MOJOK.CO – Apa? Ibukota pindah? Tetap di Jawa atau ke luar Jawa boleh-boleh saja Pak Jokowi, tapi plis, jangan ke Flores. Pokoknya jangan.
Televisi tak lagi menarik untuk saya tonton. Kalau situ rasa masih menarik ya sudah. Soal rasa, sa kira bebas. Apalagi selama masa menjelang 17 April kemarin, layar kaca jadinya kacau minta ampun.
Untung masih ada Spongebob. Meski harus diakui kelucuannya kalah bikin ngakak ketimbang celotehan para politisi. Itu pun tak lama saya nikmati keseruannya, karena ada iklan Bos Perindo yang merakyat bukan main dan saya tidak tega mempercayai itu.
Baru semalam saya kembali menghargai barang yang dibeli dengan harga mahal itu. Macam-macam berita. Soal klaim-klaim kemenangan, soal “Siap Presiden”, soal petugas-petugas Pemilu yang wafat, dan banyak lagi. Satu yang sangat menarik bagi saya, soal rencana ibukota pindah.
Semalam pula, saya baca-baca dan menemukan info bahwa Jokowi putuskan rencana ibukota pindah ke luar Jawa.
Ada tiga alternatif. Tetap di Jakarta tapi kawasan pemerintahan akan terpusat di sekitar Istana dan Monas demi efektivitas dan efisiensi, pindah ke luar Jakarta tapi masih dalam radius 50-70 km dari Jakarta, dan pindah ke luar Pulau Jawa.
Selain rencana utama ibukota pindah ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, rencana ibukota pindah juga menyasar ke kawasan Indonesia Timur. Pertimbangan Pakde pilih alternatif ketiga ini pun, keren mati pung. Agar Indonesia ini yang ada dalam genggaman Luhut ini tidak Jawa-sentris. Heroik nian.
Baru setelah bertahun-tahun merdeka, baru setelah baik 01 maupun 02 tidak lagi bisa sabar menanti pengumuman resmi KPU Pusat, sebuah pikiran besar diucapkan. Lawan Jawa-sentris dengan rencana ibukota pindah. Sungguh suatu pikiran keren tak terkira karena nggak populis.
Meski keren, saya kira pertimbangan ini juga berlebihan. Berlebihan karena, saya pikir tidak perlu sampai pindah segala. Tetap saja di Jakarta. Dana untuk pindah yang jelas tidak sedikit itu, bisa dipakai untuk memaksimalkan semua jenjang pendidikan lebih-lebih perguruan tinggi di luar Jawa. Agar tidak terjadi penumpukan manusia di Ibukota karena perkara menuntut ilmu. Itu saja.
Atau karena tak lagi tahan macet, banjir, dan demo berjilid-jilid, baru pengen pindah? Ya ditangani dong. Kan anak-anak Ibukota kan keren-keren, toh? Jangan baper amat lah.
Tapi kalau memang akan tetap pindah ke Indonesia Timur, tolong, sekali lagi tolong, jangan ke Flores, Pak. Ini saya kasih alasan kenapa saya tolak Flores jadi Ibukota Negara.
Pertama, biarkan Flores dikunjungi karena destinasi wisata dan kekayaan budayanya. Biarkan para turis singgah sedikit di Jakarta lalu lanjut tinggal lama-lama di Flores. Tidak seru kalau para turis dari luar negeri langsung ke Flores lalu tinggal lama-lama. Tidak seru. Kasihan Jakarta.
Cukup mantan pacar saja yang menyesal si dia jalan sama yang lain. Jangan mantan Ibukota. Tak ada demo tak seru negara ini. Harus ada demo, meski alasannya sepele.
Jakarta tanpa demo itu sama saja tidak menghargai kekhasan Jakarta. Sebaliknya, Flores dikunjungi karena ada Presiden di situ, itu juga tidak menghargai keunikan Flores. Biarkan Flores jadi tempat orang-orang kota besar datang melepas lelah dan menghabiskan duitnya. Catat ini, Pakde.
Kedua, jangan bikin nasib Flores sama macam Jakarta. Dipindahkan karena macet dan banjir terus, atau macet dan banjir terus karena itu Ibukota?
Cieee, kerut dahi mulai berpikir. Jangan, jangan ya? Jangan bikin Flores macam Jakarta. Flores sudah cukup dengan sarana-prasarana pendidikan dan kesehatan yang tidak memadai.
Jangan bikin tambah susah dengan macet di jalan-jalan. Flores sudah cukup dengan infrastruktur yang belum merata, jangan bikin tambah pening dengan banjir berhari-hari.
Jangan pindah ke Flores lalu pohon-pohon ditebang agar berdiri gedung yang gagah-gagah. Jangan pindah ke Flores lalu hutan-hutan dibabat jadi tempat parkir pejabat-pejabat kaya dari mantan Ibukota. Dana untuk pindah, agar tidak Jawa-sentris, sebaiknya dikucurkan untuk membenahi Flores. Tak perlu sampai punya pikiran ibukota pindah ke Flores.
Ketiga, Flores punya budaya pesta yang tidak baik bagi keseharian Presiden 01 dan jajarannya. Serius. Nikah hari Jumat, tapi musik sudah bunyi dari Kamis pagi, sungguh tidak baik bagi Presiden untuk berpikir menuntaskan janji yang gagal total soal kasus HAM di masa lalu.
Nikah hari Jumat, musik masih bunyi juga sampai Sabtu malam, ini juga tidak baik bagi Presiden 02 untuk berpikir tentang “yang onlen-onlen itu”.
Jaringan internet di sini masih buruk, tidak baik kalau meeting bersama tamu kehormatan terjadi di bukit-bukit agar supaya internet tidak macet. Sungguh sangat tidak lucu. Selain budaya pesta, kebiasaan minum tuak di ruang-ruang terbuka macam pinggir jalan atau emperan toko, juga khas Flores.
Apa jadinya kalau persis di samping istana, pemuda-pemuda tak terlalu atletis Flores minum tuak dari pagi sampai pagi? Kami bahagia dengan cara ini karena politisi sibuk korupsi dan sebar hoaks. Jangan bunuh kegembiraan kami gara-gara di sini Ibukota Negara.
Keempat, sebagai peternak babi, saya takut membayangkan, saya akan bangun pagi sebagai anak Ibukota. Sumpah. Saya takut. Saya takut saya jadi sombong. Saya takut saya tidak sederhana lagi.
Saya takut tidak bekerja keras lagi agar bisa selfie bareng Jokowi karena tinggal jalan kaki saja saya sudah bisa bertemu beliau. Saya takut hidup saya makin gaduh dan teriakan babi di kandang sampai ke telinga Fadli Zon lalu kepala saya dihajar macam Presiden 02 menghajar podium itu.
Untuk alasan-alasan ini, tolong bebaskan Flores dari pencobaan, eh pilihan menjadi Ibukota.
Biar Kakak-kakak di Jawa saja yang jadi anak Ibukota. Kami tidak kuat. Kami hanya kuat merenung betapa sudah sangat menyedihkannya nasib Jakarta lewat layar kaca milik Bos Nasdem itu.