Silakan berdebat tax amnesty itu penting atau tidak. Silakan pula bersilat lidah dan saling beradu buih ludah apakah tax amnesty ini memberikan angin segar bagi penjahat keuangan kelas kakap atau kepentingan jangka panjang menarik dana untuk memutar roda perekonomian. Yang pasti, saya mendukung program ini. Dan karena ini adalah tulisan saya, kalian tak bisa mendebatnya dalam tulisan yang sama. Kapok!
Mari kita mulai.
APBNP 2016 mencapai Rp2.082 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp1.300 triliun digunakan untuk belanja pemerintah pusat. Lalu Rp776 triliun sisanya digunakan untuk transfer ke daerah (Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus) plus dana desa.
Untuk menutupi belanja negara, uangnya dipenuhi dari pendapatan negara dan hibah dengan total Rp1.786 triliun. Sisanya dicukupi dari menerbitkan surat utang. Semester I 2016, total utang negara sudah Rp277 triliun.
Sudah, ya, tidak usah dibahas mengapa negara harus utang. Macam kalian bisa beli rumah tunai saja. Beli motor seken saja nyicil kok nyinyiri pemerintah dan utangnya. Ra mbois blas.
Kondisi ekonomi dunia yang masih berat kemudian sangat berdampak ke dalam negeri. Usaha-usaha yang dulu jadi jagoan, sekarang melempem karena harga komoditas yang jatuh di bawah harga keekonomisan.
Walau ekonomi Indonesia masih tumbuh 5%, namun kondisi tersebut membuat upaya menarik pajak bukanlah hal mudah. Defisit semester pertama 2016 sudah 1,83% dari PDB. Agak ngeri-ngeri sedap, kalau kata Bang Sutan Bhatoegana.
Nah, kondisi ekonomi yang berat ini bisa relatif tertolong dengan adanya tax amnesty. Target dana tebusan tax amnesty adalah sebesar Rp165 triliun. Sementara target dana repatriasi adalah Rp1.000 triliun. Keseluruhan dana tersebut ditargetkan bisa masuk ke Indonesia dalam jangka waktu 1-2 tahun mendatang.
Pertanyaannya: Mungkinkah?
Ya, mungkin saja. Aset WNI di negara tax haven ada Rp4.000 triliun, ada pula jejak dana ilegal sebesar 2004-2013 Rp2.500 triliun. Kalau caranya tepat dan mereka bisa diyakinkan, pasti uang itu bisa ditarik untuk membangun tanah air.
Sekarang bayangkan seumpama program tax amnesty ini sukses besar dan menarik ribuan triliun rupiah masuk, saya mengusulkan beberapa program terobosan harus didanai. Ini serius saya rekomendasikan demi pemerataan perekonomian. Tolong disimak dengan sungguh-sungguh.
1. KPR Amnesty
Rumah adalah kebutuhan pokok yang kerap dilupakan. Agar pangan terjangkau, diimpor produk pangan Rp100-150 triliun per bulan. Baju berbagai macam juga diimpor agar sandang murah buat rakyat. Bahkan pakaian bekas sekalipun didatangkan demi rakyat. Tapi rumah? Rasanya harga tanah dan rumah kian hari kian bikin stres.
Ya, saya tahu kalian mencibir. Oke, mari kita hitung.
Total KPR per tahun kira-kira sebesar 10% dari total kredit perbankan. Jadi, jika pertumbuhan kredit per tahun Rp700 triliun, maka Rp70 triliunnya adalah kredit rumah. Jika 5% di antaranya (Rp3,5 triliun) mengalami kredit seret karena PHK, berkurangnya pendapatan karena force majeur, maka akan ada masyarakat terancam kehilangan rumah.
Rasanya untuk yang mengalami PHK, pemerintah bisa membantu pembayaran sementara. Jika sudah masuk masa mendekati pensiun, bisa juga dilunasi sekalian.
Bagaimana jika banyak yang minta dilunasi? Tetap lakukan. PHK bukanlah salah pekerja murni. Mereka tidak akan lari, hanya butuh waktu untuk mencari pekerjaan baru.
Mengapa untuk mereka yang PHK tidak ada pengampunan, sementara yang melarikan arus uang untuk menghindari pajak justru diampuni?
2. Tunjangan Cuti Hamil Enam Bulan
Sudah saatnya program cuti hamil minimal enam bulan diterapkan dan pemerintah pun harus ikut andil. Segera buat aturan yang dimulai dari PNS, lalu mungkin pekerja formal. Aturan ini diperuntukkan untuk para pekerja dengan level pendapatan tertentu yang tengah hamil anak pertama atau kedua.
Tentu harus ada batasannya. Diatur agar ibu dengan pendapatan tertentu (pendapatan rendah tentunya sangat relatif) mendapat istirahat yang cukup, tidak kehilangan pekerjaan, dan anak mendapat cukup asupan ASI eksklusif.
Coba ngana bayangkan, akan tercipta generasi emas yang didanai dari tax amnesty.
3. Women and Children Crisis Center dan Day Care Gratis
Program ini penting untuk menghadapi banyaknya uang beredar karena program tax amnesty di negeri yang kental nuansa patrineal ini. Dan semakin banyak uang masuk ke negara, harusnya berbanding lurus dengan keselamatan perempuan dan anak dari berbagai tindak kekerasan.
Dengan kata lain: Kekerasan terhadap perempuan dan anak harus menjadi prioritas.
Day Care gratis juga program menarik untuk keluarga di mana suami dan istri sama-sama bekerja. Biaya perawat yang tidak murah tentunya beban bagi pekerja dengan pendapatan pas-pasan. Day Care gratis di kantor atau yang lokasinya dekat kantor sangat menolong kondisi keuangan sekaligus psikologis keluarga.
Ekonomi yang tumbuh tinggi harus diimbangi keluarga yang bahagia dan sejahtera lahir batin.
4. Mengikutsertakan Stakeholders untuk Mengawasi Anggaran
Jika dana sebesar ratusan triliun masuk ke APBN dan ribuan triliun rupiah mengalir ke dana repatriasi, maka akan ada banyak potensi pajak dan pendapatan negara secara ajeg dalam beberapa tahun ke depan.
Untuk ini, negara perlu mengikutsertakan banyak stakeholders. Seluas mungkin dengan berbagai kanal untuk ikut mengawasi belanja anggaran.
Caranya mudah saja, sesederhana anak-anak seusia Awkarin bisa posting laporan via sosial media bahwa pagar sekolahnya ambruk padahal baru dibangun bulan lalu.
Fasilitas pendidikan, kesehatan, sosial, hingga infrastruktur bisa dilaporkan setiap saat dan ditindaklanjuti ketika ada buktinya. Ada tim yang dibiayai negara untuk melihat ke lapangan. Konkrit.
Bukan sekadar jawaban: “Sudah lapor lurahmu?”
Sampai di sini, sudah ada yang nyinyir kalau program-program saya utopis dan hanya terkesan buang-buang uang negara?
Silakan Anda googling: Berapa besaran dana swasembada kedelai sepanjang tahun 2009-2014? Ada pos APBN Rp1,4 triliun selama kurun waktu tersebut. Hasilnya? Luasan lahan kedelai kian turun dan produksi kedelai tahunan juga demikian.
Coba cek juga dana untuk peremajaan dan ekstensifikasi kakao. Berapa triliun uang dikeluarkan dengan alasan meningkatkan produksi kakao dalam negeri? Tahun ini bisa jadi adalah produksi cokelat terburuk dalam 5 tahun, atau bahkan satu dekade terakhir.
Jika dikuliti lagi, banyak program-program nasional yang kita tidak tahu jalan atau tidak. Yang pasti uangnya cair namun hasilnya tidak ada. Swasembada kedelai dan kakao itu cuma beberapa contoh kecil. Siapa yang diuntungkan dari program-program ajaib tersebut? Tentu saja yang memiliki akses ke APBN. Rakyat? Halah.
Bisa dibayangkan jika ribuan triliun masuk dan menghasilkan tambahan sekian ratus triliun pajak setiap tahun. Anggaran belanja akan kian gemuk. Program-program lalalayeyeye akan kian marak. Yang penting bungkusnya keren: Swasembada dan nasionalisme apalah apalah.
Oleh sebab itu, saya bersikeras program-program yang saya usulkan tadi dijadikan rekomendasi serius. Tulisan ini tolong di-cc ke Pak Jokowi biar beliau baca dan panggil saya untuk dijadikan konsultan.
Minimal, setelah baca artikel ini, Pak Jokowi akan sadar bahwa pada 2019 mendatang, beliau akan menghadapi lawan tangguh dalam persaingan merebut kekuasaan.