MOJOK.CO – Bagaimana Habib Husein Ja’far menjawab pertanyaan soal maulid Nabi: kalau itu memang boleh, kenapa Nabi dulu tak merayakannya?
Harus diakui, kita-kita ini kerap sekali ngajakin orang agar kembali ke zaman Nabi Muhammad, kembali ke sunah Nabi, tapi hanya sebatas dalam perkara-perkara aturan dan hukum saja. Kita kadang tak menyadari betapa penting mengimajinasikan bagaimana kalau Nabi Saw hadir pada zaman kita.
Ayah saya sering kali mengajak saya mengimajinasikan andai Nabi Saw hadir di tengah kita, sebagaimana dalam lirik syair “Law kana bainanal-Habib” (Andai Sang Kekasih (Nabi Saw) ada bersama kita).
Begitu pula secara kultural dan spiritual kita diajarkan, dalam mahallul qiyam atau momen berdiri saat pembacaan maulid Nabi Saw, untuk meyakini atau minimal mengimajinasikan Nabi Saw hadir secara batin.
Persis seperti keyakinan para ulama seperti Imam Abu Hasan As-Syadzili, Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Syekh Al-Busyiri, Habib Usman bin Yahya (Mufti Betawi), Sayyid Muhammad Al-Maliki, dan lain-lain yang mengacu pada sabda Nabi Saw bahwa Nabi Saw hadir secara ruh menjawab salam siapa saja yang melantunkan salam ke Nabi Saw.
Misalnya, kalau saya melakukan suatu hal yang tak etis, ayah saya akan menegur dengan mengajak saya berimajinasi, “Bagaimana kalau kamu melakukannya di depan Nabi Saw, apa pantas?”
Membayangkan itu, rasa-rasanya agak sulit untuk seorang muslim bisa berbuat maksiat. Boro-boro maksiat, bertingkah tidak sopan saja akan mikir berkali-kali kalau merasa di hadapannya ada Nabi Saw.
Baru di depan Satpol PP yang razia saja, masker langsung dipakai buru-buru kok apalagi kalau di depanmu tiba-tiba ada kekasih Allah? Salting sekali pasti kalau kamu ketahuan lagi maksiat.
Jadi, imajinasi merasakan kehadiran Nabi Saw ini penting, karena mental seperti ini turunannya adalah soal akhlak. Membuat kita menjadi muslim yang lebih baik. Dan salah satu upaya agar imajinasi seperti ini bisa terus hadir adalah dengan cara maulid Nabi. Membayangkan dan meyakini bahwa Nabi Saw hadir di tengah-tengah kita.
Nah, karena itu, saya jadi ingin sedikit menjawab pertanyaan yang justru kerap muncul dari beberapa orang soal maulid Nabi. Pertanyaan ini, “Kalau maulid Nabi boleh, lantas kenapa Nabi Saw tak meminta kita melakukannya atau bahkan Nabi Saw melakukannya?”
Bayangkan sekarang begini. Tugas Nabi Saw itu berat sekali. Beliau diwajibkan menyampaikan dua syariat yang bisa bikin orang berpikir kalau Nabi Saw ke-geer-an.
Pertama, Nabi Saw diperintahkan Allah untuk memerintahkan manusia bersyahadat yang dalam redaksinya ada kesaksian bahwa beliau utusan Allah.
Kalau kamu disuruh menyampaikan agar orang bersaksi bahwa seseorang (yang bukan dirimu) adalah utusan Allah mungkin itu agak lumayan bisa dipahami, lumayan mudah lah. Tapi bayangkan ini orang disuruh bersaksi bahwa dirinya utusan Allah!
Kedua, Nabi Saw diperintahkan Allah untuk memerintahkan manusia berselawat kepada Nabi Saw. Duh! Lagi-lagi ya, kalau diperintah untuk memerintah manusia memuji-muji orang lain sih itu lumayan enteng. Lah ini malah disuruh memuja-muji dirinya sendiri.
Sudah begitu, pesan ini disampaikan ke masyarakat yang bukan hanya jahiliyah, tapi sedari awal memang sudah iri, dengki, dan curiga pada Nabi Saw bahwa beliau hanya ingin ikut bersaing dengan mereka yang haus pujian dan kekuasaan.
Nah, bayangkan tuh beratnya dua perintah yang dititahkan pada Nabi Saw tersebut. Dan itu wajib disampaikan pada umat manusia karena bagian dari ajaran inti Islam yang ada dalam Al-Quran.
Sepantas-pantasnya kamu jadi pemimpin atau dipuji, tapi kalau minta dengan sendiri untuk dipuji dan dipilih sebagai pemimpin, kan kagok juga.
Maka dari itu, sangat bisa dibayangkan oleh saya kalau Nabi Saw tak pernah merayakan ulang tahun kelahirannya dan apalagi meminta umatnya merayakannya. Oleh karena itu, ketika suatu hari Nabi Saw datang ke para sahabatnya yang sedang duduk berkumpul, lalu para sahabatnya menyambut dengan berdiri, Nabi Saw bersabda.
“Jangan kalian berdiri untukku sebagaimana berdirinya orang-orang pada rajanya. Saya hanyalah anak seorang wanita yang memakan daging yang diasinkan dan dikeringkan di Makkah.”
Mendengar itu, sahabat Hasan bin Tsabit menjawab dengan syair.
“Berdiriku karena hormat pada orang mulia adalah wajib. Dan meninggalkan hal yang wajib bukanlah sesuatu yang baik. Aku heran dengan orang yang berakal dan berpemahaman benar, melihat keindahan (keindahan Nabi Saw) lalu ia tak berdiri.”
Mendengar syair itu, Nabi Saw diam.
Artinya, larangan Nabi Saw sebelumnya adalah bentuk kerendahan hati beliau—bukan perintah. Maka, dengan ketinggian dan keagungan kerendahan hati Nabi Saw, mustahil kalau beliau sampai hati meminta ulang tahunnya dirayakan.
Meski Nabi Saw tak pernah meriwayatkan ke umatnya agar selalu merayakan ulang tahunnya tiap tahun, orang yang berakal dan penuh cinta terhadap Nabi Saw pasti dengan sendirinya tahu bagaimana mengekspresikan cintanya pada Nabi Saw terkasih. Salah satunya: ya waktu hari kelahiran Nabi Saw.
Cinta seperti ini tentunya bukan untuk kepentingan Nabi, tapi untuk kepentingan kita sendiri, umatnya. Umat yang haus untuk mengekspresikan cinta atasnya dan syukur tak terhingga atas nikmat terbesar yang dibawanya berupa jalan menuju-Nya.
Tapi, saya juga mengimajinasikan bahwa sesama umatnya Kanjeng Nabi, rasanya juga tak pantas bercekcok urusan merayakan maulid Nabi. Nabi pasti sedih melihat itu.
Perkara “pesta” ulang tahun beliau kok malah bikin misi utama beliau terganggu hingga tergadaikan, yakni mempersatukan umat Islam, bahkan umat manusia.
Jadi, mau maulidan atau nggak, ya tak masalah. Nabi Saw tahu kok kalau kita sama-sama pecinta Nabi Saw. Ada yang mencintai dalam kesunyian ada juga yang mencintai dalam kemeriahan.
Shollu alan-Nabi!
BACA JUGA Mengapa Habib atau Orang Arab Sering Dianggap Crazy Rich di Kampungnya? dan tulisan Husein Ja’far Al Hadar lainnya.