MOJOK.CO – Jika kekerasan dan pembunuhan manusia melalui pelanggaran HAM saja bisa diselesaikan dengan mekanisme non-yudisial, masa membunuh kucing tidak bisa?
Orang-orang kadang menganggap hewan peliharaan lebih penting dari keluarganya sendiri. Saya bisa memahami ini. Anjing atau kucing, peliharaan kerap mencintai kita tanpa pamrih. Mereka tidak berutang lantas lupa membayar, tidak selingkuh untuk kemudian meninggalkan ibu kita, atau tega memukul hanya karena lupa mencuci piring. Hewan-hewan ini mencintai kita dengan ketulusan dan manusia susah melakukan hal serupa.
Ini mengapa penembakan kucing liar di lingkungan Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia (Sesko TNI) di Jalan RAA Martanegara, Bandung, hingga tewas menuai kecaman keras. Bukan apa-apa, kucing-kucing liar ini tidak bersalah. Mereka bukan manusia di Urutsewu yang memiliki lahan pertanian dan berkonflik dengan TNI.
Sebelumnya akun Instagram @rumahsinggahclow sempat mengunggah sebuah video yang menampilkan dua orang pria tengah memperlihatkan dua ekor kucing yang sudah tidak bernyawa. Belakangan diketahui pelakunya adalah seorang brigjen.
Pelakunya seorang brigjen
Dalam laporan yang disampaikan oleh akun Twitter Puspen TNI, Brigjen TNI NA, anggota organik di Sesko TNI, telah mengaku sebagai pelaku penembakan sejumlah kucing di lingkungan Sesko TNI. Hal ini dilakukan karena kucing-kucing liar tersebut telah mengganggu kebersihan dan kenyamanan di sekitar lingkungan tempat dia tinggal.
Luar biasa. Seorang prajurit berpangkat brigjen, pelayan rakyat yang digaji dengan uang pajak, berhasil melindungi rakyat yang tinggal di sekitar Jalan RAA Martanegara dari ancaman kucing liar! Tidak akan ada yang berani membantah kalau beliau dapat medali penghargaan.
Apalagi, pak brigjen menggunakan senapan angin untuk membunuh kucing-kucing liar tak berdosa itu. Tentu pak brigjen nggak pakai senapan peluru aktif yang dibayar dengan pajak. Ya kalau itu untuk membunuh yang lain, dong.
Eh bentar, kalau begitu kenapa banyak yang marah? Emang ada apa dengan pembunuhan kucing? Kan itu bukan manusia atau bawahan pak brigjen? Wajar dong kalau ditembak, apalagi jika pak brigjen merasa terganggu. Apa kamu berani membantah?
Analisis FBI
Banyak yang bilang kalau kebiasaan membunuh hewan itu bukan aktivitas tunggal. Bahkan ada berani menganggapnya sebagai perilaku tidak normal.
Ini kok kebangetan ya beraninya. Siapa, sih, dia? Bukan dia, sih yang saya maksud, tapi mereka. Dan yang berani sok-sokan adalah FBI. Iya, FBI yang itu. Fans Berat Inul? Sudah jelas bukan.
Jadi, FBI telah mengidentifikasi kekejaman terhadap hewan, termasuk kucing, sebagai tanda psikopat, mereka menyebutnya red flag. Tanda ini menunjukkan risiko tinggi untuk melakukan tindakan kekerasan yang membahayakan untuk manusia yang ada di sekitarnya. Nah, masih menurut FBI, melakukan kekejaman terhadap hewan bukan sekadar indikasi kelemahan kepribadian atau gangguan kejiwaan yang layak diremehkan.
Kalau ingin tahu mengapa penyiksaan dan pembunuhan terhadap kucing sangat serius dan perlu ditangani dengan gegas, saya rekomendasikan Anda menonton Don’t F**K with Cats: Hunting An Internet Killer. Dokumenter ini mengisahkan tentang orang-orang di internet yang sedang memburu pelaku pembunuhan kucing, yang ternyata berkembang menjadi pembunuh manusia. Si pelaku tidak merasa bersalah, malah kisahnya, akan menunjukkan betapa kalkulatif dan hati-hati seorang pembunuh dalam melakukan siasatnya.
Si pembunuh kucing, dalam dokumenter Don’t F**K with Cats: Hunting An Internet Killer membunuh untuk kesenangan diri. Dia merasa mendapatkan perhatian dan kegembiraan saat orang-orang mengejar dan mencarinya. Karena kucing dirasa tidak cukup, dia lantas membunuh manusia. Saat tertangkap, terungkap betapa culas dan licik si pelaku, yang ternyata mempersiapkan pembelaan jauh-jauh hari sebelumnya.
Tentu Brigjen NA tidak seperti itu. Jangan punya pikiran yang aneh-aneh, dong.
Beliau adalah prajurit yang telah berikrar pada Sapta Marga. Prajurit akan melakukan hal yang terbaik untuk bangsa dan negara. Meminjam lagu Serdadu dari Iwan Fals, “Perintah datang karang pun dihantam.” Nah perlu dicari tahu mengapa penembakan itu terjadi, siapa yang memerintahkan, dan mengapa seluruh prajurit yang ada di sana diam saja? Kan ini mengkhawatirkan.
Oknum
Jangan sampai eskalasi kekejaman akan terus berkembang, dimulai dari hewan kecil kayak kucing yang lucu, makin besar, hingga pada akhirnya akan mengakhiri nyawa manusia. Dalam catatan FBI, sejarah penyiksaan dan pembunuhan hewan telah dikaitkan dengan pelaku pembunuh berantai dan penembak sekolah.
Tapi jelas Brigjen NA nggak kayak gitu dong. Kan untuk jadi tentara ada psikotes dan untuk jadi brigjen ada uji kelayakan baik skill maupun kejiwaan. Ya mana mungkin TNI meloloskan orang yang punya gangguan kesehatan mental. Itu hil yang mustahal.
Kalaupun ada jenderal yang melakukan pembunuhan massal, misalnya pembantaian jutaan orang yang dituduh…, pembantaian orang-orang saat pendudukan di Timor Leste, ya itu kan hanya oknum.
Mana ada pelaku kejahatan malah dapat jabatan tinggi? Misalnya tentara-tentara pelaku penculikan aktivis yang dikenal sebagai Tim Bunga Terompet Harum Mewangi? Setelah dihukum ya mereka sudah menjadi bersih kembali. Wajar dong kalo kemudian dapat jabatan tinggi. Brigjen NA mungkin hanya oknum yang sedang khilaf.
Perkara memaafkan oknum
Untuk urusan memaafkan oknum, orang Indonesia mungkin tidak ada bandingannya. Oleh sebab itu, kita perlu memaafkan Brigjen NA. Beliau adalah patriot bangsa yang tengah menjaga kita dari marabahaya kucing liar.
Bayangkan jika kucing-kucing itu terus beranak, berlipat ganda, menuntut penegakan dan supremasi HAM. Meminta agar kasus penembakan di Paniai, pembantaian Talangsari, atau Tragedi Tanjung Priok diusut? Bisa-bisa seluruh jenderal yang bertanggung jawab saat itu diseret di muka pengadilan. Ini kan cilaka.
Jadi marilah kita maafkan Brigjen NA. Apalagi presiden Jokowi telah membuat Keputusan Presiden (Keppres) mengenai tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu serta Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Jika kekerasan dan pembunuhan manusia melalui pelanggaran HAM saja bisa diselesaikan dengan mekanisme non-yudisial, masa membunuh kucing tidak bisa?
Meski Keppres Jokowi itu disesalkan banyak pihak termasuk keluarga korban, ya kita ikuti sajalah. Kan pak Jokowi tidak punya tampang pelanggar HAM, dari kelompok sipil lagi. Jelas lesser evil, minus malum. Betul tidak Romo Magnis?
BACA JUGA Jatuh Cinta pada Kucing dan Konsekuensi Terburuknya dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno