MOJOK.CO – Kerajaan Arab Saudi berencana akan izinkan berdirinya tempat dugem. Tentu aturannya ketat, bahkan dari namanya pun udah kelihatan: Halal Night Club.
Di saat orang-orang masih mantengin Sidang MK, tercengang dengan kebijakan Anies Baswedan soal reklamasi, atau kaget melihat 10.000 subscriber sebagai syarat masuk jalur prestasi sebuah universitas, saya mau membagikan informasi yang wajib kamu ketahui. Karena, demi kepentingan umat khususnya Islam di seluruh dunia.
Arab Saudi akan membuka kelab malam pertama. Dan mereka menyebutnya sebagai HALAL NIGHT CLUB.
Iya, kamu tak salah baca. Tiga kata tersebut memang benar adanya. Tiga kata yang menjadi anomali dari sebuah negara yang punya aturan ketat soal hal beginian.
Sebenarnya sih tak perlu heran. Kalau ada yang bilang musik dilarang di Arab Saudi, berarti mainmu kurang jauh. Jangan-jangan yang bilang begitu, ngertinya Arab Saudi cuman dua kota yaitu Mekkah dan Madinah.
Padahal, ada kota seperti Jeddah dan Riyadh yang mana orang-orangnya juga doyan mengonsumsi musik dan semacamnya. Dan—sebagai informasi tambahan—Halal Night Club ini nanti rencananya akan dibangun di tepi pantai Jeddah.
Jangan kamu bayangkan musiknya bakal membosankan, genre musiknya pun cadas gila: Black Metal, cuy. Bisa kamu bayangkan orang-orang Arab Saudi yang dalam stigma kita selalu berzikir tapi malah ngegrowl macam hoek hoek gitu?
Menurut pemiliknya, Tony Habre, Arab Saudi memiliki pasar yang bagus karena orang-orang lokal sana emang doyan hangout. Weh, berarti pembangunan ini benar-benar berdasarkan riset yang cukup oke dan nggak main-main dong?
Barangkali si pemilik melihat kelab yang dia punya di Dubai dan Beirut pengunjungnya banyak yang berasal dari orang-orang Arab Saudi, maka apa salahnya bikin di negeri Arab Saudi sekalian? Lagian, ngapain bikin repot semut kalau kamu bisa buka toko gula di depan sarangnya kan?
Lalu, pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana lobi si Tony Habre ini agar negara Islam kayak Arab Saudi bersedia buka night club? Ya jelas dong, dikasih nama yang islami: Halal Night Club.
Oke, tapi sebentar, terus bagaimana ketentuan Night Club ini bisa dikatakan halal?
Yang jelas, aturan yang nggak bisa dinego adalah Halal Night Club tidak diizinkan menjual minuman beralkohol.
Hm, ini jelas menarik. Soalnya joget-joget tanpa menenggak minuman keras itu jelas bakal jadi tren baru. Saya masih belum tahu apakah nanti ketika masuk tidak boleh menggunakan pakaian yang mengumbar aurat atau bahkan di lantainya ada tulisan: batas suci.
Nah, itu hal yang terjadi di Timur Tengah sana. Dan seperti halnya masyarakat kita yang sering latah dengan tren-tren terbaru dari negara barat, negara timur, sekaligus negara timur tengah, saya kok jadi penasaran apakah tren ini akan merembet ke Indonesia?
Tapi sebelum ke sana, pertanyaan yang lebih tepat adalah apa tren ini bisa diterapkan di Indonesia?
Hm, saya kira sih sangat bisa.
Sebagai negara dengan pemilik umat Islam terbesar di dunia, rasa-rasanya Indonesia tak perlu diajarin untuk itu. Jangankan soal Halal Night Club, soal ajaran Islam di Indonesia aja tren ikut-ikut budaya Arab Saudi juga udah muncul kok belakangan ini.
Hal ini belum ditambah dengan Laporan GMTI tahun 2019 tentang halal tourism yang menempatkan Indonesia sebagai nomor wahid. Mengalahkan Turki (negara rujukan para akhi), Malaysia, bahkan Arab Saudi. Suangar kan?
Tapi, emang apa pentingnya sih mendirikan Halal Night Club di Indonesia?
Oh, tentu saja mengikuti tren sebagian umat muslim di Indonesia. Antre masuk surga. Kalau sering melihat berita bahwa cara masuk surga dengan bom bunuh diri, maka Halal Night Club menawarkan alternatif. Masuk surga dengan cara berdansa.
Siapa tahu dari Halal Night Club malah menjadi Hijrah Night Club, Tanpa Pacaran Night Club, Anti Riba Night Club, sampai Khilafah Night Club.
Yang jelas, satu peraturan utamanya harus sama dengan di Arab Saudi: dilarang minuman beralkohol.
Jadi Halal Night Club di Indonesia, kita tak akan menenggak minuman macam Chivas Regal, melainkan menyeruput Cendol. Bahkan tape ketan aja bisa dilarang juga karena konon bisa memabukkan juga.
Lalu kita tak akan mengenakan pakaian mini melainkan pakaian syar’i nan trendi. Dari terbuka menjadi tertutup.
Selain itu, untuk urusan per-lantai-an, maka perlu diberi batas. Tak perlu triplek atau kain. Cukup kain hijab pemisah macam di masjid-masjid. Dibagi menjadi tiga. Laki-laki, perempuan, dan pasangan muhrim.
Jadi, tak perlu khawatir akan terjadi perzinaan di dalam Halal Night Club ini. Jadi, segala kemaksiatan sudah diminimalisir. Kalaupun nanti ada kasus, ya anggap saja khilaf. Tapi, kalau tiba-tiba ada yang cinlok, langsung aja ta’aruf.
Sudah halal, jadi ajang makcomblang lagi. Apa nggak wangun? Yakin deh, aplikasi Hago, Tantan, sampai Tinder bakal ketar-ketir.
Untuk urusan pemilihan lagu, tentu pengunjung tak akan menemukan lagu macam Tiesto atau Jamiroquai, melainkan paling mentok lagunya Nissa Sabyan yang Den Assalam. Alat musiknya pun tak melulu gitar atau keyboard, melainkan rebana atau seruling.
Terus untuk urusan lampu, ya jangan bernuansa gelap, melainkan terang. Di mana-mana yang gelap itu berpotensi haram (apalagi remang-remang), sedangkan terang berpotensi halal.
Saat memulai pun jangan langsung memutarkan musik, melainkan ceramah dulu. Kultum-kultum gitu kek. Bahkan karena biasanya dimulai waktu 1/3 malam, maka tahajud dulu. Namanya juga Halal Night Club kan? Perlu pendekatan persuasif sekaligus partisipatif.
Ini pun perlu kerja sama dari sebuah lembaga yang terbiasa memberi sertifikat halal. Jadi, kita bisa membedakan mana diskotik halal atau syariah dan mana yang bukan.
Ya masa di Indonesia cuman ada rumah sakit dan bank yang boleh syariah? Diskotik ya boleh dong. Jelas, kesempatan yang baik dan tentu saja memberikan devisa bagi negara tercinta.
Bahkan namanya pun bisa berganti atau tambah cabang. Misal di Jogja udah punya Liquid, maka perlu ada Liquid Syariah. Dan tentu saja hestek yang dipakai bukan #PestaSelalu melainkan #PestaSyariahSelalu.
Begitu pula dengan Alexis. Daripada Anies Baswedan bingung menghadapi polemik dari warga. Kenapa nggak dibangun saja Alexis Syariah pakai logo Alexi(s)—misalnya? Tanda kurung berarti syariah. Syar’i dan kekinian, bukan?
Dan yang paling penting perlu ada sertifikasi DJ syariah, karena mereka harus bisa minimal Bahasa Arab pasif. Ya namanya juga syariah. Ya pasti pakai Bahasa Arab, masa iya pakai Bahasa Inggris?
Jadi, waktu menyapa pengunjung, tak mungkin akan bertanya, “what’s up dude atau what’s up f*cking people” tapi akan bilang “Kaifa khaluk, Indonesia?”
Kemudian ketika akan mulai berdansa, intro lagu dimainkan, maka Sang DJ tidak akan bilang “Shake It Up” melainkan menyuruh “Sheikh It Up”.
Kalau sudah selesai, lalu subuh berjamaah, kemudian jangan lupa setor duit di kotak infak saat keluar dari diskotik. Ya kali, masa mau ikut kajian dakwah di atas lantai dansa pakai ditarik tiket masuk segala? Itungan amat sih sama umat?