MOJOK.CO – Sebaiknya Erick Thohir dan Jokowi jangan terlalu syur-syur sendiri kayak sirkus di JIS. Ingat, JIS is Anies, Anies is JIS. Jangan sampai blunder.
Pukul delapan malam lebih tujuh menit beberapa hari yang lalu saya terkekeh geli sewaktu melihat postingan video Erick Thohir, Ketua PSSI kita. Di depan kamera, dia bicara panjang lebar untuk mengomentari, atau lebih tepatnya meramal nasib Jakarta International Stadium (JIS) andai stadion itu dibawa ke depan mata FIFA untuk diuji.
Dia bilang, kalau FIFA datang sekarang (5 Juli), maka JIS akan langsung dicoret dari daftar salah satu stadion yang diusulkan ikut menggelar hajatan Piala Dunia Usia 17. Alasannya, karena tidak memenuhi kualitas.
Mengapresiasi kesaktian Erick Thohir
Sebelumnya mari kita tepuk tangan yang meriah dulu untuk Pak Erick Thohir. Beliau boleh dibilang sakti mandraguna. Salah satunya kesaktian teranyar beliau yaitu ketika mampu mendatangkan timnas Argentina. Apakah itu biasa saja, karena kalau jodoh dan punya uang semua orang juga bisa mengundang? Oke, tapi coba lihat sewaktu kita disanksi FIFA setelah Ganjar Pranowo CS menggagalkan gelaran Piala Dunia Usia 20.
Dalam bayangan kita, PSSI sudah jelek di mata FIFA. Terutama semenjak aksi heroik para gerombolan Wayan Koster mencuat di ruang publik. Tetapi, siapa lagi kalau bukan karena sosok Erick Thohir, yang malang melintang di industri olahraga khususnya sepak bola itu, sehingga FIFA seolah-olah terlalu berbaik hati terhadap negeri ini, dengan hanya memberi kita sanksi ecek-ecek. Bahkan, kita diberi kesempatan sebagai tuan rumah lagi. Tepuk tangan dong; kurang sakti apa coba?
Nah, malam itu, kesaktian Erick Thohir niatnya hendak dipamerkannya lagi saat menginspeksi Jakarta International Stadium (JIS) milik Jokowi, eh maksudnya milik Anies Baswedan. Sayangnya nahas, kali ini kesaktian Erick malah seperti petasan yang masuk angin.
Serangan ke JIS menjadi lawakan bagi pihak lawan
Seperti yang saya bilang di awal tadi, alih-alih sakti, Erick malah kayak cenayang dengan dedengkotnya sebagai pasien yang antre ingin diramal. Mereka intinya meramal bahwa FIFA tak akan senang dengan kualitas JIS.
Sebelum lebih jauh, saya mau mengaku dulu bahwasannya saya adalah orang Golkar, pendukung utama Presiden Luhut Panjaitan—duh salah lagi. Maksud saya, Presiden Joko Widodo. Maklumlah, Luhut itu senior kami di Golkar. Tugas saya kira-kira sebagai pelobi di daerah.
Sebagai saran saja, bahwa lebih baik kita mengaku dulu ada di pihak siapa ketimbang koar-koar netral tapi tingkah kita kenyataannya pro kepada seseorang. Netral yang dimaksud oleh orang-orang kayak gitu tuh mungkin pikirnya, “Oh, gua kan bukan tim sukses salah satu paslon. Berarti gua netral.” Padahal, mah, dalam diri dia sendiri dia sudah menentukan hendak memilih siapa. Itu sama aja lu nggak netral, Tong! Ngaku aja lu ada di mana, itu lebih baik….
Dengan demikian, saya ingin menggarisbawahi bahwa sebagai orang yang berkecimpung di politik, ketika melihat tindak-tanduk Erick Thohir kemaren itu, sungguh-sungguh sangat menjadi lawakan bagi pihak lawan. Sampai-sampai sangat membahayakan popularitas Jokowi bagi pihak kawan.
Pasalnya, semua orang tahu bahwa JIS itu adalah Anies. JIS is Anies. Maka, menjadi blunder jika merecoki apa yang ada di JIS tanpa memaparkan argumen yang final. Publik akan langsung menghubung-hubungkan peristiwa ini terhadap kontestasi yang sedang diperjuangkan oleh pihak Anies. Nama Jokowi bisa buruk.
Mereka yang awalnya skeptis terhadap isu penjegalan, ketika melihat semakin bertubi-tubinya goncangan yang dirasakan Anies, bukan tak mungkin mereka-mereka itu jadi bersimpati dan mendukung Anies.
Sirkus Erick Thohir di JIS
Sirkus Erick Thohir CS di JIS yang collab bareng tukang rumput kemarin itu jelas bisa menjadi senjata makan tuan—bahkan sudah! Semua dalil yang dibawa Erick sangat dapat dengan mudah dipatahkan. Atau paling tidak, dapat diimbangi oleh lawan.
Kocaknya lagi, mereka memakai argumen dari tukang rumput untuk seolah-olah mewakili muncung FIFA. Dan lebih gila lagi ketika si tukang rumput tersebut rupanya kompetitor langsung dari tukang rumput yang dipekerjakan oleh JIS. Jadinya malah kentara ada motif yang mengandung persoalan etis gak eighties antara para tukang rumput ini (kayak program TV band Clubeighties). Seolah-olah si tukang rumput yang satu sedang mencuri pekerjaan tukang rumput yang lain.
Saya nggak tahu apakah Erick bertindak atas inisiatifnya sendiri atau ada perintah langsung dari Presiden. Tapi kayaknya, sih, ini orkestrasi, karena ada Menteri Basuki juga di situ.
Risiko yang mungkin sedang dirasakan Pak Jokowi
Maka inilah akibatnya kalau Jokowi memercayakan urusan politik kepada mereka yang bukan orang politik tulen. Ya seperti Erick Thohir atau Basuki Hadimuljono yang baru menjadi kader PDI setahun belakangan. Kenapa Jokowi sebelumnya tak konsultasi saja ke pusatnya PDIP, misalnya? Dengerin apa kata Pramono dulu, kek. Apa rasa-rasanya sudah semakin jauh dan berat hati untuk mengetok rumah Teuku Umar?
Atau kenapa tak ngobrol ke orang-orang di Gerindra? Oh, mungkin segan kalau ketahuan ngobrol ke orang-orang Prabowo kali, ya? Takut diintip Menseskab yang merupakan orangnya Ibu Mega? Takut dikira semakin jauh dari Marhaen.
Atau kenapa nggak curhat ke partai-partai lain? Saya yakin, Jokowi sudah melakukannya, tetapi saran yang diberikan partai-partai itu ternyata tak diinginkan beliau. Karena semua partai, untuk urusan ini, pasti sifatnya lebih kepada mengingatkan: “Pak, jangan ‘bercanda-canda’ di JIS. Itu serangan baliknya mengerikan. Main senyap aja. Pakai JIS it’s oke. Kita nggak rugi, kok.”
Kalau dulu sih, partai-partai itu bakal mengucapkan apa saja yang ingin didengar Presiden. Yah, meskipun di belakangnya masa bodoh. Nah, ketika si Presiden sedang menuju masa lame duck kayak sekarang ini, partai mulai masa bodoh di depan.
Menyerang JIS? Karma itu ada, lho
Mungkin Pak Jokowi sudah merasa ahli di politik. Oleh sebab itu, dia mulai coba-coba untuk tak mendengarkan pihak-pihak yang menjaganya secara politik selama ini. Atau dia tak pede menggunakan JIS begitu saja tanpa mendiskreditkan pihak yang membangunnya, yang ditengarai bakal menjadi lawannya. Atau malah beliau ingin mencak-mencak saja ke Coldplay, karena akibat ulah band satu itu GBK jadi nggak bisa dipakai.
Saya cuma mau bilang ke Pak Jokowi, bahwa karma itu ada. Kalaupun orang lain duluan yang berbuat jahat kepada Bapak, membalas dendam pun akan membawa kita ke kehancuran.
Ibarat kata pepatah, menang jadi abu kalah jadi arang. Dan ini bukan judul novel Eka Kurniawan, Seperti rindu, Dendam Harus Dibayar Tuntas (terbalik, ya? Yaudah gpp, biar agak dramatis, biar poinnya nyampe). Harusnya Bapak Presiden merenungi perkataan Mahatma Gandhi, bahwa jika mata harus dibayar mata maka kita semua akan buta.
Suara Pak Jokowi (mungkin) masih didengar
Tapi, eh tapi, tenang saja Pak Jokowi. Mau bagaimanapun blunder, kalau itu bukan menyangkut hal konkret yang merusak Bapak, misalnya ada bukti percakapan bahwa Pak Jokowi melakukan tindakan tercela berat atau korupsi, maka Bapak nggak akan kesungkur.
Seperti yang sudah-sudah, publik kita, khususnya di Jawa Tengah dan daerah-daerah urban, juga daerah-daerah non-muslim atau daerah liberal lainnya, nama Joko Widodo masih menjadi yang utama. Dekat dengan rakyat, katanya. Sama kayak Ganjar: dekat dengan rakyat.
Apa yang membuatmu berpikir kalau mereka dekat dengan rakyat? Karena mereka sering bersalaman dengan rakyat, foto bareng rakyat, olahraga bersama rakyat, mau kerja yang jorok-jorok untuk rakyat. Bagaimana dengan otak mereka, apakah pikiran mereka juga bakal memikirkan rakyat? Ya, mudah-mudahan.
Jadi, dengan demikian, Pak Jokowi masih bisa kok ngasih endorse. Suara Bapak masih didengar. Bapak belum melakukan hal yang fatal. Tapi sekali lagi saya ingatkan, Bapak jangan terlalu syur-syur sendiri kayak sirkus di JIS. Ingat-ingat injak rem dan gantung kopling.
Dan ngomong-ngomong, Pak Jokowi bakal endorse siapa, ya? Ganjar atau Prabowo? Kalau saya sih Airlangga!
Penulis: Rio Nur Ilham
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Unsur Politik di Balik Ketidaklayakan JIS dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.