[MOJOK.CO] “Baru jadi penulis aja udah petantang petenteng, kakehan sambat, gimana kalo jadi presiden.”
Kemarin linimasa Fesbuk anget oleh ulah seorang penulis muda. Sebut saja namanya Dek Sastrawan. Dia komplain ke sebuah penerbit besar karena namanya salah di MoU dan karena naskahnya baru akan diterbitkan setelah satu tahun.
Ngeheknya, itu si penulis tidak membuka ruang dialog yang cakep dan malah misuh-misuh pekok di Fesbuknya. Hasilnya, dia sendiri yang kena buli rame-rame. Yang mbuli kebanyakan juga sesama penulis. Saya sih nggak ikut mbuli. Cuma nonton. Sama tepuk tangan. Dikit.
Kedua pihak memang sudah islah, tapi kasus begituan mengingatkan saya pada almarhum penerbit punya saya sendiri. Saya pernah mengelola penerbit gurem dengan nama yang gagah berani: Gelar Semesta Aksara. (Selepas tutup buku, nama segagah itu harus saya kompromikan dengan realitas hidup, sehingga dalam berbagai obrolan, saya menyebutnya dengan panggilan sayang yang bersifat anumerta: Gulung Semesta Aksara. Asudahlah.)
Selama ngurusi mendiang penerbit yang cuma seupilnya penerbit besar yang dikomplain Dek Sastrawan, bukan cuma sekali dua saya berjumpa juga dengan para penulis lucu. Mereka penulis-penulis pemula yang kurang dolan sehingga kadang gagal ngaca dan merasa sudah seperkasa Tere Liye.
Sampean para penulis nggak usah tersinggung lho ya saya ngomong ginian. Ha sekarang derajat kita kan sama. Sama-sama cuma penulis, sama-sama mengumpulkan duit dari remah-remah honor dan royalti. Jadi, ejekan saya bukan SARA. Dan kalo toh kalian tersinggung, ha wis kita gelut aja po?
Oke, kembali. Saya akan mengenang beberapa kisah para penulis gemblung yang pernah bersentuhan dengan saya waktu itu.
Pernah suatu ketika, seorang penulis datang. Ia mendaftarkan naskahnya ke saya. Belum pernah saya kenal wajahnya, belum pernah pula saya melihat namanya di media massa atau di acara-acara. Maka saya hampir bersimpuh takjub melihat judul naskah yang dia ajukan itu: Menjadi Penulis Ngetop Itu Gampang!
Badalah. Saya tatap-tatap lagi wajahnya, saya baca-baca lagi namanya, dan semakin yakin bahwa saya belum pernah mengenalnya. Apakah saya yang kurang gaul dengan dunia literasi sehingga tak kenal orang ini?
Hingga kemudian saya yakin bahwa dia memang baru mulai menulis. Lalu, bagaimana dia bisa ngajari orang biar jadi penulis ngetop?
Sial, saya orangnya terlalu lembut hati. Saya menolak naskah itu dengan halus via email, tak kuasa bicara langsung. Padahal betapa ingin saya ngomong di depan hidungnya,
“Whot? Jadi penulis ngetop gampang? Gampang ndhiasmu! Ha situ wis ngetop po? Kalo situ belum ngetop, kok mau ngajari anak orang caranya biar ngetop? Dan kalo situ sudah ngetop, ngapain juga nawarin naskah ke penerbit coro macam punyaku? Pasti penerbit-penerbit gede sudah pada ngantre naskahmu! Mikir!”
Kisah kedua. Banyak penulis yang tidak paham pembagian kue hasil penjualan buku. Ketika dia dapat royalti 10% dari harga jual, dia merasa dizalimi. Itu persentase yang kecil sekali!
Padahal, hitungan kasarnya kira-kira begini. Dari 100% harga buku, 55% merupakan jatah distributor rekanan penerbit. Itu sama distributor masih dibagi lagi buat toko-toko buku, juga kadang buat diskon pembeli. Nah, penerbit cuma dapat 45%. Dari 45% itu, 20% merupakan pengganti biaya produksi, 10% untuk jatah royalti penulis. Jadi jatah keuntungan penerbit cuma 15%. Itu pun kalo laku. Lha kalo nggak payu? Ya bisa jadi 20% ongkos produksinya nggak kembali.
Makanya, betapa ajaib rasanya ketika suatu ketika saya mendengar seorang penulis mencak-mencak. “Sepuluh tahun lalu royalti penulis 10%. Masak sampe sekarang masih 10%?? Nggak ada naik-naiknya ya? Itu duit dimakan semua sama penerbit?”
Saya melongo. Jadi rupanya dia membayangkan begini: kalau di tahun 2000 royalti penulis 10%, maka di tahun 2010 naik jadi 30%. Walhasil, di tahun 2050 royalti penulis jadi 100% dari harga buku! Lalu penerbit, distributor, toko buku, semua hanya dapat pahala saja. Yaa Rabb….
Kisah ketiga. Seorang penulis ngomel-ngomel karena naskahnya ditolak sebuah penerbit. Lalu dia mengeluh ke saya, mungkin sembari berharap saya berminat meminta naskahnya.
“Kenapa penerbit melulu cuma mikirin profit saja? Masak naskahku ditolak hanya dengan alasan tidak cukup marketable? Di mana idealisme mereka? Apa sekarang tidak ada penerbit yang memperjuangkan idealisme?”
Hoahm, idealisme. Sekilas tampak wow dan menggetarkan jiwa raga. Tapi potong jambul saya kalau di zaman ini ada penerbit yang semata dihidupi oleh idealisme (kalau yang dimatikan oleh idealisme sih banyak). Lha memangnya mereka bayar ongkos cetak pakai apa? Pakai seperangkat alat salat? Atau lantunan lagu “Darah Juang”?
Buat nyetak 2.000 eksemplar buku si penulis idealis saja, saya perkirakan butuh dana 15 sampai 20 juta. Itulah yang akan dipertaruhkan penerbit demi perjuangan idealisme tanpa peduli prospek pasar. Maka kalau bukunya nggak laku, penerbit kehilangan 20 juta, sementara si penulis cuma kehilangan kopi yang dia seruput selama menulis. Toh naskahnya nggak hilang wong masih hak cipta dia.
Di sela omelan penulis hebat itu tentang matinya ideologi, akhirnya saya bilang, “Ya udah gini aja. Sebagai seorang idealis kamu ajak aja penerbit buat patungan nyetak. Jadi kalau nanti bukumu nggak laku, kalian sama-sama rugi, bukan cuma penerbit saja yang rugi. Kamu ada 10 juta?”
Dia terdiam. Samar-samar bibirnya komat-kami. Saya duga dia sedang menyenandungkan “Internationale”. Atau entah lagu apa. Yang jelas waktu itu “Iwak Peyek” dan Mars Perindo belum ada.
Cerita terakhir. Penulis songong itu bukan cuma mereka yang songong di hadapan penerbit, namun juga songong di hadapan sesama penulis.
Siang itu, saya berjumpa seorang penulis. Saya ingin dia menulis novel apaaa gitu. Sembari itu, saya bercerita tentang sahabat lama saya, Mahfud Ikhwan. “Mahfud habis dapat proyek nulis novel lho, tentang kisah sukses atlet anu yang juara di Sea Games. Keren ya.”
Respons yang saya dapat luar biasa. Matanya melotot. “Wuooo anak itu beruntung tuh! Cuma beruntung aja dia! Aku ya jelas bisa banget nulis novel gituan!”
Oh. Bisa jadi dia benar. Maka saya tunjukkan juga novel pertama Mahfud waktu itu, Ulid Tak Ingin ke Malaysia. “Kalau ini novel yang dia tulis sendiri. Diterbitin Galang. Tebal ya, Bro.” Saya mengulurkan novel kuning dengan cover jelek itu ke tangannya.
Si penulis menerimanya. Sedetik saja. Langsung dia letakkan di meja. Tanpa meliriknya lagi sama sekali. Padahal saya berekspektasi dia setidaknya akan membaca baris-baris huruf di sampul belakang, sebagaimana peminat buku pada umumnya, dan biar setidaknya dia tahu kompetitornya menulis tentang apa.
Saya mak-cleguk, dan merasakan semacam… luka. Sialan. Kawan tidur saya semasa di kampus telah diremehkan. Maka saya pun batal meminta naskah novel penulis songong itu. Dan waktu demi waktu, saya terus berdoa agar Mahfud menancapkan prestasi sebagai penulis yang sakti mandraguna.
Waktu akhirnya membuktikan. Ketika Mahfud Ikhwan menyabet kemenangan gemilang di Sayembara Novel DKJ 2014 lewat Kambing dan Hujan, entah kenapa yang saya ingat pertama kali adalah wajah si penulis songong. Apalagi ketika Mahfud menang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 dengan Dawuk-nya, dan terancam mewakili sastrawan Indonesia ke Frankfurt Book Fair 2018, benar-benar yang sontak terlintas di kepala saya adalah wajah sengak si penulis saat mencampakkan novel Ulid di atas meja.
Ya, Mahfud telah dengan sempurna membalaskan dendam saya, dengan dukungan doa-doa selepas tahajud yang meluncur dari bibir saya.
Lalu apakah Mahfud jadi sehebat itu karena doa-doa saya? Ya nggak lah, hahaha. Jadi penulis aja nggak layak songong, apalagi cuma jadi tukang doa. Camkan itu baek-baek.