MOJOK.CO – Umat manusia, khususnya pemeluk Katolik, bersyukur karena Gus Dur memberkati sejarah kita dengan karya cinta kasih dan pengharapan.
Adalah kata “humor” yang mungkin terbayang di benak banyak orang ketika mengenang Gus Dur. Iya, perpaduan “humor” dan “Gus Dur” akan menjadi memantik perbincangan yang seru dan penuh gelak tawa. Kamu bisa menemukan catatan humor beliau di banyak literatur.
Namun, yang justru menggelitik di benak saya adalah rekaman dari ingatan akan sosok Abdurrahman Wahid di kepala orang lain. Khususnya di kepala saudara-saudara saya yang non-muslim. Kenapa ini menarik dan menjadi penting? Karena sebuah catatan, tentang apa saja, yang akan penjaga langkah ketika kita tersesat. Ia bisa menjadi penunjuk arah, dan terkait sosok Gus Dur, ini semua tentang menjadi manusia yang memanusiakan manusia.
Untuk mencari jejak ingatan itu, saya sengaja mengobrol dengan salah satu kawan di komunitas. Kebetulan, dia yang akan mengedit dan memeriksa aksara tulisan ini. Dia adalah redaktur Mojok sendiri, Yamadipati Seno, seorang pemeluk Katolik. Berikut ringkasan obrolan kami berdua.
Kapan kali pertama mendengar nama Gus Dur dan kesan terhadap beliau?
Saya kali pertama mendengar nama beliau di Pemilu 1999. Waktu itu terjadi voting untuk menentukan Presiden Indonesia menggantikan Habibie, antara beliau dan Megawati. Saya, yang masih kecil, tertarik dengan cara peserta voting menulis nama masing-masing jagoannya. Misal:
“Gus Dur, idolaku!”
“Ibuku Megawati!”
“Kiai Abdurrahman Wahid!”
“Megawati presidenku!”
Bagi saya yang masih kanak, dan sama sekali nggak paham politik, hal itu terdengar menarik. Kesan saya? Biasa saja, karena masih terlalu kecil untuk memahami kontestasi politik yang pada 1999 itu berat juga. Namun, seiring usia dan perkembangan wawasan, saya menyimpulkan bahwa Kiai Abdurrahman Wahid adalah orang baik.
Kenapa yakin sekali beliau orang baik?
Puluhan tahun yang lalu, dunia saya bukan dunia yang harus memahami ilmu politik. Jadi, sebagai orang Katolik dan awam, gambaran saya akan politikus itu sederhana. Yaitu, menjalankan tugas dan memenuhi janji politik. Itu batas bawah. Sebuah batas yang nyatanya nggak banyak politikus yang bisa memenuhinya.
Kalau soal beliau, misalnya, menghapus dwifungsi ABRI. Salah satu agenda reformasi. Namun, bukan itu yang membuat saya yakin Gus Dur orang baik. Adalah julukan “Bapak Tionghoa Indonesia” yang membuat saya yakin beliau ini oke sekali sebagai manusia.
Yahya Cholil Staquf pernah bilang gini:
“Dalam pikiran Gus Dur, kelompok minoritas ini perlu mendapat perhatian yang sebenarnya. Minoritas dalam arti demografis, dan minoritas yang mendapat diskriminasi.”
Sikap “membela minoritas” ini menohok saya sebagai pemeluk Katolik. Memang, di sini, beliau membela saudara kita Tionghoa. Namun, entah kenapa, saya ikut bahagia ketika saudara kita Tionghoa itu “diakui” dan itu terasa cukup. Bahwa ada orang, seorang politikus, yang real, nyata, konkret, membela minoritas. Yang lain? Sebatas tulisan di baliho dan janji basi 5 tahun sekali.
Coba Gus Dur masih ada, ya, Mas
Iya, Mas Mod. Kalau beliau masih ada, kita bisa mendengar pendapat terbaru beliau soal penindasan dan genosida Israel terhadap Palestina. Humor apa yang akan beliau pakai sebagai analogi atas penindasan itu. Lalu, yang kita anggap humor, ternyata pemikiran cerdas. Sebuah pemikiran yang mengingatkan kita sebagai manusia yang mengasihi sesama.
Kalau beliau masih ada, kita akan mendapat asupan cerdas dan lucu perihal debat capres yang menjemukan kemarin. Saya penasaran Gus Dur akan komentar apa ketika Gibran membakar semangat suporter layaknya seorang capo memimpin sebuah tribun. Tapi, saya juga merasa pasti beliau akan menangis sedih melihat Tragedi Kanjuruhan tak tuntas dan mengambang.
Saya cukup sering mendengar kata “mengasihi” ketika ngobrol sama pemeluk Katolik
Saya nggak tahu, ya, Mas. Mungkin sudah tertanam dalam alam bawah sadar. Kalau saya pribadi, menjalankan perintah agama Katolik itu gampang. Saya memang nggak hafal banyak hukum di Katolik, apalagi maknanya. Namun, saya mengingat dengan jelas bahwa hukum tertinggi dalam Katolik namanya Hukum Cinta Kasih. Dan ini, seperti menjadi puncak bagi semua ajaran Tuhan Yesus.
Bunyinya:
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Bagian kedua, yang berbunyi “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,” itu yang “terasa Gus Dur banget”.
Jadi, dulu, mantan Uskup Agung Jakarta, Kardinal Darmaatmadja SJ, pernah bilang bahwa Gus Dur adalah “perekat umat beragama”. Ketika para pemeluk agama menjadi rekat dalam arti bersatu dan damai, maka di sana akan tumbuh keberkatan.
Kita jadi bisa merasakan hidup damai dan tanpa kegelisahan. Semua bisa menjalankan ibadah sesuai ajaran masing-masing tanpa ada tindakan represi. Meski memang saat ini, tidak 100% bisa terjadi.
Yah, meski kenyataannya masih ada saja yang berantem, saya setuju dengan ucapan Kardinal Darmaatmadja SJ. Bahwa Gus Dur adalah berkah bagi Katolik dan saya izin menambahkan, juga menjadi berkah bagi umat manusia.
Kenapa beliau bisa begitu, Mas?
Karena seperti yang aku jelaskan tadi, Mas. Kita beruntung beliau pernah ada di sejarah Indonesia. Karya dan perjuangannya, kan, seperti tuntunan bagi manusia ketika memperlakukan manusia lainnya dalam konteks positif. Semua karya itu bahkan sudah ada yang membukukan jadi seharusnya kita bisa belajar menjadi orang baik.
Tuntunan menjadi orang baik itu berkah yang luar biasa. Kelihatannya sederhana, tapi kan masih ada saja yang bikin orang lain sengsara. Baik dalam konteks agama sampai pemerintahan. Halah, dalam konteks kecil, misalnya srawung, kita semua masih abai dan tidak seimbang.
Nah, lagi-lagi di sini terasa banget aura Katolik dari Gus Dur. Jadi, karya amal atau penerapan dari Hukum Cinta Kasih itu antara lain memberi makan kepada orang yang lapar, memberi minum kepada yang haus, memberi perlindungan kepada orang asing, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, melawat orang sakit, mengunjungi orang yang dipenjarakan, hingga menguburkan orang mati.
Persis bukan seperti karya beliau bagi Tionghoa yang tertekan banget semasa zaman orba? Makanya, sekali lagi, beliau itu merekatkan para umat beragama. Ini bukti orang baik.
Mas Seno bilang ada aura Katolik di Gus Dur apa nggak bahaya?
HAHAHA IYA JUGA YA BARU SADAR. MAKSUDNYA NGGAK KAYAK YANG KALIAN PIKIR, KOK.
Tapi nggak masalah, sih, harusnya. Katolik sendiri mengandung makna “sesuatu yang universal”. Katolik bukan hanya soal bangunan dan bentuk fisik, tapi milik semua manusia yang berjalan di muka bumi ini. Jadi, dengan berbuat baik kepada sesama, itu sudah contoh pengikut Yesus yang baik… kalau mau login dan baptis dulu HAHAHA DUH MALAH JADI MAKIN SALAH.
Intinya, berbuat baik ke sesama adalah salah satu ajaran kami. Yang saya yakin juga menjadi ajaran di semua agama, tanpa terkecuali. Jadi Mas Moddie jangan tegang begitu, lah.
Loh, saya biasa saja, Mas Seno yang panik HAYOLOOO
Iya, sih. Kalau begitu, biar relaks, saya tutup obrolan ini dengan salah satu humor legendaris Gus Dur yang pernah diceritakan Mas Hairus Salim. Ceritanya gini:
Pada hari kiamat, cerita Gus Dur, para lelaki dihimpun oleh Tuhan berdasarkan dua kategori, yaitu “yang takut sama istri” dan “yang berani sama istri”. Yang takut sama istri diminta baris berjejer satu per satu ke belakang di sebelah kanan, sedangkan yang berani sama istri di sebelah kiri.
Maka segeralah para lelaki berbaris sesuai perintah dan statusnya. Ternyata barisan yang takut sama istri panjang sekali, sedangkan yang berani sama istri hanya satu orang. Ya hanya satu orang.
Tentu saja para lelaki yang berada dalam barisan lelaki takut istri itu kagum, salut, dan serentak dengan itu iri pada lelaki satu-satunya yang berani sama istri Itu. Karena kepo, seorang dari mereka kemudian, sembari mengucapkan pujian kekaguman, bertanya apa rahasia dan resep berani sama istri Itu?
“Bung luar biasa, kami kagum. Omong-omong kalau boleh tahu apa resep berani sama istri itu?”
“Yang berani sama istri memang siapa?” lelaki yang ditanya Itu balik bertanya.
“Lha, kan Bung berdiri di sebelah kiri. Berarti kan Bung seorang suami yang berani sama istri!”
“Ah tidak,” bantah lelaki Itu.
“Kalau begitu mengapa Bung berdiri di situ?”
“Saya disuruh istri saya,” jawab lelaki itu dengan suara mengiba dan malu-malu.
Mas, kan saya yang wawancara, kok malah Mas Seno yang menutup
OIYA YA HAHAHAHA MAAF PANIK.
“Angel wong iki,” batin saya.
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno, yang diomongin Mas Moddie di tulisan.
BACA JUGA Humor Gus Dur dalam Semangkok Soto dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.