MOJOK.CO – Jamet itu “jajal metal” yang jadi sematan khusus buat anak Madura di video TikTok. Gabungan keduanya katanya jadi kami: jamet Madura.
“Madura keras bos! Arapah tak taremah colo’en? Carok cong! (Madura keras, Bos! Kenapa nggak terima mulutmu? Ayo berkelahi!).”
Sayup-sayup saya dengar suara umpatan dari dalam kamar ponakan saya. Dia masih umur 13 tahun.
“Hahaha, nganuh, lagi bikin video TikTok, Om.”
Oke, selama ini saya tidak masalah dengan aplikasi tersebut dipakai oleh ponakan saya, daripada situs porno, secara normatif video TikTok ini jelas jauh lebih baik, hanya saja mulai malam itu saya jadi harus berpikir ulang.
Ragam video TikTok jelas telah mengubah ponakan saya menjadi anak muda yang jauh berbeda dari saya ketika muda dulu. Walaupun ponakan saya tidak sampai tawuran, tapi dia mulai aneh ketika merengek untuk merebonding rambutnya yang sedikit gondrong karena libur pandemi.
Parahnya lagi, di umurnya yang masih SMP itu, dia sudah mulai meneror kakak saya untuk dibelikan motor Vixion—yang saya yakin akan dimodif menggunakan pelek ruji kecil seperti sepeda ontel, plus knalpot dibikin berisik ala corong TOA sumbangan pembangunan masjid.
Sarung mini dan celana panjang yang kependekan sudah mentereng di lemarinya. Ditemani kopiah hitam yang tinggi semampai. Di komunitas kami, peci itu disebut peci angkuh karena tingginya bisa melebihi Burj Khalifa.
Sandal tidak ketinggalan, sandal kebesaran dia bukan swallow lagi kayak geng Madura saya dulu. Sekarang dia sudah pakai sandal—yang entah kenapa—hampir seragam dengan kawan-kawannya. Sandal selop dengan lingkaran garis-garis yang pokoknya khas banget.
Lalu dia akan keluar bersama teman-temannya berjoget-joget khas dengan dobelan kemeja flanel atau jaket levis robek-robek yang kemudian dandanan itu akan dikomenin, “YAK MANUSIA MODEL JAMET MADURA MULAI BERAKSI.”
Buat kamu yang nggak paham, jamet itu maksudnya “jajal metal”, orang yang pakai atribut-atribut metal.
Nah, jika dulu sematan itu merupakan sematan netral, sekarang “jamet” jadi sebutan ceng-cengan—terutama buat kami, orang-orang Madura.
Kadang-kadang itu disandingkan sama “kuproy” artinya kuli proyek.
Istilah “jamet kuproy” itu artinya orang-orang yang gaya naturalnya adalah level kuli proyek bangunan sedang berdandan sok keren pakai atribut-atribut metal dengan rambut rebondingan. Meski kebanyakan orang-orang pakai istilah singkat ini: jamad… jamet Madura.
Oleh sebab itu, bukannya bakal jadi keren beneran, tapi jatuhnya malah norak dan bisa merusak kornea mata bagi yang melihatnya. Katanya begitu. Katanya.
Saya kurang tahu pasti kapan dimulainya tren dandanan dan istilah “jamet Madura” itu, yang pasti dari video-video TikTok, saya kerap kali menemukan komentar yang udah jadi semacam stereotipe bagi orang-orang Madura kayak saya.
Kira-kira begini bunyi komentarnya, “Nggak semua orang Madura di video TikTok itu jamet. Cuman sayangnya, semua jamet di TikTok itu kok ya kebetulan orang Madura semua!”
Coegh!
Jelas itu komentar yang berlebihan, tetapi kok setelah saya observasi di video TikTok belakangan ini, saya malah jadi bertanya-tanya… apa jangan-jangan memang begitu ya?
Setidaknya, keponakan saya yang masih ospek soal mimpi basah tadi juga kadang suka berdandan ala jamet Madura video TikTok demi kepentingan FYP.
Demi Tuhan, saya tidak tahu referensi apa yang didapat keponakan saya pakai berdandang kayak begitu. Niatnya mau gaya style nabrak-nabrak macam gaya Atta Halilintar digabung sama gaya rambut jenglot.
Pada awalnya, saya rasa itu semua soal selera. Selera orang-orang kota, orang-orang Jakarta, orang-orang metropolitan yang gayanya emang elegan dan keren-keren semua, hapasti kaget lihat gaya jamet kuproy orang Madura di video-video TikTok.
Dan kebetulan, selera orang Madura kayak kami dianggap nggak linier. Kemampuan ekonomi dan sosial di strata bawah, tapi selera tetep mau keren . Akhirnya ya nabrak. Warna gradasi mana yang keren dan mana yang norak jadi acak.
Lagian, sebagai Madura—walau hanya Madura swasta, Madura Pandalungan, Madura yang bukan lahir di Pulau Madura—saya sejujurnya malah bangga dengan munculnya jamet Madura begini. Soalnya, kayak ada semacam bau-bau perlawanan revolusi sosial di sana.
Kenapa istilah keren hanya milik orang-orang kota dan orang-orang kaya? Kenapa orang udik kayak kami nggak boleh gaya? Norak kan menurut situ. Lagian kalau memang nggak suka, kenapa nggak skip aja? Katanya media sosial itu arena berekspresi dengan bebas?
Lah terus kenapa freedom of speech atau freedom of expression cuma jadi milik anak orang-orang kaya? Kenapa anak penjual sate Madura, anak penjual bebek Madura, anak kuli bangunan, nggak boleh ikut-ikutan bergaya?
Di sisi lain, toh saya yakin ada banyak anak-anak muda Madura kayak keponakan saya itu tidak ambil pusing dengan ledekan-ledekan mulut nitizen. Itu malah jadi stimulus bagi anak-anak muda Madura.
Jangankan cuma di medsos, ledekan sebagai pencuri baut Jembatan Suramadu saja kami balas dengan ketawa-ketawa. Ledekan pencuri besi di Priok, di Jembatan Ampera, kalau ada baut-baut yang ilang, selalu orang Madura yang tertuduh pertama. Tapi kami nggak apa-apa, disenyumin aja.
Itulah yang saya jelasin ke keponakan saya di sela-sela kegiatannya membantu usaha dagang orang tuanya.
Saya jelasin ke dia, nggak apa-apa kalau mau jadi gaya-gayaan jamet Madura. Asalkan konsisten. Sebab, selera fashion style itu urusannya konsistensi. Falsafah sih nanti bakal muncul sendiri.
Rap, hiphop, jazz, bikin graviti, capoeira, juga dulu muncul karena melawan arus utama. Dihina-hina juga awalnya, nggak apa-apa juga.
Saya jelasin juga hal itu ke ponakan saya tadi. Sebagai bangsa, kita ini sudah cukup tua bernegara, jadi seharusnya stigma kesukuan tak lagi ada, yang ada ya tinggal ke-unyu-annya. Semua sama kok di tengah gempuran invidualisme masing-masing orang di media sosial.
Lalu sambil mentoyor kepalanya saya bilang…
“Sudah sana, nari-nari ala jamet Madura lagi! Jangan pedulikan kata orang kalau… di dunia yang sudah 2021 ini di Madura kita masih ada di tahun 2005. Dan kita bangga dengan itu semua.”
BACA JUGA Tawaran Terbaik dari Orang Madura dan tulisan soal Madura lainnya.