Polemik royalti penulis dan pencipta lagu
Kita harus mengakuinya bahwa sistem pembayaran royalti atau hak cipta penulis dan pencipta lagu di Indonesia ini memang masih belum beres. Selain itu, masih ada musisi atau pencipta lagu yang belum sepenuhnya paham mengenai hak cipta dan royalti. Ini adalah lubang menganga di mana pihak-pihak tak bertanggung jawab memanfaatkan demi mengambil keuntungan dari sebuah karya.
Padahal, pemerintah sudah mengatur tentang semua ini. Dalam UU No. 28 tentang Hak Cipta, misalnya, sudah diatur tentang apa itu hak cipta, royalti, hak moral dan hak ekonomi dari sebuah karya, relasi karya dan penciptanya, dan penyelesaiannya konflik. Nah, Berkaca dari kasus Fanny Soegi dan Soegi Bornean, masalah ini sepertinya sudah runyam dari awal, bahkan sebelum masuk soal karya.
Soal pendaftaran HAKI nama Soegi Bornean, misalnya, kok bisa ada lima orang yang terdaftar sebagai pemilik nama. Padahal personel band ada tiga. Dua orang ini siapa dan apa haknya atas nama Soegi Bornean?
Apakah keduanya yang membentuk Soegi Bornean? Apakah mereka pemodal? Atau hanya manusia jelmaan Qarun yang tamak saja? Lalu apa maksud di balik “ancaman” mereka terhadap Fanny Soegi jika keluar dari band dan pakai nama Soegi yang mana adalah namanya sendiri? Ini aneh banget, sih.
Mirisnya nasib pencipta lagu “Asmalibrasi”
Lalu soal lagu “Asmalibrasi” dan lagu-lagu lain yang diciptakan Fanny Soegi dengan Dhimas Tirta Franata. Jika melihat pengakuan Fanny tentang mirisnya nasib pencipta lagu “Asmalibrasi”, rasanya ada hak dan royalti yang nggak fair di sini. Ada hal-hal yang aneh dan suspicious di sini. Pasti ada yang nggak transparan.
Sederhananya begini. Jika lagu semacam “Asmalibrasi” ini viral, dinyanyikan, dimainkan, dan diputar di mana-mana, akan ada royalti yang masuk ke si pencipta lagu, dan nominalnya jelas tidak kecil.
Pencipta lagu “Asmalibrasi” ini seharusnya mendapat persenan dari ratusan juta, atau mungkin bahkan miliaran, royalti lagu itu. Jika semua pihak fair, nggak akan ada ceritanya pencipta lagu “Asmalibrasi” ini sampai ngutang untuk bayar sekolah anak, masih ngontrak rumah, bahkan atapnya jebol.
Lubang di dalam aturan yang “menjerat” Fanny Soegi
Sayangnya, kenyataan di lapangan berbeda jauh. Dari awal sepertinya ada yang nggak fair. Ada kemungkinan perjanjian hitam di atas putih di awal itu sudah “bermasalah”. Seperti ada yang mencoba meraup keuntungan dengan tidak membayar royalti. Situasi ini diperparah oleh pasifnya pihak-pihak yang seharusnya turun tangan mengurus royalti dan semacamnya.
Iya, pihak-pihak yang seharusnya mengurus persoalan royalti semacam Wahana Musik Indonesia (WAMI), yang merupakan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) malah pasif. Kinerjanya sangat jauh dari kata baik. Birokrasinya rumit. Perannya bahkan bisa dibilang nyaris alpa.
Lubang yang menganga ini yang dijadikan pihak-pihak tidak bertanggungjawab untuk berbuat “nakal”. Belum lagi jika ada laku yang tidak transparan bahkan sampai ada semacam “ancaman” seperti yang terjadi di kasus Fanny Soegi dan Soegi Bornean.
Kalau yang gini-gini nggak segera diberesin, saya yakin akan ada banyak kasus-kasus serupa. Pasti akan ada banyak kezaliman-kezaliman serupa, dan akan ada Fanny Soegi yang lain. Dan saya yakin pula, kasus Fanny ini cuma puncak gunung es saja. Masih ada banyak kasus-kasus serupa yang nggak kelihatan di permukaan, kasus-kasus yang mungkin lebih parah dan ngawur lagi.
Keadilan harus ditegakkan, dan kami bersama Mbak Fanny Soegi!!
Saya nggak kenal, pernah ketemu, atau melihat Fanny Soegi manggung. Saya hanya tahu cerita-cerita tentang Fanny dan apa yang terjadi kepadanya akhir-akhir ini lewat podcast saja. Tapi, melihat apa yang sedang dialami oleh Fanny, sepertinya nggak ada alasan bagi saya untuk tidak membelanya, berada di belakangnya.
Kasus yang menimpa Fanny Soegi, ketidakadilan yang sedang dia alami, bukan sebatas soal uang atau royalti lagu. Ini bukan soal duit semata.
Ada hal-hal yang lebih besar di belakangnya. Ada ketidakbecusan pemerintah yang seharusnya hadir dalam urusan royalti dan hak cipta. Di sini, jelas ada hubungan yang tidak sehat, bahkan manipulatif. Sudah pasti muncul relasi kuasa yang mana menjadikan Fanny Soegi sebagai pihak yang tertindas dan dirugikan. Dan ini tidak boleh dibiarkan.
Rasa malu sudah mati
Lagian, mereka ini kok nggak merasa malu, ya, masih pakai nama Soegi Bornean ketika orang yang punya nama sudah hengkang. Masa nggak malu masih pakai nama orang yang kalian zalimi?
Oke, kalian punya landasan hukum sebagai dalih. Tapi maksudnya, secara landasan moralnya itu lho gimana, sih?! Nggak pernah diajari soal moral sama bapak ibumu, apa?
Udah gitu pakai ngancam-ngancam pula. Bilang bahwa dia jurnalis dan punya backing orang penting. Sepenting apa, sih, emangnya? Mau sok-sok an punya kuasa di depan perempuan gitu? Idih, najis! Lanangan model opo ngono kui?! Nek serakah mending rasah ngeband! Nyalon o dadi presiden wae ben koyo wong kui!
“Sekarang aku nggak takut ancaman, aku perempuan, aku berpegang teguh keadilan.” begitu tulis Fanny Soegi. Memang harus begitu, harus berani selama kita ada di jalan yang benar. Dan jika Mbak Fanny nggak takut melawan, kami juga nggak takut membantu. Kami bersamamu, Mbak Fanny!
Penulis: Iqbal AR
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 3 Kesalahpahaman Netizen Soal Diberlakukannya Royalti Musik dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.