MOJOK.CO – Hanya sedikit ruang di Jakarta yang memungkinkan warga dari beragam kelas sosial bisa berinteraksi, salah satunya jalanan. Sayangnya, alih-alih berinteraksi justru ketubiran yang terjadi.
Saya terdiam beberapa detik saat melihat foto pengendara motor berplat “AA” mengacungkan jari tengah pada rombongan pesepeda balap. Foto itu menggambarkan dinamika dan gesekan di jalanan Jakarta dengan sangat pas.
Bagi saya, poin penting foto itu bukan soal siapa yang benar dan salah. Pertanyaan utamanya justru, “Kenapa jari tengah itu bisa muncul?”
Jakarta adalah contoh paripurna car oriented city. Secara sederhana, konsep itu berarti pembangunan kota yang memprioritaskan mobil pribadi dalam pilihan kebijakannya. Ibu kota adalah surga bagi mobil pribadi.
Efek konsep tersebut sangat nyata di ibu kota. Layanan yang semestinya bersifat publik justru berorientasi untuk kenyamanan pengendara mobil. Misalnya, pembangunan jalan tol yang terus dilakukan, parkir mobil murah, transportasi publik yang belum merata, sulitnya akses parkir motor di pusat perbelanjaan, dan nada sumbang atas jalur sepeda. Paling banal adalah perayaan atas pembangunan jalan layang dengan cat warna-warni sekadar agar menarik saat difoto dengan drone.
Konsekuensi car oriented city tak hanya pada bangunan fisik di jalanan tapi jauh lebih besar dari itu. Konsep itu menyimpan satu masalah esensial: Jalanan hanya dikuasai oleh satu golongan. Basis penguasaan jalanan itu tentu saja ekonomi.
Efeknya: Jalanan tak lagi bersifat inklusif.
Ada satu sketsa kecil yang bisa menggambarkan itu. Alkisah dulu almarhum Munir mengendarai motor bebek astreanya ingin masuk ke hotel untuk mengikuti seminar. Di pintu masuk, dia dicegat oleh satpam. Alasan satpam itu sederhana, Munir bukan orang yang layak masuk ke hotel karena cuma pakai astrea. Munir geleng-geleng kepala saat dicegat. Dia tak menyangka sebuah kendaraan bisa mencerminkan layak tidaknya seseorang berada di sebuah tempat.
Cerita Munir tak hanya anekdotal, tapi juga gambaran bagaimana alat transportasi bisa menentukan posisi seseorang di Jakarta.
Saat sepeda mulai ramai di masa pandemi, bahkan melebihi tren sepeda fixie di tahun 2010-2011, saya punya harapan besar untuk mempertanyakan ulang car oriented city.
Sepeda bisa jadi cara untuk mengkritisi banyak hal. Kenapa parkir sepeda minim? Kenapa transportasi publik belum terintegrasi dengan sepeda? Kenapa jalur sepeda masih minim? Kenapa jalanan hanya berpihak pada yang kuat? Kenapa jalanan tak inklusif? Dan beragam kenapa lainnya.
Sayangnya, ada banyak fenomena sepeda yang justru menjadi ironi atas semua pertanyaan itu. Tentu, tak bisa gebyah uyah menyamaratakan semua pesepeda. Menyalahkan semua jenis pesepeda juga tak bisa dibenarkan. Namun, fenomena seperti rombongan sepeda dikawal aparat atau pesepeda yang mengkooptasi banyak jalur di jalanan adalah sebuah ironi atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
Melihat fenomena pesepeda itu, membuat saya berpikir ulang tentang konsep Jakarta sebagai car oriented city. Konsep itu sejatinya tak hanya merujuk pada mobil. Nyatanya, sepeda juga bisa mengkooptasi jalanan. Ganti rombongan sepeda dengan plat mobil “RF” bersirene atau rombongan mobil sport dikawal aparat maka kejadiannya akan sama. Mereka bisa menguasai jalanan dengan kekuatan yang tak dimiliki pengguna jalan lainnya, biasanya ekonomi.
Car oriented city bukan hanya merujuk pada mobil, tapi pada pihak yang paling kuat apa pun moda transportasinya.
Maka, jari tengah pengendara motor itu bisa dibaca bukan hanya untuk rombongan pesepeda tapi untuk jalanan yang tak inklusif, yang berpihak pada yang kuat.
Foto itu adalah puncak kekesalan warga atas ruang-ruang di Jakarta yang sama sekali tak inklusif. Jalanan yang memberi karpet merah pada mereka yang punya sumber daya lebih.
Tiap kali permasalahan sepeda semacam itu muncul, jargon yang sering muncul adalah #ShareTheRoad. Pandangan saya, konsep share the road perlu beranjak dari kesadaran jalanan sebagai ruang interaksi. Share the road jangan hanya dibaca secara harfiah sebagai kamu di jalur kanan, saya di jalur tengah, dan dia di jalur kiri. Share the road adalah kesadaran setiap warga bahwa jalanan sejatinya ruang berbagi dengan memprioritaskan yang lemah. Berupaya menguasai jalanan kecuali tentunya ambulans dan pemadam kebakaran, dengan dalih share the road rasanya keliru.
Dengan kesadaran itu, kita bisa memilah mana yang relevan dan tidak. Contohnya, jalur sepeda yang kerap dikritik, bagi saya justru sangat relevan. Terlepas dari polah banyak rombongan pesepeda balap yang menyebalkan, jalur sepeda adalah tindakan afirmatif penting untuk memberi ruang bagi pesepeda yang selama ini tersisih di jalanan ibukota.
Sebut saja abang starling, ibu yakult, atau pengguna sepeda harian untuk menuju tempat kerja.
Jalur sepeda menghadirkan apa yang selama ini dianggap tidak ada. Kasusnya mirip dengan kenapa kita jarang melihat disabilitas di jalanan? Jawabannya bukan karena jumlah disabilitas yang sedikit, melainkan karena jalanan kita tak memberi ruang yang aman dan nyaman pada disabilitas.
Melalui jalur sepeda, pengguna jalan tahu bahwa pesepeda adalah bagian dari jalanan. Dengan trotoar, pengguna jalan sadar pejalan kaki juga berhak menggunakan jalanan. Fasilitas yang aman untuk disabilitas membuat kita paham setiap kita berdaya, fasilitas minimlah yang membuat seseorang menjadi disable.
Sejatinya konsep share the road perlu dimaknai dalam perspektif seperti itu, bukan menjadi dalih untuk menguasai jalan karena sumber daya atau akses yang tak dimiliki pengguna jalan lainnya.
Sayangnya, Jakarta kekurangan ruang publik yang bisa memupuk konsep berbagi pada sesama warga di jalan. Jakarta kekurangan ruang yang memungkinkan semua golongan berinteraksi. Ada sebuah pertanyaan anekdotal yang miris tentang ruang di Jakarta. “Kenapa kelas menengah Jakarta suka ke mal?” Jawabnya sederhana, karena kelas menengah nyaman melihat orang yang sekelas dengan mereka, tanpa perlu melihat kelas bawah.
Jawaban itu mungkin terkesan sinis, tapi pernahkah kita bertanya apa alasan logis di balik kebijakan banyak pusat perbelanjaan meminta ojek online membuka jaketnya saat masuk ke mal? Bisa jadi jawabannya sama.
Taman kota adalah contoh terbaik interaksi antargolongan. Di Taman Suropati saya bisa melihat ekspatriat membawa anjingnya keliling taman, anak muda sporty berolahraga pagi, ibu-ibu dari kampung sebelah menyuapi anaknya, akamsi main raket di dekat air mancur, dan anak muda kampung kota pacaran dengan bermodalkan balon tiup dari sabun seharga lima ribuan. Semua setara, interaksinya autentik.
Jalanan yang inklusif semestinya seperti taman. Mewadahi interaksi antargolongan, bukan memberi ruang hanya pada yang terkuat. Menjadi ruang interaksi, bukan kompetisi.
Selama jalanan terus mewadahi yang kuat dan mengucilkan yang lemah, selama itu pula jari tengah akan terus muncul di jalanan ibu kota.
BACA JUGA Pengendara Honda Beat vs Rombongan Gowes: Doxing dan Perang Analogi Si Miskin vs Si Kaya dan tulisan menarik lainnya di rubrik ESAI.