MOJOK.CO – Memperpanjang masalah ibu-ibu penderita Schizophrenia Paranoia masuk masjid sambil bawa anjingnya itu emang asyik yaw. Iya kan Bapak Felix Siauw?
Kalau ada seorang perempuan dewasa usia 50-an tahun tiba-tiba masuk masjid tanpa melepas sepatu lalu teriak-teriak cari suaminya sambil mengamuk, jika saya ada di lokasi, respons saya kemungkinan ada dua.
Pertama, kaget dan kebingungan. Kedua, ketakutan.
Itu peristiwa tak biasa. Seorang dewasa normal pasti tidak melakukan hal yang jelas-jelas memicu keributan itu. Jika tujuannya hanya ingin mencari sensasi, jelas terlalu nekat dan beresiko sebab ia hanya datang sendiri.
Dari dialog, si perempuan berceloteh soal suaminya yang ia duga ada di dalam masjid, sudah bisa diduga ia ada “masalah” lumayan berat. Takmir masjid barangkali reaktif karena perempuan dewasa itu juga membawa anjing yang lalu lepas dan berlarian di dalam masjid. Hal itu wajar belaka.
Yang tidak wajar adalah Bapak Felix Siauw yang sungguh cekatan dalam menangkap momentum. Ia tahu kalau sekecil apa pun kejadian amat bermanfaat buatnya untuk mengambil celah berkomentar. Blio harus selalu tampil memukau dengan pendapat-pendapatnya. Apalagi, ini kejadian yang sangat seksi.
Si ibu mengaku beragama Katolik, membawa anjing dan kejadiannya di masjid pula, tempat suci umat Islam. Kejadian seksi begini rupa tak boleh didiamkan saja. Sesegera mungkin Bapak Felix Siauw unggah video baru, bersegera untuk riding the wave alias menumpang isu trending.
Blio harus segera menyeru kalau berpihak ke pengurus Masjid adalah berpihak kepada syariat, sedangkan berpihak kepada si ibu artinya Anda hanya menjadi muslim sok bijak yang tak pernah mau membela agama Rasulullah.
Menurut Bapak Felix Siauw, hadis soal seorang Badui yang mengencingi masjid lalu dibela Rasul dari amuk sahabat itu sebab si Badui dalam kondisi tak tahu atau tak berilmu, sedangkan kondisi si Ibu, tak mungkin jika tak tahu, wong jelas-jelas ia justru mengamuk kepada jamaah.
Bapak Felix Siauw meniup-niupkan api agar orang-orang makin kepanasan, meskipun dengan retorika yang tampak manis. Riwayat yang menggambarkan betapa Rasul adalah pribadi yang penyabar, penuh welas asih meskipun kepada orang yang berbeda dan tidak menyukainya, justru dengan luar biasa Bapak Felix Siauw balik tafsirnya demi kepentingan konten.
Bapak Felix Siauw, bukankah panjenengan bisa lebih sabar untuk mencari tahu? Bukankah panjenengan tidak mesti selalu memanfaatkan semua situasi untuk mendeklarasikan diri seolah sebagai yang paling berpihak kepada Islam, padahal sebenarnya tak lebih dari sedang produksi klik lewat konten media sosial?
Bapak Felix Siauw, tidak semua peristiwa yang terjadi di sekitar kita harus kita lihat sebagai pertentangan agama versus agama, seperti kita tidak bisa menilai perilaku seseorang hanya menggunakan kacamata agama tertentu.
Ketika kita menemui orang yang tidak mau antre di kasir malah marah-marah, misalnya, kita bisa menilai dengan faktor-faktor lain, misalnya ia memang seorang pandir yang grusa-grusu, ia sedang ada masalah berat yang membuatnya terburu-buru, atau mungkin keluarganya sedang di Unit Gawat Darurat dan sedang sangat panik.
Kejadian Ibu SM juga dapat kita lihat sebagai seorang perempuan yang mengamuk karena ditinggal suami misalnya, atau seorang yang pasti punya masalah berat hingga berteriak-teriak di masjid dengan membawa anjing.
Perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh sejarah masa lalu, situasi ekonomi, kesehatan jiwa, beban sosial dan lain sebagainya, bukan semata identitas keagamaan. Bapak Felix Siauw mungkin bisa membaca buku Kekerasan dan Identitas, karya Prof. Amartya Sen sebagai referensi.
Dengan cara pandang itu, insiden di Masjid Al Munawaroh, Sentul, Bogor seharusnya dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah bersama masyarakat, pemimpin warga, dan DKM. Permasalahan ini tidak perlu berakhir dengan tragis sampai ke Polres Bogor, apalagi dengan alat pasal penistaan agama.
Ah, saya lupa. Memang itu tujuan Bapak Felix Siauw, kan? Untuk menciptakan situasi keterbelahan, soal siapa yang berpihak kepada agama dan siapa yang dianggap tidak berpihak kepada agama. Dan selanjutnya tentu saja mengambil kesempatan untuk berdagang asongan utamanya.
Dari perkembangan berita yang ada, Ibu SM ternyata terkonfirmasi sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), tepatnya Schizophrenia Paranoia. Hal itu dapat dibuktikan oleh keluarga dengan rekam medis ibu SM dari dua Rumah Sakit sejak 2013, bahwa sebagai salah satu cabang penyakit psikosis, penderita merasa selalu diikuti dan dijahati oleh pihak tertentu yang sulit dijelaskan.
Gangguan jiwa ini memengaruhi cara penderita berpikir dan berperilaku dan tak dapat diprediksi kapan dan bagaimana gejalanya akan kambuh.
Sayangnya, sebagian warganet terlanjur berbantah bacot. Akun perempuan berinisial uni ZZ, misalnya, memanfaatkan situasi dengan twit yang sama sekali tak nyambung. Akun ini bilang, dari kasus ibu SM jadi terbukti kalau zaman Jokowi banyak orang depresi.
Alamak, selain ada orang yang semestanya hanya perihal agama versus agama, masih ada banyak orang yang semestanya hanya soal 01 versus 02.
Selanjutnya, manusia-manusia tanpa empati menyambung twit itu dengan olok-olok kepada ODGJ: “Orang depresi itu nggak mau ngapa-ngapain, maunya bunuh diri. Ini jalan-jalan gendong anjing dan teriak-teriak.”
Aduh, Anda tidak pernah berada di posisi merawat keluarga ODGJ. Twit gagah-gagahan itu bukan saja norak dan memalukan, tapi mencerminkan betapa dangkal pengetahuan saudara soal kesehatan mental.
Semoga Polres Bogor dapat menyelesaikan persoalan ini dengan sebaik-baiknya dan tidak akan begitu saja menyerah kepada tekanan publik. Semoga nasib Ibu SM tidak seburuk nasib Ibu Meiliana dan keluarganya juga diberi kesabaran yang lebih lagi.
Meminjam kalimat Remy Sylado dengan sedikit modifikasi, kita memang terlalu sering merepotkan Tuhan untuk urusan-urusan yang seharusnya dapat diselesaikan Ketua RT dan tukang laundry.