MOJOK.CO – Pisau ekonomi yang diasah Ferry Irwandi itu tajam, bukan untuk menyakiti, tapi untuk menguliti ilusi dan menyisir akal sehat.
Kadang-kadang, pencerahan hidup datang dari tempat yang tak terduga. Bukan dari nasihat ustaz YouTube atau kutipan galau di Instagram. Sebuah pencerahan bisa datang dari kuliah publik berdurasi hampir satu jam di YouTube.
Judulnya? “KULIAH PUBLIK Membedah Kebijakan Publik dengan Pisau Ekonomi | SBM ITB (S2)”. Diselenggarakan oleh Ferry Irwandi untuk SBM ITB program S2.
Yang bikin saya nggak bisa berhenti nonton? Adalah Ferry Irwandi yang membedah kebijakan publik layaknya kisah kejahatan ekonomi. Dia mengajak kita untuk melihat siapa yang bermain di balik layar, yang diam-diam disakiti, dan bagaimana sistem hukum cuma jadi penonton.
Ekonomi, kelangkaan, dan logika di balik pilihan publik
Ferry Irwandi membuka kuliah ini dengan premis dasar namun fundamental, yaitu ekonomi hadir karena dunia ini terbatas. Konsep kelangkaan (scarcity) menjadi alasan manusia perlu membuat pilihan. Sumber daya seperti uang, waktu, dan energi semuanya terbatas, sementara kebutuhan terus bertambah. Maka, ekonomi menjadi seni bertahan hidup. Ini tentang bagaimana membuat keputusan rasional dalam keterbatasan.
Ferry Irwandi menggarisbawahi 3 pendekatan untuk merespons kelangkaan. Yaitu, efisiensi (menghindari pemborosan), inovasi (membuka jalan dari keterbatasan), dan skala prioritas (menyusun kebutuhan secara hierarkis). Ini bukan teori semata, tetapi kerangka berpikir yang sangat krusial dalam kebijakan publik.
Setelah itu, Ferry memperkenalkan konsep opportunity cost atau biaya peluang. Dengan gaya yang membumi, dia menyentil kecenderungan para pengambil kebijakan yang terlalu sering mengandalkan “sistem berpikir cepat”, yakni pola pikir intuitif dan instan yang sering tidak rasional.
Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Daniel Kahneman dalam bukunya Thinking Fast and Slow. Daniel membedakan 2 sistem berpikir manusia, yaitu sistem 1 yang cepat, intuitif, dan emosional, serta sistem 2 yang lambat, logis, dan penuh pertimbangan.
Menurut Ferry Irwandi, kebijakan publik seharusnya dibentuk melalui pendekatan sistem 2 yaitu lambat, hati-hati, dan berdasarkan data. Tanpa kesadaran akan trade-off, setiap keputusan yang diambil secara instan berisiko menjadi mahal bukan hanya secara fiskal, tetapi juga sosial dan politik.
Kebijakan di Indonesia: Antara rasionalitas dan kepentingan
Masuk ke ruang praktik, Ferry Irwandi mengulas bagaimana idealisme ekonomi sering kali tersandung oleh realitas politik. Banyak kebijakan publik di Indonesia tidak lahir dari proses rasional yang berbasis data dan analisis ekonomi, tetapi dari kepentingan jangka pendek, tekanan politik, atau kompromi antar aktor kekuasaan.
Contoh paling nyata adalah kebijakan ganjil-genap di Jakarta. Alih-alih memperkuat transportasi publik, kebijakan justru membatasi kendaraan pribadi dan membuka celah keuntungan bagi industri mobil listrik.
Ada juga kisah tentang kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang diniatkan mulia. Namun, dalam praktiknya, membatasi akses publik terhadap produk berkualitas dan tidak adil bagi pelaku industri yang sudah taat aturan.
Ferry Irwandi juga menyinggung kasus Garuda Indonesia, maskapai yang nyaris bangkrut karena salah kelola tapi tetap diselamatkan negara. Namun sayang, akar masalah Garuda tidak pernah diselesaikan.
Atau kebijakan cukai rokok, di mana kenaikan harga rokok legal justru mendorong konsumsi rokok ilegal. Dalam semua kasus ini, yang absen bukan niat baik, tapi konsistensi, pengawasan, dan keberanian menegakkan keadilan kebijakan.
Kerangka ideal menurut Ferry Irwandi dan tantangan implementasi kebijakan ekonomi
Salah satu bagian paling penting dari kuliah ini adalah ketika Ferry Irwandi memaparkan bagaimana seharusnya kebijakan publik dirumuskan. Dimulai dari identifikasi masalah berdasarkan data, lalu menetapkan tujuan kebijakan yang jelas dan terukur.
Setelah itu, pembuat kebijakan harus merancang alternatif solusi, menganalisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis), dan mengevaluasi kelayakan. Pembuat kebijakan harus mengevaluasinya dari tiga sisi, yaitu fiskal, politik, dan teknis.
Secara teori, framework ini sangat rasional. Tapi dalam praktiknya, proses ini sering dilangkahi atau dipolitisasi. Kebijakan menjadi reaktif, dibentuk oleh persepsi sesaat, dan minim pengujian lapangan.
Ferry menutup dengan refleksi yang kuat. Selama kebijakan hanya dinilai dari indikator makro seperti pertumbuhan ekonomi atau defisit APBN, dan bukan dari dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, maka kita akan terus gagal menyentuh akar masalah. Dia mendorong reformasi kelembagaan, pembentukan super holding strategis, serta investasi besar dalam riset dan kebijakan berbasis bukti.
Siapa yang siap menggunakan pisau dari Ferry Irwandi ini?
Setelah mengikuti kuliah ini, saya merasa seperti baru saja selesai terapi intelektual. Pisau ekonomi yang diasah Ferry Irwandi itu tajam, bukan untuk menyakiti, tapi untuk menguliti ilusi dan menyisir akal sehat.
Pertanyaannya tinggal siapa yang berani memakainya? Karena kebijakan publik bukan sekadar tentang angka, tapi tentang pilihan etis dan keberanian melihat realitas apa adanya.
Penulis: Fahrudin Ali Akhmad
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Rekomendasi Kanal YouTube yang Bikin Otak Auto Cerdas dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.











