MOJOK.CO – Pro-kontra quote “master of none” merupakan contoh bahwa banyak orang yang memang doyan memotong informasi agar sesuai dengan selera pemikirannya sendiri.
Baru-baru ini saya membaca artikel yang dalam judul tulisannya mengandung kata “master of none”. Tulisan tersebut menggambarkan orang yang banyak punya keterampilan tapi serba nanggung, dan tak satu pun keterampilannya sampai pada level expert.
Tidak sedikit yang mengangap punya keterampilan banyak tapi nggak ahli akan sia-sia dibandingkan dengan fokus pada satu hal hingga mahir. Dan tentu saja kata master of none sering dijadikan rujukan buat menjatuhkan atau sekadar ngata-ngatain orang yang punya banyak keterampilan tapi nggak fokus.
Tapi tahukah kamu, kalau ungkapan tersebut bukanlah ungkapan yang utuh, alias sepenggal saja?
“Jack of all trades, master of none, but oftentimes better than master of one.”
Jadi seharusnya pertanyaannya Jack itu siapa? Meski saran saya, lebih baik kita lupakan siapa sebetulnya Jack itu, apalagi harus mencari tahu hubungan antara Jack dan Rose. Sungguh merepotkan.
Dari ungkapan yang panjang tersebut, kenapa hanya sepenggal yang populer? Ini mungkin pertanyaan yang lebih jitu dibandingkan pertanyaan sebelumnya.
Quote yang ambil cuma sepenggal biasanya karena butuhnya hanya sepenggal. Yang kemudian berubah makna menjadi misquote, yang nggak ada hubungannya dengan mosquito.
Misquote secara harfiah berarti salah mengutip, kalau diteruskan dan digunakan banyak orang, maka seolah-olah menjadi sebuah ungkapan baru yang utuh. Jadi, mungkin di sinilah pentingnya belajar sejarah.
Menjadi master of none atau master of one merupakan sebuah pilihan (bebas). Tapi semua pilihan tentu memiliki hubungan kausalitas yang rumit, dan ketika pengetahuan yang dimiliki hanya sepotong, akankah pilihan benar-benar bebas? Ataukah hanya sebuah illusion of free choice (ilusi yang seolah-olah pilihan bebas)?
Dan mengapa master of none oftentimes better than master of one?
Jawabannya mungkin terlalu sederhana, karena manusia sadar bahwa ia tidak sempurna. Ketika level kesadaran itu terbentuk, maka kesadaran untuk saling toleransi, mengisi, dan melengkapi menjadi sebuah kebutuhan.
Tidak hanya ungkapan di atas yang diambil seperlunya oleh orang yang membutuhkan, ungkapan lain yang populer juga menjadi korban “kaum pengecer quote”. Salah satunya adalah “blood is thincker than water” yang secara harfiah berarti bahwa darah lebih kental dibandingkan dengan air.
Ungkapan ini bermakna bahwa ikatan (hubungan) darah sangat berharga (lebih kental) dibandingakan dengan orang lain yang tidak ada hubungan keluarga.
Tapi tahukah saudaraku yang terkasih, kalau itu lagi-lagi adalah misquote yang dipengal secara brutal?
“The blood of the covenant is thicker than the water of the womb.”
Dan ternyata blood dan water yang menilai level dari sebuah hubungan (thicker) kekentalannya dimaknai berbeda dalam ungkapan aslinya. Hubungan atau interaksi yang didasari sebuah pilihan akan lebih erat dibandingkan dengan hubungan yang hanya berdasarkan hubungan darah.
Apakah mungkin hubungan semacam itu bisa terjadi?
Di Indonesia, di mana hubungan kekerabatan yang terkait dengan keturunan begitu diagungkan, ternyata banyak yang “terluka” karena hubungan darah yang dimiliki. Keluarga tidak lagi dipandang (lagi) sebagai tempat untuk saling melindungi, tapi sebagai tempat untuk saling memanfaatkan.
Saya pernah tahu ada keluaga (tidak hanya satu) yang mengalami konflik karena masalah KTP (Kartu Tanda Penduduk). Masalahnya sederhana, yaitu ada famili yang ngotot mau pinjem KTP buat ambil mobil di leasing atau untuk mengajukan KUR.
Sebagai keluarga, apakah mau ngasih pinjam KTP kalau tahu kredit bakal macet dan pemilik KTP bakal dikejar debt collector? Nggak cukup sampai di situ, untuk urusan beda agama, beda capres aja ada keluarga yang sampai bertengkar sengit.
“Sementara kamu mati-matian membela mereka dengan alasan keluarga, mereka mengangap keluarga hanyalah orang lain yang punya ikatan darah.”
Begitulah kira-kira yang saya baca dari komik Jepang The Black Swendler yang dulu saya beli saat ada bazar buku di Gedung Wanitatama tahun 2013 seharga 5000 rupiah.
Memang terkadang ada keluarga yang tidak bisa diharapkan. Sementara itu, ada banyak orang yang bisa berempati pada orang lain yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah. Bahkan, tak segan mereka memberikan harta, tenaga, pikiran, dan perasaan untuk bisa membuat sesama manusian menjadi lebih diterima, terlindungi, dan merasa aman. Dan mungkin inilah yang disebut sebagai “kemanusiaan”.
Kembali ke “mental eceran” yang suka hal serba sepenggal, serba ngecer terhadap informasi, yang ternyata banyak terjadi di negara tercinta Indonesia. Main edit video bukan lagi hal yang sulit, dan sering dilakukan untuk mengambil keuntungan sepihak.
Tidak hanya video, bahkan ungkapan dari orang lain bisa dipotong dengan seenaknya sehingga menghilangkan konteks dan tentu saja akan merubah makna dari quote yang utuh. Lebih jahat lagi, ada orang yang ngambil foto orang lain terus ditempeli quote seolah-olah orang tersebut mengungkapkan hal itu.
Kasus yang sedang beredar agak kencang adalah tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang juga menjadi korban “kaum eceran”. Tidak mengenal konteks, kata-kata dalam draf dipotong, terus disambungkan dengan yang lain, sampai punya makna tertentu yang berdiri sendiri.
Ibarat beli rokok Dji Sam Soe ngeteng sebatang, habis itu rokoknya dibongkar, tembakaunya dilinting lagi jadi 4 pake papir, terus koar-koar; “gue udah baru aja ngisep Dji Sam Soe 4 batang” (emang jadi keren gitu?).”
Hanya perokok yang tahu, kalau rokok dilinting ulang itu rasanya udah beda jauh. Setidaknya itu pengalaman pada zaman kegelapan keuangan saya.
Rokok bukan RUU PKS jadi tidak bisa dibandingkan, tapi “mental eceran” yang mencoba mengalihkan makna tidak jauh berbeda. RUU yang ada memiliki draf akademik utuh yang bisa dicari gratis, semudah itu mendapat pengetahuan zaman ini, nggak perlu pake transport, nggak perlu fotokopi.
Untuk membaca, mengerti, memahami butuh waktu dan kemampuan. Bahkan ada orang yang sampai datang ke diskusi yang membahas RUU PKS agar ia bisa mengerti dan tidak salah paham dengan konten yang ada.
Tentu sangat berbeda dengan kaum “bermental eceran” yang merasa maha benar. Bahkan baru liat judulnya aja udah merasa tahu isinya. Kadang saya lelah dengan orang-orang macam begini.
Teman saya punya pengalaman berdebat dengan seseorang di media sosial membahas RUU PKS baru-baru ini. Kira-kira saat perdebatan sengit, teman saya (laki-laki) akhirnya mengirimkan data untuk dibaca dan kemudian menunggu balasan perdebatan selanjutnya.
Tidak lama setelah itu balasan pun muncul, akun teman saya di-block. Hm, bukankah itu luar biasa?
Andai saya jadi Bapak SBY, saya pasti akan prihatin dengan keadaan ini. “Mental eceran” tanpa disadari telah merugikan diri mereka sendiri, bahkan tidak jarang, aksi mereka yang sembrono bisa merugikan orang lain.
Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa mereka yang doyan mengambil sepenggal-sepenggal quote atau informasi untuk kepentingan sendiri memang bukan sedang mencari kebenaran, tapi cuma gerombolan yang sedang mencari kemenangan.