Ada banyak alasan mengapa seseorang memilih childfree. Misalnya karena ancaman resesi ekonomi, perang global, kondisi kesehatan, memutus mata rantai trauma dalam keluarga, hingga memang “tak mau” adalah hal yang wajar belaka. Seseorang yang memilih childfree bukan berarti nggak suka sama anak-anak, atau memutuskan perang terhadap kehamilan.
Alasan-alasan ini bisa jadi nggak masuk akal buat kamu dan Gita Savitri. Tapi, buat mereka yang meyakini, hal ini adalah keniscayaan. Meledek orang yang memilih childfree, apalagi memaki mereka, tidak akan secara ajaib membuat mereka menyesal lalu berkembang biak setelahnya.
Beberapa orang yang saya kenal, memilih untuk childfree karena tumbuh dari lingkungan yang abusif, produk poligami, KDRT yang terus menerus terjadi atas nama anak, atau melihat banyak perceraian yang membuat mereka memikirkan ulang pernikahan dan memiliki anak. Jangan-jangan Gita Savitri makin nggak paham hak-hal kayak gini.
Banyak anak banyak rezeki
Lelucon di antara kawan-kawan kami adalah banyak anak banyak rejeki. Sayangnya, giliran kehabisan uang, utang kepada orang lain, tapi tidak segera melunasinya. Orang-orang macam ini yang membuat parenthood jadi hal yang buruk. Ngurus diri sendiri saja nggak becus, kok malah beranak dan merepotkan orang lain?
Dear Gita Savitri, childfree adalah keputusan sadar orang dewasa yang melihat bahwa dirinya tidak punya kapasitas sebagai orang tua. Bisa jadi karena mereka menyadari bahwa memiliki penyakit genetik berbahaya, biaya hidup yang semakin mahal, atau memang kondisi lingkungan yang berbahaya.
Mereka yang menolak kehamilan dan secara terbuka mengampanyekan larangan memiliki anak adalah kelompok anti-natalis yang sangat berbeda dengan childfree. Jika childfree fokus pada diri, anti-natalis fokus pada kegiatan reproduksi itu sendiri, berargumen bahwa manusia harus menghentikan reproduksi karena sifatnya salah secara moral.
Kelompok anti-natalis memiliki kecenderungan nihilisme dan memandang secara muram dunia. Mereka melihat overpopulasi, kelaparan, kerusakan, kemiskinan, terjadi karena kehamilan dan kelahiran anak. Meski demikian, seperti juga childfree, anti-natalis tidak anti sama anak. Banyak dari anti-natalis yang menjadi pengasuh bayi karena sadar mereka lahir ke dunia tanpa consent, dan berhak mendapat hidup layak.
Pembuangan bayi yang makin memprihatinkan
Di Indonesia, kasus pembuangan bayi bukan hal yang aneh. Berdasar catatan Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari data 2020 hingga medio 2021, ada 212 kasus pembuangan bayi yang masuk menjadi laporan. Angka temuan bayi yang dibuang terus meningkat sepanjang tahunnya.
Lalu siapa yang merawat anak-anak ini? Apakah mereka yang anti-natalis, childfree, atau pegiat reproduksi yang mendorong kelahiran anak? Yang jelas, di banyak tempat perawatan, ada orang tua yang merawat mereka meski memilih childfree tapi tak keberatan merawat anak-anak yang dibuang.
Ini mengapa satu orang influencer seperti Gita Savitri tidak akan bisa mengalahkan penggemar keluarga Halilintar. Paham di Indonesia banyak anak banyak rezeki masih jadi kredo yang diamini jutaan orang. Pernikahan anak, masih minimnya laki-laki yang mau ikut KB, jadi alasan lain.
Abai sama poligami
Beberapa dari kita demikian pusing dan terancam dengan Gita Savitri yang secara terbuka melakukan childfree dengan alasan logis, tapi abai dengan pelaku poligami yang secara terbuka memiliki 25 anak atau lebih. Kita memakai dalil keutamaan sunah, atau agama, untuk menjustifikasi jumlah puluhan anak dari satu laki-laki, tapi ketika satu perempuan memutuskan secara sadar tak memiliki keturunan, dunia seperti kehilangan populasi.
Setiap tahun, ada 4,8 juta anak lahir di Indonesia. Tingginya angka kelahiran ini menempatkan Indonesia pada urutan keempat setelah Cina, India, dan Amerika Serikat dengan populasi mencapai hampir 270 juta jiwa. Jadi, mau ada seribu Gita Savitri, tidak akan menghentikan laju pertumbuhan penduduk kita.
BACA JUGA Memutuskan Childfree kayak Gitasav Nggak Masalah, yang Penting Bukan demi Terlihat Edgy dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno