MOJOK.CO – Memangnya kita bisa apa kalau rating Indonesian Idol dan MasterChef bisa tinggi karena ada rekayasanya? Mau bikin program televisi sendiri?
Sebenarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari betapa konyolnya audisi Indonesian Idol yang sering kali menampilkan peserta yang lebih layak manggung di acara SUCI Kompas TV ketimbang di Indonesian Idol. Pun tidak ada yang patut dirisaukan jika ada bagian-bagian yang dianggap settingan dalam acara MasterChef.
Pada akhirnya kedua program tersebut tidak akan pernah mendengarkan kekhawatiranmu, kecurigaanmu, dan kerisauanmu. Bagi mereka, yang penting rating tinggi, banyak yang nonton, dan keuntungan mengalir deras.
Saya pun menyadari bahwa konsep idealisme kita sebagai penonton acara yang sering disebut ajang pencarian bakat tersebut selalu menginginkan dua hal penting, kejujuran dan tidak ada yang dibuat-buat dalam prosesnya. Namun tentu saja jika konsep ideal kita sebagai penonton itu diwujudkan, yang pertama akan bosan bisa-bisa ya kita sendiri.
Unsur komedi adalah hal yang sangat sulit untuk dilupakan guna meraup rating tinggi dengan iming-iming penonton yang membludak. Dan Indonesian Idol tahu betul hal tersebut.
Lupakan idealisme sebuah acara ajang pencarian bakat yang kaku. Toh, dalam prinsip ekonomi, keuntungan besar dengan ongkos produksi sedikit merupakan tujuan akhir?
Jika lelucon suara sumbang peserta, tampilan konyol peserta yang sungguh aneh, atau kelakuan nggak masuk akal peserta audisi Indonesian Idol bisa memantik banyak keuntungan dan masyarakat jadi menontonnya, itu semua bukan termasuk tindak kejahatan bukan?
Menyisipkan unsur komedi plus sedikit bumbu settingan adalah resep mujarab banyak ajang pencarian bakat di Indonesia. Kita tidak perlu kagetan akan hal tersebut.
Oke, deh, saya akui dulu saya juga sempat tergila-gila dengan acara terngehek-ngehek yang ternyata setelah beberapa tahun kemudian saya baru sadar, acara itu ternyata nggak ada babar blas reality show-nya.
Pun ketika Indonesian Idol menyisipkan unsur komedi dengan sentuhan settingan peserta konyol yang sangat kentara ditambah tingkah laku juri yang konyol. Sebenarnya itu sah-sah saja ketika dalam prosesnya Indonesian Idol tetap mewadahi peserta yang benar-benar berbakat.
Lagipula perbandingan peserta audisi yang nggak banget dengan yang sangat berbakat juga lumayan jauh. Saya hitung-hitung, paling ada di kisaran 2:10.
Peserta yang nggak bisa nyanyi, anggota akatsuki, sampai yang nyanyi “Numb” dengan logat Indonesia banget kehadirannya cuma seperti ice breaking. Dan populasi mereka juga nggak banyak-banyak amat.
Di acara MasterChef pun begitu. Unsur komedi plus bumbu settingannya faktanya memang sangat keliatan. Bukan settingan ketika proses masaknya. Untuk itu saya akui tidak ada settingan di sana. Namun settingan ini dari segi hiburan ketika bagaimana Chef Arnold, Chef Juna, dan Chef Renata membangun kesan kepada penonton bahwa mereka adalah juri yang serius, konyol, dan manis.
Pun peserta-peserta di MasterChef. Branding image mereka sebenarnya adalah proses bumbu settingan dengan tujuan yang sebenarnya nggak perlu dirisaukan, bikin kita nonton lagi, lagi, dan lagi.
Adanya konflik, saling serang antar-peserta, hingga berbagai omelan juri ke peserta adalah sebuah bumbu settingan yang memang perlu untuk sebuah acara komersial dengan target keuntungan.
Kalau nggak gitu, ya nggak mungkin ada beberapa penulis Mojok yang dengan khusyuk nulis soal adanya rekayasa di MasterChef atau menyoal Indonesian Idol yang ada baiknya jadi acara stand up comedy saja.
Lagipula, unsur komedi dan bumbu settingan adalah sebuah ramuan mujarab yang sebenarnya banyak disukai masyarakat. Tidak mungkin sebuah acara seperti Indonesian Idol dan MasterChef langgeng sampai banyak season jika dengan ramuan bernama komedi dan sedikit bumbu settingan mereka merugi.
Sudah barang tentu ramuan tersebut menarik dan manjur buat digunakan. Makanya ramuan tersebut dipakai dan coba dipatenkan.
Justru bagi saya, program seperti Indonesian Idol dan MasterChef memang perlu dan harus menggunakan ramuan komedi dan bumbu settingan. Karena melihat apa yang terjadi sebelum-sebelumnya, ruh ajang pencarian bakat itu tidak pernah luntur walau dibumbui settingan dan adanya anggota akatsuki berkeliaran.
Justru acara menjadi lebih memancing karena ada sebuah hiburan segar yang bisa membuat kita tersenyum, ngomel-ngomel, sampai menggerutu sendiri melihat berbagai keanehan dan kekonyolan yang dihadirkan.
Kompetisi tetap seperti apa adanya dengan pertarungan peserta menunjukkan bakat menyanyi di Indonesian Idol dan bakat memasaknya di MasterChef. Dan pemenang di kedua ajang pencarian bakat itu pun pada akhirnya tidak menggunakan ramuan komedi ditambah bumbu settingan.
Ditambah lagi, baik di acara Indonesian Idol dan MasterChef, di balik layar acara itu banyak sekali para kru dan berbagai orang yang perlu asupan rezeki guna menghidupi kehidupan mereka. Dan konsep idealisme kita sebagai penonton yang menuntut ini dan itu tentu saja bukanlah jawaban atas kebutuhan yang diinginkan.
Nggak perlu ndakik-ndakik dan berusaha mengorek berbagai keanehan, kelucuan dan unsur settingan di ajang pencarian bakat macam Indonesian Idol dan MasterChef. Hal itu sebenarnya sudah begitu tampak, namun pada akhirnya kita tetap menikmatinya jua.
Layaknya kalimat kamu jual, saya beli. Ajang-ajang pencarian bakat di Indonesia paham betul apa keinginan para penonton mereka yang tersebar luas di Indonesia. Dan salah satunya tentu saja, adanya unsur komedi dan bumbu settingan.
Sederhananya sih begini. Kalau kamu nggak suka yang jangan ditonton, kalau suka ya ditonton. Karena tidak ada yang bisa kita lakukan lebih jauh guna mengubah konsep acara Indonesian Idol dan MasterChef seperti konsep ideal yang kita inginkan kecuali kita mau menggelontorkan uang puluhan miliar di sana.
Dan yang pasti, kultur budaya pertelevisian kita memang lagi hype yang begitu-begituan. Jangankan ajang pencarian bakat. Pejabat, politikus, sampai pengampu-pengampu kepentingan di negeri ini saja sudah sering menunjukan berbagai unsur komedi berbumbu settingan.
Lha gimana acara-acara televisi di negerinya nggak pakai ramuan yang sama, kalau urusan ngurus negara aja banyak drama, settingan, dan komedinya. Udah gitu, terbukti mumpuni berperiode-periode lagi.
Drama lagi, komedi lagi, settingan lagi, lalu tiba-tiba udah jadi dinasti. Eh.
BACA JUGA Politik Dinasti Memang Menyebalkan, Namun Majunya Gibran Kadang Memang Diperlukan dan tulisan Muhammad Farid Hermawan lainnya.