MOJOK.CO – Kemenag bukannya tak tahu faktor ekonomi jadi penyebab naiknya angka perceraian belakangan ini, cuma ngaji itu kan tetep penting, Bradeeer~
Kementerian Agama alias Kemenag, institusi negara yang tak henti-hentinya rempong ngurusin perkara fana warga negara dengan langkah-langkah yang suka nggak ketebak.
Apalagi, baru-baru ini, lewat Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinahnya, Muharam Marzuki, Kemenag menyarankan agar masyarakat mendekatkan diri dengan Tuhan untuk menekan perceraian selama pandemi.
Marzuki bukannya tidak tahu penyebab perceraian merupakan faktor ekonomi, tapi mungkin dalam perspektif Kemenag, ekonomi itu ada urusannya dengan rajin atau tidak suami-istri beribadah.
Padahal kita masyarakat awam juga tahu, pandemi Covid-19 belakangan ini jadi biang kerok utama yang bikin banyak ekonomi rumah tangga terpukul. Baik oleh PHK sampai lapangan pekerjaan yang menyusut.
Puadahal cuan adalah salah satu kebutuhan primer yang harus ada dalam rumah tangga. Tanpa cuan, segala urusan bisa fatal. Hal-hal remeh bisa jadi alasan bagi lahirnya perceraian. Karena cuan memengaruhi banyak hal. Orang jadi lebih mudah murka karena tidak ada cuan.
Namun, lewat gagasan brilian, ada dua hal yang dijadikan solusi oleh Pak Marzuki, untuk menyelesaikan urusan cuan ini, yakni mengisi waktu dengan mengaji dan menyediakan layanan bimbingan perkawinan (bimwin) bagi masyarakat yang mendaftar nikah di KUA.
Hm, kalau dilihat-lihat, gagasan di atas cukup menjawab persoalan perceraian yang disebabkan oleh faktor ekonomi, bahkan termasuk revolusioner.
Kira-kira begini, masalah rumah tangga yang disorot sepanjang pandemi ini kebanyakan karena persoalan ketiadaan cuan. Meski begitu, prasyarat munculnya persoalan adalah kesadaran anggota rumah tangga bahwa mereka tidak memiliki uang.
Artinya, diperlukan suatu pengalih perhatian agar anggota keluarga tidak menyadari bahwa mereka tengah berada dalam kesulitan ekonomi.
Caranya, tentu saja dengan membuat mereka banyak-banyak memikirkan akhirat ketimbang soal-soal duniawi yang bersifat sementara. Seperti nasihat lama di Jawa, “Urip iku mung mampir ngombe.”
Karena ngombe sifatnya sementara, hanya pada saat-saat kita kehausan, maka memikirkan ekonomi juga baiknya sementara saja. Jangan sering-sering. Bayangkalah jika minum yang sifatnya duniawi jadi sesuatu yang tidak berarti, maka, secara otomatis, persoalan duniawi pun jadi ikut nggak berarti pula.
Bila rumah tangga tak lagi menganggap cuan sebagai sesuatu yang primer dan memilih fokus pada urusan ibadah-ibadah saja, maka perceraian tak akan terjadi. Asal jangan kayak Si Doel, yang kerjaannye sembahyang mengaji tapi tetep cerai juga sih.
Bahkan bukan tidak mungkin, dengan gagasan ini, Indonesia akan memproduksi puluhan juta sufi beserta tarikat-tarikat yang bergerak di dunia pertasawufan. Pasalnya, semakin terpuruk perekonomian suatu keluarga, akan semakin menjadi-jadi kebutuhan ukhrawinya untuk semakin menjauh dari hiruk pikuk duniawi.
Orang-orang tidak saja menjadi lebih rajin mengaji, tetapi juga meningkat menjadi ibadah ritual semacam puasa. Puasa yang bukan puasa biasa, melainkan puasanya kaum sufi yang makan hanya sesekali dalam setahun. Secara kebutuan ekonomi, orang semacam ini tentu ngirit dan hemat sekali.
Orang tidak akan lagi berpikir untuk mencari nafkah, melainkan bagaimana menyadari hakikat hidup yang sementara. Menariknya, mayoritas bangsa Indonesia berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Artinya, persoalan finansial adalah persoalan mayoritas orang Indonesia, khususnya umat Islam dengan jumlah terbanyak pemeluknya.
Toh, namanya juga Kementerian Agama, pastilah punya misi agar warga beragama menjadi semakin taat. Akan tetapi, Anda jangan dulu menganggap remeh kondisi yang dituju oleh Kemenag.
Soalnya, kalau dipikir-pikir lagi, ide ini merupakan suatu bentuk revolusi. Meskipun semangatnya berwajah Teosentris, tapi percayalah bahwa dampaknya bisa beruwujud berupa pembebasan sosial yang bahkan tak disadari oleh banyak orang.
Kita dapat mengira-ngira dengan jumlah umat Islam yang berlimpah ruah dalam sekejap berubah sikap. Mereka tidak lagi jadi masyarakat konsumtif dan agama tidak lagi dijadikan bahan bisnis atau politik.
Dengan begitu perekonomian bakal jadi lesu. Maka, yang paling dirugikan oleh pola kehidupan semacam itu ialah sistem kapitalisme.
Soalnya ketika kapitalisme membutuhkan kerja-kerja produksi dengan skala besar-besaran, sementara dengan bikin masyarakat lebih banyak mengaji ketimbang kerja, daya beli masyarakat bakal rendah. Konsumsi pun minim. Duh, keruntuhan kapitalisme di depan mata! Iniiiih!
Nah, pada titik itu, kita dapat membayangkan ada banyak yang bakal berubah.
Eksploitasi alam dapat dihindarkan, kebakaran hutan bakal jadi barang yang dirindukan, dan polusi udara bakal makin langka dalam pemberitaan. Efek sampingnya tentu saja berimbas pada menurunnya ancaman kesehatan warga kelas bawah yang biasanya jadi korban.
Dengan masyarakat yang sibuk mengaji, negara tidak lagi dalam bayang-bayang kapitalisme, dan para aktivis yang menolak Omnibus Law pun tak perlu lagi repot-repot berteriak dengan megafon sambil berpanas-panasan.
Para pemilik modal tahu diri kalau negara ini bukan tempat yang menguntungkan untuk berinvestasi karena semua rakyatnya lebih doyan mengaji ketimbang minta digaji. Artinya, eskploitasi tenaga kerja bisa dihindarkan.
Benar-benar ide yang brilian Kemenag ini. Berawal mengindari perceraian, berakhir jadi gerakan revolusi. Dengan ide Kemenag ini pula, rakyat hidup dengan baik dan sewajarnya, karena mereka telah meninggalkan segala persoalan fana ini. Hidup hanya tinggal menunggu mati.
Jadi, tak ada alasan untuk tidak mendukung ide Kemenag ini. Hanya saja, persoalannya ialah sejauh mana tingkat keberhasilan agar membuat rakyat ujug-ujug jadi sufi, doyan mengaji tiap saat, dan mau berpuasa massal?
Soalnya, satu-satunya yang bakal dikhawatirkan dari efek lanjutan ini, ketika gugatan perceraian sudah tak lagi membludak di pengadilan, tapi justru muncul gerakan yang menganggap bahwa pemerintahan sah saat ini juga bagian dari kefanaan dunia.
Lantas muncul gerakan-gerakan fanatik yang tak peduli dengan isi perutnya lagi, karena percaya dua hal yang lebih baik ketimbang perceraian:
Pertama, poligami. Kedua, makin banyak masyarakat yang setuju khilafah di Indonesia karena udah gemes punya pemerintah nggak cakap ngelola negara.
Yang di pemerintah udah jadi kayak ustaz, yang ustaz kepengin ikut memerintah.
BACA JUGA Sunda Wiwitan Melawan Diskriminasi atau tulisan Ang Rijal Amin lainnya.