MOJOK.CO – Tudingan kalau memperingati Asyura bakal dianggap Syiah itu jauh panggang daripada api. Betapa absurd tudingan sembrambangan ini.
Setiap memasuki bulan Muharram, segelintir umat muslim di Indonesia mulai waswas. Mubalig-mubalig anti-Syiah memenuhi mimbar-mimbar secara provokatif menyatakan permusuhan dan kebencian pada peringatan Asyura yang disebut menyerupai ajaran Syiah.
Mereka juga menyebar secara masif tulisan-tulisan baik secara online, jurnal, sampai selebaran untuk dibaca umat muslim agar menjauhi dan mewaspadai peringatan Asyura karena berkaitan dengan ajaran Syiah.
Tudingan yang kerap kali mereka (tak perlu saya sebut nama komunitas ini, kamu bisa klik sendiri) sampaikan sebenarnya jauh panggang daripada api. Saya memiliki banyak kegelisahan mengenai absurdnya tudingan tersebut.
Pertama, peringatan Asyura merupakan cara Syiah mempromosikan ajarannya.
Perlu saya tekankan, peringatan Asyura bukan hanya milik Syiah, namun juga milik umat Islam keseluruhan, bahkan milik seluruh umat manusia yang masih memiliki naluri kemanusiaan.
Asyura diperingati untuk mengenang peristiwa tragis yang merenggut nyawa Imam Husein As., cucu Nabi Muhammad Saw., di Padang Karbala. Pada 10 Muharram 61 H, Imam Husain beserta keluarga dan para pembelanya dibantai oleh ribuan pasukan atas perintah Yazid bin Muawiyah.
Dengan terjadinya peristiwa yang mencoreng sejarah Islam ini, apa salahnya untuk kemudian diperingati? Lagipula, Al-Quran sendiri sarat dengan kisah-kisah masa lalu dengan tujuannya agar diingat dan diambil darinya ibrah dan pelajaran.
Dan tentu saja kisah-kisah umat terdahulu yang bisa diambil ibrahnya bukan hanya yang terdapat dalam Al-Quran saja, namun juga kisah-kisah umat terdahulu secara keseluruhan termasuk pasca-turunnya Al-Quran.
Kalau pesantren-pesantren meminta santri-santrinya mengadakan haul setiap tahunnya untuk memperingati wafatnya sang kiai pendiri pesantren, kalangan habaib pun tak anggap persoalan ketika memperingati haul habib-habib yang dianggap punya pengaruh besar.
Setiap keluarga juga sah-sah saja memperingati setiap tahun kematian anggota keluarga yang penting dan negara boleh-boleh saja memperingati hari Pahlawan. Lantas mengapa memperingati haul dan hari kesyahidan cucu Nabi menjadi dilarang?
Tak ada satu pun kelompok Islam yang memungkiri terjadinya tragedi Asyura. Tidak ada sejarawan Islam yang menolak memberi pengakuan bahwa memang kepala Imam Husain dipenggal, dipisahkan dari tubuhnya, diarak, dan dipersembahkan kepada Yazid bin Muawiyah.
Dengan kematian yang sedemikian tragis, salahkah jika peristiwa tersebut diperingati untuk disampaikan kepada setiap generasi muslim, bahwa sejarah Islam pernah ternoda? Kalau muncul pertanyaan kenapa diperingati, ya agar umat Islam tidak mengalaminya lagi. Sesederhana itu.
Lah wong sudah diperingati saja, masih tetap terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah sesama muslim kok, apalagi jika kisah Asyura ini sengaja ditutup-tutupi.
Ada beban sejarah yang harus dipikul umat Islam untuk menceritakan peristiwa tragis ini kepada umat di setiap generasi. Agar umat Islam tidak menjadi umat yang kehilangan sejarahnya.
Kedua, mengadakan peringatan Asyura tidak ada contohnya sehingga terhukumi bid’ah dhalalah, bid’ah yang sesat.
Dalil penolakannya secara umum sama dengan dalil penolakan terhadap peringatan Maulid Nabi dan peringatan hari-hari besar Islam lainnya. Karena itu, menjawab poin kedua ini sama jawabannya ketika memberikan argumen akan kebolehan mengadakan Maulid Nabi.
Peringatan Asyura tidak ada contohnya, tapi ada anjurannya. Sebab, hari Asyura adalah di antara hari-hari Allah. “Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5).
Para mufasir sepakat menafsirkan hari-hari Allah adalah hari-hari agung dengan segala rangkaian peristiwa dan kejadian yang diciptakan Allah sejak penciptaan bumi dan langit hingga hari kiamat. Terdapat banyak kesamaan dari peristiwa Karbala dengan yang dialami umat-umat terdahulu yang diceritakan dalam Al-Quran.
Pada peristiwa Karbala juga terdapat kelompok yang setia mengikuti kebenaran, kelompok yang mendengarkan dan mengikuti ajakan dan seruan Imam Husain as meski jumlahnya hanya segelintir, meski terdapat juga kelompok durhaka.
Dengan tidak ada pemungkiran bahwa hari Asyura termasuk di antara hari-hari Allah, yang dari Al-Quran ditegaskan untuk mengingatkan umat kepada hari-hari Allah, maka memperingati hari Asyura menjadi sebuah keniscayaan.
Karenanya sangat mengherankan jika ada kelompok Islam yang melarang-larang bahkan fobia terhadap peringatan Asyura. Bisa tidak sepakat terhadap diadakannya peringatan Asyura, tapi jangan sampai pada tingkat melarang apalagi mempersekusi peringatan Asyura.
Silakan tidak sepakat dengan cara Syiah memperingati Asyura, tapi jangan memprovokasi untuk jangan mengingat peristiwa tragis yang terjadi di Karbala, apalagi sampai mengidentikkan bahwa yang memperingati Asyura sudah pasti Syiah.
Silakan tidak sepakat dengan cara Syiah memperingati Asyura, tapi jangan mengatakan bahwa peringatan Asyura adalah kesia-siaan, tidak ada gunanya dan haram. Apalagi sampai membuat puisi segala, bahwa hari Asyura adalah hari kebahagiaan.
Ketiga, mengapa yang diperingati hanya syahidnya Imam Husain? Padahal ayahnya, Imam Hasan, saudaranya, juga syahid dan lebih layak diperingati, mengapa tidak diperingati?
Oke, saya jawab.
Di Iran tempat saya menetap sementara ini, hari-hari wiladah 14 maksum (Nabi Muhammad, Sayidah Fatimah, dan ke-12 imam) serta hari syahadah mereka yang telah tutup usia diperingati secara nasional bahkan pada kedua hari tersebut (wiladah dan syahadah). Pemerintah Iran pun menetapkannya secara nasional sebagai hari libur.
Begitu juga komunitas Syiah di negara lainnya, meski tidak diperingati secara nasional sebagaimana di Iran.
Jadi anggapan bahwa Syiah hanya memperingati syahidnya Imam Husain itu tidak benar. Memang peringatan syahadah lainnya tidak sesemarak peringatan Asyura sebab peristiwa syahidnya Imam Husain memberi pelajaran sedikit lebih kompleks dimensinya.
Madrasah Karbala mengajarkan bagaimana sikap muslim bersikap ketika diperhadapkan dengan tragedi dan kezaliman. Bagaimana untuk bisa tetap konsisten ketika banyak penyelewengan dari penguasa, dan bagaimana untuk tetap setia pada pemimpin meski dalam kondisi kritis.
Berbeda dengan syahadah 10 imam lainnya, syahadah Imam Husain disertai 72 orang pembelanya yang turut mereguk cawan syahadah bersama imamnya. Dengan spektrum yang lebih luas, wajar jika peringatan Asyura yang diadakan umat Islam Syiah jauh lebih ramai.
Dan hanya karena lebih ramai, bukan berarti peringatan Asyura itu berdiri sendiri. Sebab, mentang-mentang peringatan lainnya tidak disiarkan oleh media internasional, bukan berarti haul Nabi Muhammad saw, haul Sayidah Fatimah, atau haul 10 imam Syiah lainnya tidak diselenggarakan.
Di sini saya justru penasaran. Hanya dengan memperingati haulnya Imam Husain saja sudah menyebut sebagai promosi ajaran Syiah, sampai harus koar-koar mengharamkan, bagaimana kalau muslim Syiah di Indonesia juga memperingati haul Nabi Muhammad lantas peringatan itu jadi mendadak dianggap hanya punya komunitas muslim Syiah saja?
Duh.
Baru tahu saja, menjadi Syiah itu begitu mudah. Cukup mau peringati Asyura, weladalah… langsung auto-Syiah.
BACA JUGA Syiah Bukan Islam, Sunni Juga Bukan atau tulisan soal Syiah lainnya.