Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Cerita Seorang Anti-Cium Tangan yang Hijrah Menjadi Pro-Cium Tangan

Haryo Setyo Wibowo oleh Haryo Setyo Wibowo
12 Agustus 2017
A A
esai LEBARAN menyatukan mojok

esai LEBARAN menyatukan mojok

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Kegalauan milenial terpenting sesudah bubur ayam diaduk atau tidak diaduk adalah soal cium tangan.

Setelah hidup berpuluh (atau bahkan ratusan?) tahun, budaya cium tangan hari ini telah bertransformasi ke dalam empat bentuk. Secara definitif namanya tetap cium tangan, tetapi pada praktiknya, cium tangan dilakukan dengan (1) mulut-tangan, (2) dahi-tangan, (3) pipi-tangan, dan (4) menempelkan dahi ke tangan sendiri saat salaman.

Mana yang betul?

Di Barat, lumrah terjadi laki-laki mencium tangan perempuan. Itu lebih ke bentuk kekaguman, seolah hendak mengatakan, “Ini lho, aku, begitu memujamu dan mendambakanmu.” Kalau di film-film, adegan ini satu paket dengan membukakan pintu mobil.

Ini jadi membuat kita berpikir, apa perempuan di sana itu mbeler-mbeler selalu minta dilayani atau laki-lakinya kelebihan energi? Sementara, sedikit pun mereka tidak mempunyai kehendak untuk mencium tangan orang tuanya. Apalagi membukakan pintu untuk mereka.

Ciuman tangan sebagai pernyataan rasa hormat dan bukti kesetiaan dapat kita lihat pada film terbaik sepanjang masa: The Godfather. Jika Vito Corleone sudah memberikan “penawaran yang tidak dapat ditolak”, orang yang dimaksud harus datang menghadap dan mencium tangannya.

Di Indonesia, cium tangan bertujuan sebagai penghormatan. Dilakukan oleh orang yang muda ke yang lebih tua. Tapi, kadang menimbulkan kebingungan juga ketika kedua belah pihak usianya setara dan sama-sama terhormat. Jadi saling sungkan siapa yang harus lebih dihormati. Kasus demikian pernah terjadi antara Yusuf Mansyur dan Buya Yahya di Cirebon. Mereka terlihat gantian cium tangan. Itu lumayan bikin bengong untuk orang awam walau sebenarnya malah jadi lebih adil.

Soal empat praktik cium tangan tadi, yang nomor empat (menempelkan dahi ke tangan sendiri) memang yang paling ajaib.

Sepertinya pengaruh itu sebagian datang dari ajaran Tante Kalis Peggy Melati Sukma. Aneh? Pasti! Tetapi itu sudah membudaya. Orang menyadari itu tapi tidak mampu berbuat banyak.

Saya pernah membaca tulisan seorang aktivis bahwa cara cium tangan yang salah menjadi salah satu penyebab korupsi marak di Indonesia. Dengan semangat dia memaparkan, “Lihat saja, ngomongnya cium tangan, tapi nempelin tangan ke dahi atau pipi.”

Nah, ini mulai gawat. Apakah artinya KPK harus turun tangan? Apakah Fahri Hamzah harus memobilisasi DPR untuk menentukan KPK boleh atau tidak mengintervensi perkara cium tangan? Perlukan ada slogan baru berbunyi “Berani mencium tangan, hebat!”?

Tapi, sebagai orang tua yang bijak, harusnya kita mencari akar permasalahan. Kenapa generasi milenial malas cium tangan yang mencium tangan beneran?

Kemungkinannya, satu, takut bau. Aroma menyengat bawang, terasi, ikan, duren, atau nasi padang kurang disukai. Itu kalau yang dicium tangannya Ibu-ibu. Kalau tangan neneknya, besar kemungkinan beraroma minyak kapak, Rheumason, dan param kocok. Bagaimana dengan tangan bapak-bapak dan kakek-kakek? Ada di kemungkinan kedua.

Dua, mereka sadar kesehatan. Mereka menghindari terhirupnya bakteri melalui hidung dan mulut. Pipi dan dahi akhirnya yang mewakili tradisi tersebut. Apalagi tangan bapak dan kakek-kakek kadar higienisnya sangat memprihatinkan.

Iklan

Saya sendiri dulu bukan tim cium “mulut-tangan”. Di keluarga saya, tidak ada tradisi itu. baru ketika saya pacaran dengan perempuan yang sekarang jadi istri ada sedikit perubahan. Kok ya tiap saya mau pulang dari apel, si Cinta pakai acara cium tangan. Hal yang sungguh saya sayangkan kenapa tidak lebih dari itu.

Revolusi terjadi setelah menikah. Istri secara khusus meminta, lebih tepatnya mengharuskan, saya untuk cium tangan mertua.

“Harus?”

“Lha iya, Mas. Mau nggak dianggap anak?”

Wah, ini urusan kok jadi ngeri. Demi cinta ya tetap saya lakukan walau ragu dan pasti kurang nyaman. Pertama kali terlihat kikuk sekali.

Tapi, lama-lama saya terbiasa dan kemudian, mulai mencium tangan orang tua sendiri. Fantastis. Pertama kali mencium tangan Ibu, bau bandeng.

Beliau juga sepertinya membatin, Ini anak mencurigakan, tidak seperti biasanya, apakah dia sudah mendapat hidayah? Biasa juga cium pipi kanan pipi kiri ala orang bule.

Sejauh ini orang tua tidak mempermasalahkan, bahkan mempertanyakan pun tidak. Walau ada saat ketika mau dicium tangannya, seperti hendak menarik tangan. Mungkin anak laki-laki satu-satunya ini terlihat seperti hendak menggigit.

Ketika hijrah ke Jakarta, saya dapati di sini cium tangan membudaya masif. Pernah ada kejadian, suatu kali saya harus menggantikan seorang dosen untuk mengajar kelas ekonomi mikro. Apa yang terjadi begitu mengejutkan. Setiap mahasiswa dan mahasiswi yang masuk kelas menciumi tangan saya. Sebagai informasi, kelas itu diikuti 70 orang.

Itu pengalaman yang mengesankan. Perasaan saya melambung dan terharu. Hampir saja mata kuliah tersebut saya ganti dengan pengajian biar semakin adem. Sebab, seumur-umur sekolah di Yogya, belum pernah saya mendapat pengalaman serupa. Masuk ruang kuliah ya nyelonong saja.

Waktu menempa saya dari ateis-cium-tangan menjadi fanatik-cium-tangan. Saya larut dengan kebiasaan itu. Sampai kemudian kebiasaan itu menjadi masalah.

Saat itu saya menyambangi kantor teman, sebut saja namanya Anton. Sudah jelas ada acara standar: salaman. Ketika berhadapan dengan Anton, tangan saya otomatis mengarah ke mulutnya. Sempat ada tarik-menarik. Hampir dia mencium tangan saya.

Dia lalu menyadari dengan cepat dan segera mengibas. Mukanya merah merona. Bukan malu, tapi emosi dan merasa kotor. Beberapa saat kemudian, meluncurlah kata yang begitu universal,

“ASUUU!”

Terakhir diperbarui pada 12 Agustus 2017 oleh

Tags: cium tanganpolemik
Haryo Setyo Wibowo

Haryo Setyo Wibowo

Artikel Terkait

Esai

Bumi Manusia dan Pembaca yang Boro-Boro Nonton, Sudah Buru-Buru Kecewa

29 Mei 2018
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.