Tragedi bom Samarinda sungguh menguras air mata saya sebagai seorang ibu dengan satu anak yang seumuran Intan Olivia. Membayangkan jadi mamanya, tak hanya sedih, bahkan rasanya ingin bertukar nyawa jika boleh. Ingatan saya pun melayang pada teman-teman sepermainan anak saya saat kami tinggal di Manado. Teman bermain yang mayoritas beragama Kristen, yang sering bermain di rumah saya lengkap dengan anjing peliharaannya menunggu di luar rumah. Tinggal di lingkungan dengan mayoritas beragama Kristen, otomatis teman bermain anak saya adalah anak-anak Sekolah Minggu atau Pondok Gembira. Saat bermain pun mereka kerap menyanyikan lagu-lagu anak Sekolah Minggu. Salah satu yang saya ingat seperti, “Hari ini harinya Yesus, mari kita bersuka ria….”
Khawatir anak saya hafal lagunya? Sedikit. Tapi, apalah arti kekhawatiran itu jika memang anak saya bergembira bersama mereka. Kegembiraan tanpa bahasa perbedaan. Yang ada hanyalah anak-anak yang asyik bermain sambil bernyanyi dan tertawa bersama.
Dua tahun tinggal di Manado adalah kenangan paling menyenangkan. Orang Manado terkenal ramah dan bergaya hidup santai, tersenyum dan bertegur sapa saat saling bertemu walau tak saling kenal. “Selamat sore”, “selamat pagi”, “selamat siang” disertai senyuman kerap dilontarkan anak-anak maupun orang dewasa saat berpapasan jalan. Dan yang tak kalah penting, mereka selalu menomorsatukan penampilan. Maka, banyak jargon yang menggambarkan gaya hidup Orang Manado, seperti “Biar rumah so mo rubuh mar gaya tetap nomor satu” atau “Biar kalah nasi yang penting nyandak kalah aksi”.
Kebetulan saya tinggal di sebuah perumahan dengan empat rumah peribadatan yang berbeda. Gereja Masehi Injil di Minahasa (GMIM), Gereja Advent, Gereja Pantekosta, dan sebuah masjid. Kami terbiasa dengan riuhnya suara kegiatan ibadah dari masing-masing tempat ibadah tersebut. Bagi jemaat GMIM, hampir setiap sore ada pengumuman melalui TOA dari rumah seorang pendeta tentang ibadah malam hari di rumah salah seorang jemaat. Setiap Subuh bersamaan dengan azan salat Subuh dari masjid, terdengar pula ceramah pendeta Pantekosta melalui TOA. Adapun Gereja Advent tidak pernah saya mendengar pengumuman atau kegiatan ibadah melalui TOA. Harmoni kehidupan sehari-hari sungguh indah dan nyaris tanpa gangguan. Jika saya ceritakan semua kehidupan indah dalam perbedaan di Manado, buku diary saya bakal penuh.
Berbeda dengan ketiga gereja yang berdiri megah di beberapa sudut gagah perumahan, terdapat sebuah masjid yang letaknya nyempil. Masjid kecil setengah tembok, setengah tripleks dan beratap seng tanpa plafon. Terletak di tanah menjorok ke bawah di tepi sungai, di situlah lahan yang disediakan oleh developer perumahan untuk rumah ibadah umat islam. Secuil tanah di pinggir sungai itu pada awalnya dipermasalahkan. Warga perumahan berdalih tanah itu disediakan developer untuk lahan olahraga. Setelah melalui proses perjuangan panjang warga muslim di perumahan, akhirnya tanah tersebut sah mengantongi IMB sebagai bangunan masjid. Itu berkat kemenangan pasangan walikota non-muslim yang didukung umat muslim di perumahan, serta lobi takmir masjid tentunya.
Lepas dari itu, harmoni kehidupan tetap berjalan indah beriringan. Pada saat Natal, anak-anak muslim ikut merayakan dengan berpesiar (bertamu) ke rumah-rumah umat Kristen demi mendapat angpau, dan saat Lebaran Idul Fitri, anak-anak Kristen ganti berpesiar ke rumah-rumah umat muslim demi mendapat angpau. Orang dewasa saling berkunjung saat Natal dan Lebaran Idul Fitri. Hari raya agama adalah juga hari pesiar bersama. Saya yang muslim turut merasakan kegembiraan yang sama baik saat Natal maupun Idul Fitri.
Ada satu kisah yang tak pernah saya lupa tentang seorang anak Kristen di perumahan saya. Setiap sore saya mengajar ngaji di masjid. Bersama buah hati saya, kami berjalan menyusuri dua blok untuk sampai ke masjid. Hampir setiap rumah memelihara anjing hingga saya terbiasa menghadapi gonggongan maupun serangan anjing. Cukup ambil batu, anjing pun menyingkir.
Tapi, ada satu rumah di dekat masjid yang memelihara anjing yang belum jinak. Jika orang yang lewat di muka rumah itu tidak dikenalnya, anjing galak itu akan mengejar orang tersebut.
Saat kami melintas suatu sore, anjing galak itu sedang berada di muka rumah tuannya. Saya dan anak saya beringsut mundur hendak memutar jalan. Tapi, seorang anak Kristen sekira umur 7 tahun menyapa saya dan menawarkan untuk mengantar ke masjid agar tidak diganggu anjing. “Mari jo, jalan deng kita, nyandak apa-apa kwa,” katanya.
Saya pun berjalan dengannya melewati anjing galak tersebut dengan santai. Besoknya, lusa, dan seterusnya, anak yang saya tak sempat tahu namanya itu selalu menunggu saya di depan rumahnya dan sedia mengantar saya hingga ke masjid. Hingga kemudian anjing galak itu diikat rantai oleh majikannya karena mungkin banyak yang komplain.
Anak-anak selalu punya bahasa yang indah untuk menunjukkan kepeduliannya. Hanya orang dewasa yang kadang terlalu turut campur dalam mengatur perilakunya. Untuk tidak dekat dengan anak nakal yang itu, untuk menjauhi si anu, dan untuk bergaul dengan yang ini saja. Lalu beranjak dewasa mulai memaknai perbedaan adalah untuk dilenyapkan. Bukankah lebih baik jika anak dibiasakan menerima perbedaan sebagai bukti kuasa Tuhan.
Di Manado, saya menyaksikan rangkaian indahnya perbedaan sebagai pelangi kehidupan. Maka pemandangan sore anak berlarian pulang mengaji berbaur dengan anak Pondok Gembira adalah pemandangan indah yang sulit ditemukan di belahan dunia lain.
Mengingat kejadian yang menimpa Intan Olivia dan beberapa anak korban ledakan Samarinda lainnya, rasanya Tuhan ingin mengingatkan. Bahwa korbannya adalah anak yang tak berdosa itu mampukah menampar perasaan sesal para “pejuang pengkapling surga”. Intan Olivia telah pergi, gambarnya bersayap malaikat menghiasi foto profil di medsos. Sedang teman bermainnya yang kini masih berjuang melawan pedihnya luka bakar akan tetap menanggung luka sepanjang hidupnya. Semoga banyak keajaiban hidup yang akan dianugerahkan Tuhan kepada mereka.
Amin.