yang harus diapresiasi