Hari-hari ini kucing sedang jaya-jayanya di atas panggung dari segala hewan peliharaan. Anjing, kelinci, bahkan ikan kini seakan tak punya panggung semegah yang dimiliki sang raja, sang kucing. Kabar baiknya adalah tren memelihara makhluk berbulu itu yang diikuti dengan mengunggah postingan tentang segala hal yang berhubungan dengannya ini diikuti oleh “panduan-panduan” yang baik.Â
Komunitas pencinta kucing sangat sukses mengampanyekan hal-hal terkait dengan junjungan berbulunya. Kini semua orang dapat dengan mudah mencari informasi valid tentang hewan satu ini. Mulai dari panduan memilih makanan yang baik, pentingnya vaksinasi, penyakit-penyakit yang bisa menyerang, hingga masalah sterilisasi, semua sudah dijadikan konten oleh para budak kucing.Â
Menurut saya, kampanye para budak kucing lebih sukses daripada kampanye penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah di negeri Wakanda. Dampaknya jelas sangat signifikan dalam membuat para budak pemula teredukasi dengan baik. Para budak senior yang tergabung dalam komunitas memang sangat militan. Pemuja senior selalu muncul dengan sukarela menawarkan bantuan nyata saat ada pemula yang kebingungan tentang cara mengurus tuannya.Â
Momentum bertambahnya pemuja kucing pun menjadi momentum untuk para pengusaha yang jeli melihat pangsa pasar yang besar dan menguntungkan. Misalnya saja di dekat rumah saya, di masa pandemi ini justru muncul 2 toko makanan dan 2 penyedia jasa grooming khusus untuk kucing. Saya sempat berpikir bahwa umur usaha semacam itu tak akan lama. Kompetitor mereka banyak sekali dan bukankah jenis usaha ini tidak termasuk dalam jenis usaha barang kebutuhan primer?
Ternyata pemikiran saya keliru. Toko-toko penjual makanan kucing di sekitar saya tetap baik-baik saja. Ya, setidaknya hingga hari ini, toko-toko itu tetap buka dan stoknya pun terjaga. Pertanyaan saya selanjutnya, kok bisa? Namun, ya begitulah kenyataannya. Seorang budak memang selalu dapat menyisihkan dana untuk tuan berbulunya. Mana bisa mereka menolak permintaan tuannya?Â
Saya tahu persis bagaimana rasanya menjadi budak kucing di masa silam. Keluarga kami jatuh cinta pada kucing sejak seekor kucing kembang telon bermata satu sering datang ke rumah kami. Ia sedang hamil. Papa menyebutnya Si Pelong, yang dalam bahasa Batak artinya bermata tak sempurna.Â
Papa membeli lele dari pecel lele di seberang rumah kami atau bacem kepala ayam dari angkringan di dekat rumah untuk memberi makan Si Pelong. Saking seringnya membeli kepala ayam, pemilik angkringan pun mengira Papa sangat menggemari dagangannya itu. Tentu saja Papa tidak memberi tahu kalau ia membeli lauk istimewa itu hanya untuk membangun bonding dengan kucingnya.
Tak jarang, saya mendapati Papa asyik mengobrol dengan Si Pelong saat memberikan Pelong makanan. Pemandangan itu adalah sesuatu yang aneh untuk mata saya. Bukan karena ngobrol dengan kucing itu aneh. Tapi karena Papa adalah seorang dengan karakter tegas, cenderung galak, dan gila kerja. Ia sering berkata pada saya bahwa tak ada gunanya kebanyakan bicara. Ia seorang yang sangat serius. Selain menghitung laba, yang menjadi hobinya adalah membaca koran dan bermain catur. Sungguh sangat janggal melihat Papa ngobrol dengan Si Pelong.Â
Dari Pelong, lahirlah generasi turunannya. Ada Popo, Coco, Cici, Pepi, dan sederet nama lain yang saya sudah lupa. Saat itu, mensterilkan kucing belum kami pahami sebagai wujud cinta. Kami hanya tahu bahwa menjaga, memelihara, dan memberinya makan adalah kegiatan yang menyenangkan. Rasa sayang kami bertambah kuat berkat mitos bahwa kucing kembang telon yang memilih melahirkan adalah pertanda akan datangnya rezeki.Â
Tahun berganti, saya pun menjadi pencinta kucing. Seringnya, kucing yang punya ikatan dengan saya adalah yang menurut saya tersisih dari keluarganya atau si petualang yang sedang mencari tempat yang cocok untuknya. Saya rajin ngobrol dengan setiap makhluk berbulu yang saya jumpai. Balasan ngeongan dari mereka membuat saya merasa dimengerti. Perasaan lega selalu muncul setelah bicara dengan konsultan pribadi saya, si kucing.Â
Tahun 2013, saya mengandung anak pertama. Saya berkonsultasi dengan dokter tentang dampak kesehatan pada janin jika memelihara kucing. Kata dokter waktu itu, tidak masalah memelihara hewan satu itu. Bahkan beliau malah gantian bercerita tentang ketiga kucingnya. Suami saya yang tak begitu menyukai kucing saat itu hanya diam menyimak bagaimana saya dan dokter menceritakan makhluk berbulu yang hangat itu dengan mata berbinar.Â
Kecintaan saya pada kucing ternyata tidak bisa berjalan abadi. Di suatu hari yang sangat sial, saya tidak sengaja menabrak kucing hitam peliharaan saya. Si Hitam sudah dua hari tidak pulang. Saya pikir ia hanya bermain di rumah tetangga karena di pertemuan terakhir kami, ia masih lincah dan ceria. Sehat. Ternyata siang itu ia sedang tiduran di bawah ban mobil yang saya parkir di depan rumah. Biasanya, saya memastikan apakah ada kucing di bawah ban mobil. Karena bukan hanya kucing saya, terkadang milik tetangga pun suka bermain di rumput dekat tempat mobil saya parkir.Â
Hari itu memang sungguh hari yang sial. Saya tergesa memundurkan mobil ke garasi tanpa mengecek ke bawah mobil. Butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa ada sesuatu mengganjal di bawah ban, saat mobil saya tak bisa mundur dengan lancar. Ketika saya akhirnya turun dan mendapati ternyata yang mengganjal itu adalah tubuh Si Hitam, saya menangis gemetar. Hari itu saya lalui dengan tangisan yang sulit sekali reda.Â
Si Hitam mati menjelang hari persalinan saya. Saya bertekad, tak akan memelihara makhluk itu lagi. Saya menghapus angan untuk mengenalkan makhluk berbulu itu sebagai sahabat yang baik untuk anak saya. Sejak hari itu, saya tak lagi berani menjadi seorang yang terikat cinta dengan kucing. Kehilangan kucing sering menyisakan duka, tapi kehilangannya akibat kelalaian diri sebagai manusia, sungguh sulit untuk saya. Hingga kini pun saya belum bisa semeleh dan ikhlas memaafkan kelalaian saya saat itu.Â
Delapan tahun sudah berlalu, kini suami saya berubah menjadi orang yang menyukai kucing. Dua tahun ini ada seekor kucing bernama Kopi yang tinggal bersama dengan kami. Anak-anak saya rupanya secara otomatis menyukai hewan itu. Walau akhirnya keluarga saya menjadi pencinta kucing, entah kapan saya akan berani untuk kembali jatuh cinta pada hewan itu seperti dulu.Â
Kini, setiap kali melihat seorang pemuja kucing memulai perjalanan penuh cintanya dengan tuannya, saya berpikir siapkah mereka merasakan kehilangan seperti yang saya pernah rasakan?Â
Saya memilih untuk mengalihkan cinta saya hanya untuk anak-anak. Meskipun begitu, pengalaman kehilangan Si Hitam menimbulkan sebersit tanya yang kadang menghantui. Bagaimana jika suatu hari saya ditakdirkan untuk melihat anak saya lebih dulu berpulang seperti saat saya harus kehilangan Si Hitam karena kesalahan saya? Sanggupkah saya?