Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Ini Cara Agar Para Pejabat Mau Saling Sikut buat Layani Rakyat Lagi

Fachrial Kautsar oleh Fachrial Kautsar
19 Juli 2021
A A
Ini Cara Agar Para Pejabat Mau Saling Sikut buat Layani Rakyat Lagi

Ini Cara Agar Para Pejabat Mau Saling Sikut buat Layani Rakyat Lagi

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Momen apa lagi di dunia ini yang paling efektif untuk memaksa para pejabat terlihat kerja untuk masyarakat, selain Pemilu?

Seberapa sering Anda mendengar alasan seperti “jangan saling menyalahkan”, “kita mesti gotong royong”, atau “jangan buat kegaduhan” setiap kali para pejabat kita dikritik atas kinerjanya yang buruk?

Saya sih yakin, saya bukan satu-satunya orang yang muak mendengar pernyataan semacam itu.

Selain menunjukkan watak yang kurang suka dikritik, pernyataan-pernyataan tersebut seringkali dijadikan tameng yang melindungi inkompetensi mereka dalam mengelola kebijakan dan melayani masyarakat. Lalu kita semua sebagai pemberi mandat, dipaksa ikut manggut-manggut atas petaka yang terjadi, sebagai sebuah dosa kolektif.

Mereka, sebut saja pelayan masyarakat, kerap kali sengaja menggunakan narasi heroik tentang “persatuan” dan “gotong royong” untuk mengalihkan tanggung jawab dari pundak mereka ke pundak setiap warga masyarakat.

Tanpa disadari, pola pikir seperti inilah yang kemudian memaksa kita untuk—mau tidak mau—memperkuat inisiasi seperti wargabantuwarga, kitabisa, dan bagirata.

Perlahan, kita diajak untuk tidak menuntut apa-apa ke para pelayan masyarakat ini. Kita diajak untuk legowo dan menganggap normal bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari para pelayan ini, selain menambah stok meme warganet dari tingkah laku dan pernyataan konyol mereka.

Standar dan ekspektasi kita terhadap kinerja mereka dibuat sedemikian rendah, serendah pernyataan: “yailah, kayak nggak tahu watak pejabat sini aja.”

Lalu *CRIINGGGG*, perdebatan selesai tanpa menghasilkan apa-apa.

Bikin gedheg ya? Sama, saya juga.

Namun belakangan, gara-gara baca twit Sabda Armandio berikut, saya jadi kepikiran. Kira-kira hal apa yang bisa membuat para pelayan ini merasa terancam dan memancing mereka untuk lebih serius menangani krisis yang terjadi?

selama ga ada friksi di pemerintahan, atau merasa terancam, kayaknya bakal gini2 aja: mahfud selonjoran sambil nonton sinetron, luhut bangun tidur hoam nyem nyem oh masih covid, aparat jadi pajangan buat membuktikan keseriusan negara, dan kroco2nya bikin warga konflik horizontal

— Brother IntelliFAX-4100e Laser Fax Machine (@armandioalif) July 16, 2021

Tanpa perlu pikir panjang, tentu saja jawaban yang terlintas di kepala saya adalah: KONTESTASI PEMILU.

Momen apa lagi di dunia ini yang paling efektif untuk memaksa para pelayan ini turun ke masyarakat, memberikan bantuan, menyerap aspirasi, dan memikirkan solusi terbaik, selain momen pemilu?

Iklan

Suka tidak suka, nilai-nilai kompetitif dalam penyelenggaraan kampanye pemilu selalu berhasil membuat para (calon) pelayan ini berlomba-lomba merebut hati masyarakat. Dengan cara apapun.

Mulai dari yang paling basic seperti berbagi sembako dan mengaspal jalan, hingga yang cukup menantang seperti diskusi bersama pakar, menyerap aspirasi, dan kritik masyarakat.

Kita semua juga akan disuguhkan oleh berbagai jenis komunikasi publik yang lebih serius dan berkualitas. Tidak akan ada lagi yang namanya nasi kucing, kalung anti-corona, atau analisis hukum sinetron ikatan cinta. Setiap pelayan masyarakat akan kita paksa untuk memiliki sense of crisis terhadap situasi yang terjadi.

Coba bayangkan, memangnya mau sampai kapan kita dijejali terus-menerus oleh hasil survei popularitas dan elektabilitas dari lembaga survei politik? Indikator penilaiannya itu-itu aja. Nggak pernah secara spesifik menyentuh aspek kredibilitas dalam menangani krisis akibat pandemi.

Walhasil, para pelayan yang namanya selalu terpampang di bursa hasil survei ini nggak pernah merasa perlu mawas diri. Toh yang penting namanya sering masuk berita dan perbincangan publik. Tak peduli yang diperbincangkan adalah tentang kelenturan tubuhnya ketika goyang ubur-ubur, atau banyaknya sampah visual (baligho) yang terpampang di sepanjang Pantura.

Jika lembaga-lembaga survei politik ini selalu muncul dengan survei elektabilitas dan popularitasnya, saya kira warga bisa menandinginya dengan membuat klasemen Tes Kredibilitas Pelayan Publik (TKPP).

Meskipun Pemilu 2024 masih beberapa tahun lagi, mengapa tidak jika kita tarik kalender dan paksa para pelayan ini untuk berkompetisi sedari sekarang?

Indikatornya bisa kita rumuskan bersama-sama. Mulai dari sikapnya terhadap implementasi UU Kekarantinaan Kesehatan, vaksin gotong royong, banyaknya blunder atau statement bodoh, gimmick politik yang nggak penting, kemauan untuk mendengar kritikan publik, kepatuhan terhadap protokol kesehatan, dan lain sebagainya.

Setiap pelayan publik—baik di tingkat nasional, maupun lokal—akan dievaluasi berdasarkan indikator-indikator tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, siapapun yang mendapat akumulasi nilai buruk atau di bawah standar, maka akan kita masukkan ke dalam “daftar merah TKPP” yang tentu saja: TIDAK BISA DIBINA.

Kita catat, tandai mukanya, dan sebarluaskan nama serta afiliasi partainya. Kita berikan sanksi sosial yang setimpal dengan inkompetensi pelayanan yang mereka berikan kepada kita, sang pemberi mandat.

Jika para pejabat ini mempertanyakan keabsahan penilaian dan hasil klasemennya, tinggal kita jawab saja: “Hasil TKPP masuk kategori dokumen rahasia rakyat. Sampean nggak perlu tahu.”

Harap maklum kalau sampai pikiran Pemilu begini muncul di kepala. Sebab di negeri demokrasi musiman seperti Indonesia gini, harus diakui, hanya di saat Pemilu saja lah, rakyat punya daya tawar minta sesuatu ke Pejabat. Meski daya tawar itu pun kadang masih dikorupsi juga.

BACA JUGA Cara Cepat Menang Pemilu Adalah dengan Jualan Martabak atau tulisan Fachrial Kautsar lainnya.

Terakhir diperbarui pada 19 Juli 2021 oleh

Tags: bansoskampanye pemiluLuhutmahfud mdpandemipejabatpemilu
Fachrial Kautsar

Fachrial Kautsar

Artikel Terkait

2.000 KPM di Brebes Keluar dari Jerat Kemiskinan, Siap Hidup Mandiri MOJOk.CO
Kilas

 2.000 KPM di Brebes Keluar dari Jerat Kemiskinan, Siap Hidup Mandiri

15 Agustus 2025
negara nggak perlu malu mengakui banyak kelompok miskin di Indonesia. MOJOK.CO
Mendalam

Nestapa Kelas Menengah yang Sebenarnya Tergolong Miskin, tapi Negara Nggak Mau Mengakuinya

24 Juni 2025
menulis di media, dahlan iskan.MOJOK.CO
Ragam

Menulis di Media adalah Cara Termudah Menjadi Terkenal dan Meninggalkan “Warisan”

17 April 2025
Presidential Threshold, MK.MOJOK.CO
Aktual

Penghapusan Presidential Threshold adalah Langkah Maju Bagi Demokrasi

3 Januari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.