MOJOK.CO – Indahnya hidup seorang kurir. Apalagi kalau ada layanan COD. Kerjanya kudu serius, tapi upah yang didapat serasa main-main saja.
Satu malam, saya mendapat protes dari berbagai teman-teman kurir. Teman-teman saya ini mengingatkan saya untuk nggak usah ngoyo melakukan pengiriman ulang paket COD. Pasalnya, pemesan paket sulit dihubungi yang baru membalas atau menghubungi balik saat malam hari, di luar jam kerja saya.
“Ngirimnya sesuai di jam kerja aja!”
“Langsung retur aja. Yang mesen paket nggak jelas gitu!”
Kalimat peringatan dari teman-teman nggak bisa saya hindari. Menurut mereka, yang saya lakukan adalah sebuah kesia-siaan. Kerja serius, tapi dapat upah main-main.
Menjadi kurir adalah soal dedikasi
Malam itu, saya belum sepenuhnya sepakat dengan argumen teman-teman bahwa pekerjaan kurir adalah tugas yang harus dijalani dengan penuh dedikasi. Saat itu, menimbang soal dedikasi hanya membuat etos kerja itu seakan meromantisasi profesi saja. Yah, saya sendiri berdedikasi tujuannya bukan untuk melayani publik, tapi untuk mengumpulkan upah seribu atau dua ribu perak yang akan saya dapatkan dari setiap pengiriman paket.
Masalahnya adalah, malam itu, saya benar-benar nggak tahu. Apakah pemesan paket memang tinggal di alamat yang tercantum atau tidak. Alamat yang tertulis adalah sebuah ruko, yang sudah saya ketahui lokasinya, sebagai tempat kafe sekaligus karaoke dan hiburan malam. Pastinya, dong, kalau siang hari saya ke sana ruko itu tutup, digembok, dan nggak ada yang menjaga.
Salah satu cara agar paket itu bisa sukses terkirim yaitu dengan mengkonfirmasinya terlebih dahulu. Hasil yang saya dapatkan malah telepon nggak aktif dan pesan WhatsApp centang satu. Ya sudah, cukup sampai di situ. Saya cuma bisa nunggu balasannya aja.
Mengalah demi COD
Sore harinya, ketika azan Maghrib berkumandang, saya mendapatkan balasan dari si pemesan paket itu. “Bang, saya ada di tempat kerja jam 10 malam. Bisa nggak, COD-nya ke kosan saya. Nggak jauh dari tempat kerja, kok.”
Belum sempat membalas chat di aplikasi WhatsApp, dia sudah berbagi lokasi terkini. Saya amati baik-baik. Lokasinya memang berada di sebuah pemukiman padat penduduk. Tepatnya di belakang ruko tempat dia bekerja.
Setelah berbalas chat perihal saya nggak bisa ngirim paket di atas pukul 10 malam, akhirnya saya sepakat dengan pemesan paket untuk mengirim ke alamat kosannya pukul delapan malam. Pertimbangan saya adalah sekalian jalan pulang ke rumah. Meskipun rute perjalanan pulang saya jadi memutar arah.
Sebetulnya, saya dan teman-teman udah sering menemui hal-hal ribet kayak gini. Jika balasan chat WA dari pemesan paket malah jadi tambah ribet, saya akan mengambil langkah praktis untuk meretur paket itu. Faktanya, yang sering bikin kerjaan kurir jadi ekstra kayak gini memang paket-paket jenis layanan COD.
Repotnya layanan COD
Sebetulnya, malam itu, saya bisa saja menolak untuk tidak mengirim paket karena sudah jam pulang kerja dan saya lebih memilih mengikuti anjuran teman tanpa banyak usaha dan celoteh. Tanpa mau tahu bahwa pemesan paket sudah menunggu. Tanpa mau tahu ada tenaga, waktu, dan bahan-bahan packing dari seller untuk menunaikan tugasnya dalam mengirim paket tersebut.
Apa yang terjadi jika saya berada di posisi jadi pemesan paket? Belum ada kurir yang menghubungi, belum ada dua hari percobaan pengiriman, dan tetiba melihat notifikasi bahwa status paket akan dikembalikan ke seller dengan alasan kantor tutup.
Oh, pastinya, dong, saya kesal dan akan menandai ekspedisi yang bertugas. Setelah itu, saya akan membuat sebuah stereotip bahwa kurir X pengirimannya lambat dan malas tanpa melihat konteks masalahnya. Hal ini tentu akan menjadi gambaran negatif akan sebuah perusahaan ekspedisi, padahal udah ngeluarin biaya buat nge-branding. Sungguh merugikan, bukan?
Sebagai pekerja yang berdedikasi, saya harus memikirkan hal-hal kecil yang berdampak merugikan nama baik perusahaan dan saya berkewajiban untuk menjaganya. Jadi, meskipun harus bolak-balik, setidaknya, saya sudah berhasil mendapatkan upah Rp1.750 perak dari satu paket yang saya perjuangkan itu.
Lalu, saya akan membuang jauh-jauh pikiran bahwa saya telah rugi waktu, tenaga, dan bensin. Yang penting, paket bersih dan nggak ada pengiriman yang tertunda tanpa alasan yang nggak jelas.
Baca halaman selanjutnya
“Tanpa ada uang lembur”