MOJOK.CO – Humor Gus Dur itu setiap belokan-belokannya, jalan menanjak dan turunnya merupakan kehidupannya sendiri. Begitu natural dan alami.
Pertengahan tahun 1990-an, Gus Dur sering bertemu dan runtang-runtung dengan Megawati. Yang satu seorang agamawan cum intelektual dengan jutaan pengikut, yang satu lagi, seorang ibu yang mengalir di tubuhnya darah seorang pemimpin kharismatis pada masanya: Sukarno.
Segera saja duet mereka menerbitkan harapan bagi mereka yang merindukan perubahan. Sebaliknya, jadi bikin susah tidur bagi rezim penguasa dan para begundalnya.
Letjend Syarwan Hamid, yang ketika itu menjadi Kepala Katsospol ABRI bilang kurang lebih begini; ada yang mencoba membayangkan diri seperti Qurazon Aquino dan Kardinal Jim Sin. Jangan coba-coba, katanya mengancam, sebagaimana kebiasaan tentara dari sejak leluhur hingga cucu-cucunya.
Tentu yang dimaksud adalah Mega dan Gus Dur.
Megawati marah karena merasa dipojokkan. Dia menampik dan balik ingin menuntut Syarwan ke pengadilan. Sementara Gus Dur santai.
Ketika ditanya wartawan apakah akan mengikuti jejak Megawati untuk menuntut Syarwan, dia bilang tidak. Jika Syarwan menganggap saya Kardinal Jim Sin dan Mega sebagai Qurazon Aquino, kata Gus Dur, “Saya hanya minta Syarwan untuk menunjukkan siapa kalau gitu Marcos-nya?”
Bedil yang hendak ditembakkan Syarwan langsung macet. Kita tahu, Qurazon Aquino—putri mantan Presiden Benigno Aquino—dan Kardinal Jim Sin adalah dua aktor yang memainkan peran penting dalam revolusi pemakzulan diktator Ferdinand Marcos di Filipina tahun 1996.
Perhatikan bagaimana tajam tanggapan Gus Dur, tapi sama sekali tak ada nuansa kekasaran dan kekerasan di dalamnya. Itulah salah satu kecakapan Gus Dur memainkan humor sebagai perlawanan. Sebuah kecakapan yang tidak ada bandingnya hingga sekarang.
Kita menikmati perdebatan politik yang menarik di atas panggung, yang membakar darah perlawanan tetapi sekaligus tetap dengan senyum.
Di dalam kajian tentang humor Gus Dur, yang dalam waktu dekat ini akan diterbitkan, ini disebut sebagai “… tindak ilokusi. Artinya, sebuah tuturan yang disampaikan dengan tujuan untuk melakukan sesuatu seperti membuat pernyataan, memberi penawaran, menjelaskan, meminta maaf, mengingatkan, melawan, menyerang balik, dan sebagainya.”
Di luar Itu, ada yang disebut humor lokusi, yakni humor-humor yang dibuat dan atau diadaptasi Gus Dur sekadar untuk hiburan, intermezzo, tamba ngantuk, bunga obrolan biar gayeng, centang perenang sebelum tidur, dll.
Beda dengan ilokusi, humor lokusi tak perlu konteks sosial politik untuk memahaminya. Berikut ini satu contoh humor yang dikemukakan Gus Dur di sela sebuah seminar di Jakarta awal 1990an.
Pada hari kiamat, cerita Gus Dur, para lelaki dihimpun oleh Tuhan berdasarkan dua kategori, yaitu “yang takut sama istri” dan “yang berani sama istri”. Yang takut sama istri diminta baris berjejer satu per satu ke belakang di sebelah kanan, sedangkan yang berani sama istri di sebelah kiri.
Maka segeralah para lelaki berbaris sesuai perintah dan statusnya. Ternyata barisan yang takut sama istri panjang sekali, sedangkan yang berani sama istri hanya satu orang. Ya hanya satu orang.
Tentu saja para lelaki yang berada dalam barisan lelaki takut istri itu kagum, salut, dan serentak dengan itu iri pada lelaki satu-satunya yang berani sama istri Itu. Karena kepo, seorang dari mereka kemudian, sembari mengucapkan pujian kekaguman, bertanya apa rahasia dan resep berani sama istri Itu?
“Bung luar biasa, kami kagum. Omong-omong kalau boleh tahu apa resep berani sama istri itu?”
“Yang berani sama istri memang siapa?” lelaki yang ditanya Itu balik bertanya.
“Lha, kan Bung berdiri di sebelah kiri. Berarti kan Bung seorang suami yang berani sama istri!”
“Ah tidak,” bantah lelaki Itu.
“Kalau begitu mengapa Bung berdiri di situ?”
“Saya disuruh istri saya,” jawab lelaki itu dengan suara mengiba dan malu-malu.
***
Demikian mungkin salah satu jenis humor lokusi itu. Dua pembagian jenis humor ini selintas menjelaskan banyak hal berkait hubungan Gus Dur dan humor.
Kendati demikian—jika ditelisik—lebih-lebih bagi mereka yang sedikit banyak mengenalnya, mungkin belum lengkap karena belum menyentuh kehidupan seorang Gus Dur.
Apa sebab? Kehidupan Gus Dur itu setiap belokan-belokannya, jalan menanjak dan turunnya merupakan humor sendiri. Humor dalam pengertian sesuatu yang biasa jadi luar biasa, dan yang luar biasa jadi biasa.
Kisah bagaimana Gus Dur menjadi presiden, melakoni diri sebagai presiden dan kemudian diturunkan sebagai presiden penuh dengan humor pahit dan manis. Gus Dur melakoni kehidupan dengan banyak paradoks, antara dunia yang logis-ilmiah dan hal-hal gaib yang tak masuk akal.
Gus Dur dalam beberapa hal sangat text-book, misal ketaatannya yang penuh pada prinsip manusia harus setara di depan hukum, tapi persis berdiri tegak di situ ia jadi out of the book karena besarnya orang-orang yang terdidik di institusi modern justru tak mampu sepenuhnya menghormati prinsip tersebut.
Berikut ini saya ingin berbagi sedikit cerita sederhana bagaimana humornya sosok Gus Dur ini.
Suatu hari, Gus Dur datang ke Jogja untuk sebuah acara dan seperti biasa seusai acara bertemu dengan teman-teman. Kemudian Gus Dur mengajak kami makan. Pilihannya tak neko-neko, yaitu soto Pak Soleh di Tegalrejo, tak jauh dari Museum Diponegoro dan juga kantor PWNU yang lama. Maka makanlah kami dengan beliau di sana.
Sebagaimana SOP senior-dari-Jakarta-yang-datang-ke-Jogja, maka sudah menjadi kewajiban Gus Dur untuk membayar. Tapi hingga makan kami semua berakhir, tak ada tanda-tanda beliau akan membayar. Alamak, senior atau orang Jakarta macam apa Gus Dur ini!
Biasanya ada seorang senior yang lebih mapan dan atau wakil panitia, menyertai, yang menjadi kasir, tapi entah mengapa, kedua makhluk ini tidak ikut serta. Sementara kami semua waktu itu masih berada dalam gerakan anti-kemapanan. Alias tak seorang pun yang mapan dan sanggup membayar.
Dan tiba-tiba saja Gus Dur pergi. Toh makan sudah selesai. Kami saling berpandangan, dan dengan refleks juga mengikuti ajakannya untuk segera pulang. Tanpa membayar. Ya seolah warung ini koloni kami sehingga boleh ambil apa saja tanpa bayar.
Belakangan saya menyadari Gus Dur memang nggak pernah bawa dompet. Gus Dur tak pernah “menyuap” anak-anak muda dengan mentraktir mereka agar mendukung(gagasan-gagasan)nya. Berbeda dengan “senior-senior” lain, yang bukan hanya mentraktir, tapi juga tak jarang memberi amplop demi dapat dukungan.
Gus Dur jauh dari gambaran demikian. Meski begitu, Gus Dur sama sekali tidak kehilangan dukungan. Anak-anak muda yang mengagumi dan mencintainya terus mendekatinya karena Gus Dur selalu menawarkan ide. Bukan omong kosong. Dan dengan gayanya, ide itu selalu dibawa dengan keriangan. Wahai anak-anak muda yang dibesarkan oleh traktiran para senior, camkan ini ya!
Nah kembali ke soto yang tak dibayar Itu. Besoknya saya diminta senior pergi ke soto Pak Soleh untuk membayar. Saya matur ke Pak Soleh langsung yang duduk sarungan pakai peci di meja kasir tentang peristiwa makan-makan bareng Gus Dur yang belum dibayar kemarin.
Setelah saya matur, begini kurang lebih jawaban Pak Soleh dalam bahasa Jawa ngoko:
“Wualah, Mas. Gus Dur dhahar neng kene ki wis alhamdulillah… ntu’ barokah. Ora usah mbayar, mben dino ya rapopo.”
(Walah, Mas. Gus Dur makan di sini saja sudah alhamdulillah… dapat barokah. Nggak usah bayar. Setiap hari begini juga nggak apa-apa)
Saya hanya melongo mendengar tanggapan itu.
Lalu lanjut Pak Soleh, “Sampeyan wis dhahar durung?”
(Kamu sudah makan belum?)
Belum lagi saya menjawab, Pak Soleh bilang, “Dhahar sik.”
(Makan dulu)
Sembari meminta pelayannya untuk menyuguhkan soto.
Hari itu saya makan soto lagi, dan seperti kemarin: gratis. Lantas saya membayangkan, kalau saja Gus Dur tahu kejadian saya membayar sotonya ini, sepertinya beliau bakal tersenyum dan tertawa ngekek. Sebab, bahkan dengan hanya melibatkan namanya saja, hidup ini rasanya sudah jadi humor itu sendiri.
Menyenangkan dan—sekaligus—mengenyangkan.
BACA JUGA Kegagalan demi Kegagalan Gus Dur dan tulisan menarik Mas Hairus Salim lainnya.