MOJOK.CO – Hari kesehatan mental sedunia diperlukan agar orang paham serta mengerti betapa depresi itu bisa sebegitu berbahaya dan mengerikan.
Persis baru saja kemarin, tanggal 10 Oktober, kita memperingati hari kesehatan mental sedunia dan tak banyak orang yang menyadarinya.
Saya mengerti, seperti perayaan dan peringatan lain yang sejenis, hari kesehatan mental sedunia sering diabaikan karena dianggap itu sekadar seremonial, kosong, dan tak punya nilai guna.
Berbeda dengan hari lain yang lebih politis ramai seperti 30 September atau 11 Maret, di Indonesia kesehatan mental kerap diabaikan karena ia tak menunjukkan gejala di tubuh atau tak ada memori kolektif terhadapnya.
Meski begitu, tanggal 10 Oktober, hari kesehatan mental sedunia jadi sangat penting bagi saya sejak tahun lalu. Tiga kali dipecat, tak punya tabungan, bergantung pada orang lain, kehilangan semangat, dan putus dari pasangan membuat hidup demikian susah untuk dijalani.
Semua itu lantas sempat mendorong saya untuk melakukan tindakan menyakiti diri sampai percobaan bunuh diri.
“Lha kok perkara putus aja bikin depresi sampai ingin mati? Kayak nggak ada cewek lain saja.”
Perkara semacam ini mungkin lahir bahwa depresi, kecemasan, atau gangguan kesehatan mental harusnya berasal dari problem yang dianggap publik gawat. Seperti menjadi penyintas bencana, baru saja lolos dari percobaan pembunuhan, atau baru saja dipecat setelah 10 tahun bekerja.
Padahal ya patah hati—seperti juga gangguan stabilitas hidup lain—sama menyakitkannya. Hanya, beberapa dari kita menganggap pasangan mudah diganti, sementara kematian atau pekerjaan bisa susah dicari.
Pada hari kesehatan mental dunia kali tersebut saya ingat betapa putus, berpisah, atau ditinggal pasangan itu ternyata benar-benar bisa mengguncang jiwa kita. Dan setiap goncangan jiwa bisa berpotensi untuk melahirkan kecemasan dan pada akhirnya depresi.
Hanya mereka yang pernah ditinggalkan, mereka yang putus, mereka yang ditinggal pasangan yang tahu rasanya sebagian dari hidupmu hilang. Sebagian dari tubuhmu, di dada kiri, terasa perih dan kosong karena orang yang mengisi tempat itu tak lagi ada. Jika ini terjadi, depresi bisa jadi sangat dekat.
Terkadang depresi terasa seperti pasangan yang peduli. Ia membawamu ke tempat tidur, ia membuat kamu merasa aman di bawah selimut, itu membuat kamu percaya bahwa dunia adalah tempat yang kejam dan satu-satunya tempat yang tepat untukmu adalah di kamar sendiri. Terkadang depresi terasa seperti teman lama.
Ia membantu untuk tetap di kamar, bermain video game selama berjam-jam, memberitahumu untuk menghindari tanggung jawab, dan membuatmu makan di tempat tidur pada jam 3 pagi, telanjang, dan kemudian tertawa setelah pesta menonton serial yang sama untuk kesekian kalinya.
Kamu sadar dan tahu bagaimana depresi memperlakukan hidupmu. Kamu mengenalinya apa adanya, karena ia dekat, kamu tahu apa akibatnya bagimu, kamu tahu betapa merusaknya kebiasaan ini, tapi rasanya begitu indah, begitu nyaman, begitu mudah untuk masuk kembali, dan mau tak mau kamu tertarik pada pelukan depresi itu.
Aku berharap kamu bisa menyadari bahwa perilaku destruktif ini hanya akan membuatmu makin menderita. Untuk itu ingin rasanya berbagi bagaimana cara saya bisa bertahan hidup dan menghadapi patah hati.
Meski begitu, kamu juga harus tahu sebelumnya, saya ingin mengingatkan, saya bukan profesional. Jika kamu merasa demikian menderita dan sesak, kamu harus cari bantuan profesional, psikolog, psikiater, atau siapapun yang bisa membantumu lebih baik secara langsung. Bukan hanya lewat tulisan beginian saja.
Tahun lalu ketika berpisah tepat di hari kesehatan mental sedunia, saya mencoba menulis, menulis apa saja yang dirasakan. Dari sana, saya lantas berusaha mencari tahu asal usul perasaan itu, memberikan nama pada perasaan cemburu, gelisah, marah, dan benci itu.
Setelah lebih tenang, saya menuliskan harapan-harapan yang saya miliki. Dengan begini saya tak lagi bingung atau cemas, saya tahu apa yang dirasakan, dan tahu apa sumbernya, dan apa yang harus dilakukan.
Bagaimana jika hubungan yang kita tinggalkan lahir dari perilaku abusive? Saya kira ini ranah psikolog dan hanya mereka yang bisa menjawab. Meski demikian saya ingin kamu tahu, hidup dalam hubungan abusive bukan salahmu.
Kamu tak pernah salah karena hidup dalam moda menyintas. Seringkali ada perasaan menyalahkan diri karena bertahan dalam hubungan yang buruk. Sikap jahat orang lain membuat kita merasa kurang, merasa buruk, dan yang terburuk menghancurkan kepercayaan diri.
Jika kamu baru saja keluar dari hubungan beracun macam itu. Saya ingin kamu tahu bahwa kamu telah melakukan hal yang benar. Kadang ada beberapa hubungan yang dibangun dengan niat baik, sikap tulus, komunikasi yang sehat tapi berujung pada perpisahan.
Ini bukan berarti kamu salah, kamu tak layak dicintai, atau kamu invalid. Tapi karena kamu memilih untuk memprioritaskan diri sendiri, maka kamu tahu bahwa berpisah adalah cara paling baik dan masuk akal.
Meski hari kesehatan mental sedunia sudah lewat satu hari ini, saya tetap merasa penting untuk memberikan semangat pada kalian yang sedih karena berpisah. Saya berharap kamu tak jatuh dalam depresi atau yang terburuk mencoba mengakhiri hidup.
Ada banyak cara untuk bisa memaknai hidup. Melekatkan kebahagiaan diri pada orang lain bukanlah cara yang benar. Saya tahu betul rasanya kesepian, perihnya ditinggalkan, dan ditolak untuk kembali memulai hubungan romantik. Tapi itu proses pendewasaan dan kadang ia menyebalkan.
Jika kamu merasa bahwa pasanganmu baik, perpisahan kalian dirasa tak seharusnya terjadi, berdoalah atau lakukan apapun yang kamu bisa untuk menyelamatkan hubungan itu. Sementara menunggu, saya ingin kamu merayakan hidup. Sebisanya. Segembira-gembiranya.
Hal yang setidaknya dimulai dengan tak perlu menunggu hari kesehatan mental sedunia tahun depan. Kamu bisa kok memulainya dari sekarang: sehari setelah peringatan hari kesehatan mental sedunia.
Soalnya, mental yang sehat bukan hanya perlu setiap tahun tapi juga perlu dijaga tiap detiknya.
BACA JUGA Mojok Telah Menyelamatkan Saya dari Depresi dan Esai-esai lainnya.