Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Hilangnya La Nyalla Mattalitti, Hilangnya Sandal Pak Kiai

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
17 April 2016
A A
Hilangnya La Nyalla Mattalitti, Hilangnya Sandal Pak Kiai

Hilangnya La Nyalla Mattalitti, Hilangnya Sandal Pak Kiai

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Sandal kamu pernah tiba-tiba hilang di masjid?

Ketika semangat hendak mau pulang setelah sembahyang, kamu ingat meletakkan sandalmu di mana, tapi waktu dicari-cari sandalmu benar-benar tidak ada. Dan karena ogah pulang nyeker, lalu di kepalamu muncul ide ini:

“Sandal ane ilang, berarti ane harus pinjem sandal orang lain nih.”

Pernah?

Di pesantren, hal semacam itu lumrah terjadi. Aksi perpindahan kepemilikan barang ini punya istilah sendiri. Ghosob namanya.

Ghosob secara sederhana berarti meminjam barang orang lain tanpa minta izin sama si empunya barang. Beda dengan mencuri, dalam ghosob selalu ada niat khusus bahwa barang yang diambil bukanlah untuk dimiliki, tapi dipinjam. Ya, hanya dipinjam. Artinya ada niat nanti suatu saat mau dikembalikan.

Nah, niat inilah yang mungkin dibaca oleh Hakim Tunggal Yang Terhormat, Ferdinandus, dalam salah satu dari dua dasar pembatalan penetapan tersangka oleh Kejati Jawa Timur kepada Ketua Umum PSSI: La Nyalla Mattalitti, 12 April lalu.

Sebelumnya, pada tanggal 16 Maret, La Nyalla disangka oleh Kejati Jatim menerima dana hibah Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur pada tahun 2012. Negara dianggap rugi uang sebesar  lebih dari 5 miliar. Tidak terima dianggap korupsi, pihak La Nyalla kemudian mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangkanya.

Gugatan ini kemudian sukses membuat La Nyalla terbebas dari status tersangka. Paling tidak untuk sementara.

Di poin pertama keputusan praperadilan, Pak Hakim Praperadilan menganggap bahwa alat bukti yang digunakan untuk menyangka La Nyalla sudah pernah digunakan untuk menjerat Diar Kusuma Putra dan Nelson Sembiring, dua terpidana yang ada di kasus yang sama.

Nah, di poin kedua, Pak Hakim menilai bahwa tidak ada kerugian negara dalam kasus ini.

Lho? Lho? Kok bisa?

Jebule, sebelum kasus ini mengemuka, La Nyalla sudah mengembalikan semua dana yang diduga dikorupsi itu secara bertahap. Jadi, menurut Pak Hakim, jika uang negara dikembalikan sebelum penyidikan dan penyelidikan dimulai, hal itu bukan lagi perkara pidana. Emejing!

Dinilai dari perspektif “hukum pesantren”, yang dilakukan Pak La Nyalla bukanlah korupsi, suap, atau tindakan penyelewengan uang negara, tapi cuma ya ghosob tadi. Meminjam uang negara sebentar, untuk kemudian dikembalikan.

Iklan

Dan sebagaimana yang telah dijelaskan di paragraf awal tadi, karena ghosob, jadi Pak La Nyalla enggak perlu izin sama empunya pemilik uang negara, yakni rakyat.

Namun, aktivitas ghosob seperti La Nyalla ini bukannya tidak meninggalkan masalah. Bahkan sekalipun bagi warga di lingkungan pesantren yang sudah terbiasa dengan aktivitas ini. Dalam beberapa situasi dan kondisi, ghosob kadang masih dianggap sebagai sesuatu yang meresahkan. Baik bagi santri maupun bagi Pak Kiai sebagai pengasuhnya.

Salah satu contohnya adalah kejadian nyata yang menimpa Kiai di salah satu pesantren cukup terkenal di Sragen, Jawa Tengah.

Alkisah, pada suatu malam ba’da salat Isya berjamaah di masjid, para santri melihat ada yang berbeda dari cara jalan Pak Kiai. Setelah diperhatikan dengan saksama, ternyata malam itu Pak Kiai berjalan tanpa alas kaki alias nyeker dari pelataran masjid ke kediamannya yang hanya berjarak 10-an meter.

Ini unik, sebab biasanya santri atau ustad yang kehilangan sandal di masjid lalu pulang nyeker. Tapi kali ini momen tersebut menimpa Pak Kiai.

Para santri yang melihat itu mungkin membatin: “Geblek amat ada anak ngambil sandalnya Pak Kiai. Ghosob sih ghosob, tapi ya mbok diperhatiin dulu itu barang siapa yang punya.”

Pak Kiainya juga mungkin senewen: “Iki mesti bocah guobloke ora ketulangan!”

Meski demikian, Pak Kiai merasa hal tersebut masih dalam kategori wajar. Toh, blio juga dulunya pernah mondok, jadi hal-hal beginian sudah dianggap sebagai risiko yang tak asing. Pak Kiai berpikir sandalnya akan ketemu sendiri nantinya. Blio pun membeli lagi sandal jepit baru dan kembali digunakan untuk ke masjid.

Sehari dua hari sandalnya yang lama enggak ketemu-ketemu juga. Dalam budaya ghosob, hal yang lumrah jika barang yang di-ghosob baru akan dikembalikan jika sang pemilik memergoki si pelaku sedang memakai barangnya. Selama barang yang di-ghosob belum ketemu, si pelaku bisa terus memakainya sesuka hati.

Dalam penantian Pak Kiai terhadap pelaku ghosob sandal jepitnya itu, lha kok ndilalah sandal barunya ikutan raib juga di pelataran masjid. Kejadian ini tidak berhenti di sandal jepit kedua, tapi juga sandal-sandal jepit Pak Kiai berikutnya. Hingga suatu ketika, blio melihat salah satu sandalnya dipakai oleh santrinya sendiri.

“Le, coba lihat sandalmu itu?”

Si anak dengan santai menunjukkan sandal tersebut ke Abah-nya. Si Abah memerhatikan dengan seksama ciri-ciri sandal jepit yang pernah ia punya. Lho kok mirip, batinnya.

“Ini sandalmu atau kamu dapet darimana, Le?” tanya Si Abah atau Pak Kiai.

“Enggak tahu, Bah. Dapet di tempat wudhu pondok putra,” jawab si santri.

“Kayaknya ini sandalnya Abah dulu deh, lha tapi kok ada nama kamu di sini?”

“Hehe, aku tulisin sendiri biar enggak ilang.”

Mendengar penjelasan tersebut, Pak Kiai mengira mungkin para santri tidak tahu kalau sandal yang di-ghosob adalah sandal miliknya karena tak ada namanya di sandal tersebut. Pak Kiai lalu mengambil spidol kemudian menuliskan sesuatu di alas sandal jepitnya yang baru. Ditulisnya: “Abah”.

Benar saja. Berhari-hari kemudian sandal Pak Kiai aman sentosa dari ghosob. Tak ada satupun santri yang berani mendekati sandal yang telah bertuliskan kata “Abah” tersebut.

Tapi kekuatan nama tersebut hanya bisa bertahan tidak lebih dari dua minggu, hingga akhirnya kalah juga oleh budaya ghosob di pesantren tersebut.

Pak Kiai kembali mangkel. Selang beberapa waktu, persoalan sandal yang di-ghosob tadi akhir terjawab ketika Pak Kiai lagi-lagi mengenali sandal yang dipakai salah satu santrinya yang lain.

“Le, coba lihat sandalmu itu?”

Si santri tadi dengan santai menunjukkan sandalnya. Betapa terkejutnya Pak Kiai ketika melihat bahwa di alas sandalnya tertulis dengan jelas: “Abah”.

“Oalah, berarti kamu tho Le, yang ‘ghosob’ sandalnya Abahmu ini…” kata Pak Kiai.

“Lho? Bukan, Bah. Bukan aku…” santri tersebut membela diri.

“Lha siapa lagi? Jelas-jelas kamu bawa sandal yang ada tulisan ‘Abah’ kok.”

“Duh, jadi Abah selama ini enggak tahu, ya?” si santri tersebut mendadak bertanya.

“Enggak tahu apa emangnya?” Pak Kiai bingung.

“Iya, Abah enggak tahu kalau seluruh sandal santri putra tuh semuanya ditulisin ‘Abah’…”

Mendengar jawaban si santri tersebut, Pak Kiai makin mesem.

Pak Kiai yang judek ndase ini mungkin sama judek-nya dengan Kejati Jatim yang bingung dengan keputusan hakim praperadilan, terutama mengenai uang yang dikembalikan La Nyalla karena enggak jadi dianggap korupsi itu.

Kejadian ‘ghosob’ La Nyalla ini sedikit mirip dengan kasus Idham Samawi yang pernah juga mengembalikan duit kerugian negara di tahun 2014 lalu sehingga terbebas dari sangkaan korupsi. Mantan Bupati Bantul ini pernah hampir saja terjerat kasus dugaan korupsi soal dana hibah klub Persiba Bantul pada 2011.

Nominalnya tidak main-main, lebih dari 11 miliar duit yang harus diganti agar Idham bisa terlepas dari jeratan sangkaan kasus korupsi.

Seperti halnya budaya ghosob di pesantren, barangkali La Nyalla dan Idham merasa bahwa “meminjam” uang negara itu tidak masalah asalkan nanti ada niat untuk dikembalikan. Pertanyaannya kemudian: Jika tuduhan korupsi tersebut tidak muncul, apakah niat mengembalikan itu benar-benar ada?

Oke, urusan niat memang bukan wilayah kita. Itu urusannya manusia sama Tuhannya masing-masing. Tapi kan—meminjam kata-kata santri di atas:

“Ghosob sih ghosob, Pak. Tapi ya mbok pikir dulu itu barang siapa yang punya. Itu kan uang rakyat! Bukan punya simbahmu!”

Terakhir diperbarui pada 20 Juli 2017 oleh

Tags: ghosobkorupsiKoruptorla nyalla mattalittiPSSIsepakbola
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

korupsi politik, budaya korupsi.MOJOK.CO
Ragam

Budaya Korupsi di Indonesia Mengakar karena Warga “Belajar” dari Pemerintahnya

16 September 2025
nadiem makarim, pendidikan indonesia, revolusi 4.0.MOJOK.CO
Aktual

Kasus Nadiem Makarim Menunjukkan Kalau Lembaga Pendidikan Sudah Jadi “Inkubator Koruptor”

8 September 2025
Ketum PSSI Erick Thohir dan Gubernur Jateng Ahmad Luthfi bahas soal Liga 3 dan Liga 4 di Jawa Tengah MOJOK.CO
Kilas

Liga 3 dan 4 bakal Bergulir di Jawa Tengah, Bina Bakat-bakat Muda dari Desa…

8 Agustus 2025
Kalau gue jadi Patrick Kluivert, gue nggak mau menjadi pelatih Timnas Indonesia gantikan Shin Tae Yong karena Ketum PSSI Erick Thohir problematik MOJOK.CO
Ragam

Kalau Jadi Patrick Kluivert Gue Nggak Mau Kerja sama Erick Thohir yang Interview Kerja di Hari Raya, Tak Punya Value dan Tak Tahu Batas

9 Januari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.