MOJOK.CO – Penyelewengan demokrasi di masa kepemimpinan Jokowi terjadi justru karena sang presiden “terlalu merakyat”, alias tidak punya kendaraan dan afiliasi politik.
Tentu saja saya tak mau memburuk-burukkan presiden. Saya cuma mau bilang: Jokowi adalah simbol paradoks demokrasi. Dan mungkin dia akan jadi inspirasi yang tak habis-habis untuk perenungan praktis dan akademis tentang politik Indonesia di masa depan.
Jokowi, tak bisa tidak, adalah presiden pertama yang terpilih pascareformasi tanpa latar belakang yang wah. Ia tak berlatar belakang militer, tak dibekingi ormas agama terbesar atau partai, juga tak lahir dari trah politik tertentu. Karier politiknya ketika memenangi pilpres baru seumur jagung.
Sebagai bagian dari “rakyat biasa”, kemenangan-kemenangan Jokowi seolah menyimbolkan bahwa demokrasi berjalan di Indonesia. Kemenangan Jokowi dalam Pilgub 2012 dan Pilpres 2014 disambut euforia yang luar biasa. Ya, seluar biasa itu kalau kalian ingat.
Bukan hanya warga Indonesia, para pengamat politik dari dalam maupun luar negeri juga ikut tercantol dalam euforia ini. Jokowi dianggap selayaknya pahlawan yang menyelamatkan wajah demokrasi. Dia sudah mengalahkan lawan yang merupakan pengejawantahan dari oligarki.
Namun, lantaran statusnya sebagai “orang luar” yang tak punya modal sama sekali di dunia politik Indonesia selain citra merakyatnya —yang bisa membantunya cuma ketika pemilu datang— Jokowi harus menerima kenyataan bahwa dia sejatinya tersandera di mana-mana.
Di partainya sendiri, ia sering tidak dianggap (gestur yang menunjukkan bahwa ia adalah petugas atau subordinat partai sering sekali dipajang terang-terangan). Dia juga tidak punya afiliasi-afiliasi belakang layar yang bisa membantunya untuk lobi ke parpol-parpol. Pada akhirnya, dia mengandalkan sosok seperti Luhut yang sudah jadi sponsornya sedari awal sejak ia maju sebagai walikota Solo. Luhut punya semua yang tidak dipunyai Jokowi: afiliasi dengan parpol (khususnya Golkar), afiliasi dengan militer, serta modal bisnis yang kuat.
Apa yang kemudian bisa dilakukan Jokowi sebagai “paria politik”? Yang paling utama tentu saja adalah transaksi politik. Menawarkan imbalan sebesar-besarnya bagi yang bisa membantu melancarkan dan memuluskan kebijakan-kebijakannya.
Langkah lainnya adalah mengangkangi prosedur bahkan membatalkan pencapaian reformasi. Militer dilibatkan dalam program-program eksekutif. Dwifungsi diam-diam diaktifkan lagi. Dengan partai yang tak berada di bawah kendalinya ditambah dengan kerumitan birokrasi, Jokowi mencoba membentuk pengaruh lewat polisi dan militer yang memang jaringannya tersebar sampai ke tingkat desa.
Pelibatan polisi dan militer ini jadi gamblang pasca 2019. Menteri-menteri dipilih dari mantan petinggi polisi atau militer. Sebagai presiden yang disponsori bekas petinggi militer, dia tampaknya belajar dan diajari bahwa aparatus inilah yang memang terbukti efektif untuk memuluskan kebijakan.
Kalau Jokowi tampak sungkan mengintervensi UU kontroversial dan merugikan yang diajukan bukan hanya oleh DPR tapi juga kementeriannya sendiri (ehem, UU KPK), itu lebih karena keleluasaan politik yang diserahkannya kepada partai-partai.
Yang termutakhir tentu saja UU Cipta Kerja. Saya merasa banyak sekali pasal selundupan dalam UU besar yang merombak 76 UU ini. Selundupan partai maupun selundupan pengusaha. Motif Jokowi sendiri melalui UU ini sepertinya adalah menadah investasi sebanyak-banyaknya.
Meski memang Jokowi sudah pening sejak lama terkait hambatan investasi, namun pendorong besar tercetusnya UU ini adalah presentasi World Bank: dari 33 pabrik yang direlokasi Cina ke Asia Tenggara, tidak ada satu pun yang direlokasi ke Indonesia.
Nah, bagaimana caranya agar UU yang sangat berpengaruh ini bisa disahkan secepat-cepatnya? Tentu saja melalui kesepakatan dengan partai-partai. Pola pada titik ini kelihatan sangat jelas. Partai-partai, atau paling tidak elite-elitenya, diberikan ruang untuk menumpangkan kepentingannya ke dalam UU tersebut.
Beberapa media jelas-jelas mendukung UU ini. Dan mereka yang mendukung adalah yang bos-bosnya dilibatkan dalam Satgas UU Cipta Kerja. Hasilnya, di sektor penyiaran, UU Cipta Kerja berpotensi melicinkan dominasi segelintir konglomerasi media besar.
Tentu tak usah diterangkan lebih jauh lagi rasanya bagaimana UU ini disahkan dengan manuver-manuver yang sangat tidak demokratis. Kita semua rasanya sudah sangat paham.
Dan, ya, semua penyelewengan demokrasi itu terjadi di masa pemerintahan Jokowi. Presiden yang awalnya digadang-gadang sebagai simbol demokrasi, sebagai simbol kemenangan rakyat.
Sangat ironis, sebab terjadinya penyelewengan tersebut justru salah satunya karena sang presiden “terlalu merakyat”, alias tidak punya kendaraan dan afiliasi politik.
Itulah kenapa di awal saya mengatakan bahwa Jokowi adalah simbol paradoks demokrasi.
Kenyataannya, dalam sistem politik kita sekarang, dukungan rakyat memang hanya berguna pada saat pemilu. Pengecekan kekuasaan, terjadi cuma lima tahun sekali, itu pun belum tentu efektif.
Jokowi pernah mengatakan dia akan memimpin tanpa beban di periode kedua. Sekarang, terang belaka bahwa beban yang dimaksud olehnya adalah “beban elektabilitas”. Tanpa beban ini, dia dapat menunjukkan transaksi politik secara terang dengan pihak-pihak yang sudah disebutkan bisa memuluskan kebijakannya.
BACA JUGA UU Cipta Kerja dan Ucapan Selamat Datang pada Orde Baru Generasi Kedua dan artikel Geger Riyanto lainnya.