Berpikirlah merawat kendaraan itu ribet-ribet ngeselin
Saya bersyukur betul-betul bahwa selama 2 tahun ini saya nggak perlu lagi mikir hal-hal yang “ribet” terkait kendaraan. Misalnya, ganti oli, apakah ban luar motor sudah meleyot, apakah spion sudah benar, sampai ban dalam yang bocor alus terus kalau nggak pakai yang tubeless.
Memang agak anomali dari kebanyakan cewek. Saya termasuk yang peduli sama motor. Bakal jadi stres betulan ketika saya belum sempat servis motor, tunggangan kurang enak, tapi di saat yang sama belum gajian. Aduh, pusing-pusingnya ilmu padi, Abangku.
Terbiasa menaiki transportasi umum dan mengandalkan kedua kaki saat bepergian bikin saya terbebas dari kekhawatiran itu. Saya sampai pernah berpikir bahwa Tuhan betul-betul mengangkat beban saya untuk tidak lagi memikirkan oli dan ban motor di Jakarta. Bahkan mitos-mitos jalanan ibu kota yang penuh ranjau bertebaran itu saya nggak pernah ngalamin, kok.
Selamat tinggal pajak motor dan mahalnya biaya parkir di Jakarta
Pajak motor memang sesuatu yang lain. Kita harus membayarnya tepat waktu, antre di Samsat di awal pekan yang menjemukan, dan kembali perlu menyisihkan uang. Lagi-lagi jika kamu nggak ada kendaraan, beban ini sungguh tak pernah lagi terpikirkan.
Biaya parkir juga sesuatu yang lain, utamanya di Jakarta. Andai saya naik motor ke kantor, selain dapat panas terik Jakarta yang nauzubillah kayak franchise neraka, saya juga harus bayar mahal buat parkir gedungnya.
Hitungan parkir gedung di Jakarta itu per jam. Misalnya, dalam satu hari, saya bisa saja mengeluarkan Rp18 sampai Rp20 ribu karena berada 8 sampai 10 jam di kantor. Kalikan 1 bulan, apa nggak boncos, tuh. Belum lagi parkir mal, parkir tempat makan, dan parkir-parkir di tempat nongkrong lain.
Bayangin, kalau naik transportasi umum, kamu tinggal duduk manis di dalam ruangan ber-AC dan serahkan semua pada Pak Sopir. Biaya pun murah betul. Bayangkan saya pergi dari Mangga Besar sampai Pasar Santa cuma ngeluarin Rp3.500 dengan naik Bus Trans Jakarta. Membelah DKI Jakarta ternyata semurah itu.
Bahkan sampai saya menulis ini, naik JakLingko ke mana-mana masih gratis. Asal punya e-money, semua beres. Kalau terburu-buru dan ingin pangkas waktu, masih bisa naik MRT yang berjalan di bawah tanah tanpa terganggu lalu-lalang jalan darat pada umumnya. Ada banyak cara, seribu jalan menuju Ancol.
Mengatasi nafsu motor-motoran buat ke minimarket terdekat
Awal pertama saya memutuskan nggak lagi mengandalkan kendaraan pribadi, problem naik motor jarak dekat itu yang paling mengganggu. Ya, kalau butuh beli sabun ke Indomaret atau beli beras ke warung madura yang jaraknya 2 gang itu emang nanggung.
Jalan kaki terasa jauh. Naik ojek terlalu dekat. Belum lagi kalau butuh setor baju kotor ke laundri. Sepele tapi jadi PR besar.
Untungnya, hidup di Jakarta membuat saya dikelilingi persaingan bisnis jasa yang memfasilitasi orang malas. Ada banyak cara yang bisa saya jalankan. Butuh galon, sabun, dan kebutuhan yang sekiranya bisa dibeli di minimarket, bisa pakai aplikasi Alfagift.
Kalau butuh laundri, banyak yang mau antar dan jemput, tinggal chat WhatsApp. Butuh ke warung madura, asal kamu akrab sama abangnya juga mau kok nganterin. Barang sesepele terasi pun bisa beli online dan sampai dalam waktu 15 menit pakai aplikasi Astro. Menyenangkan bukan? Bukan.
Intinya, nggak mustahil kita tetap bernas, bersosialisasi, sembari tidak punya kendaraan pribadi di Jakarta. Meski kadang harus tahan untuk nggak kemakan gengsi, sih.
Ada sebuah masa depan cerah yang bisa kita sambut di kota-kota besar lain di Indonesia andai pemerintah mau serius benar ngurusin problematika transportasi. Herannya, PR besar macam ini sampai puluhan tahun pun tak juga dicicil untuk diselesaikan.
Coba aja deh cari tahu berapa persen APBN yang dialokasikan buat pembangunan transportasi? Taruhan, banyakan APBN buat anggaran Kemenhan yang nggak bisa diaudit itu, kan?
Penulis: Ajeng Rizka
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Naik KRL Jakarta Bikin Badan Sehat, tapi Kondisi Mental Saya Jadi Gawat dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.