Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Dongkolnya Soedirman ke Sukarno yang Tak Pernah Mau Ikut Gerilya

Pada 73 tahun silam, tepatnya 19 Desember 1948, Yogyakarta bersua dengan satu hari Minggu yang jauh dari nyaman.

Yosef Kelik oleh Yosef Kelik
18 Desember 2021
A A
Dongkolnya Soedirman ke Sukarno yang Tak Pernah Mau Ikut Gerilya MOJOK.CO

Dongkolnya Soedirman ke Sukarno yang Tak Pernah Mau Ikut Gerilya MOJOK.CO

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Bagi Soedirman, pilihan Sukarno yang menyerah saat diserbu militer Belanda dianggap tidak menghormati jabatan Presiden Indonesia. Sang jenderal kecewa.

Yogyakarta berhati rawan.

Sedari pagi, tepat pada 19 Desember 1948 pesawat-pesawat Belanda menyemburkan hujan peluru, menjatuhkan bom-bom, juga memuntahkan begitu banyak serdadu-serdadu penerjun payung serta penyerbu.

Pangkalan Udara Maguwo di sisi timur kota dengan gelis jatuh ke penguasaan pihak Belanda, dibarengi dengan gugurnya 34 prajurit pengawalan pangkalan dari pihak Indonesia.

Belanda lantas memanfaatkan Pangkalan Udara Maguwo untuk menghilir-mudikkan pesawat-pesawat pengangkut tambahan prajurit maupun peralatan dari kota-kota lain di Jawa, khususnya Semarang dan Bandung.

Itu dilanjut dengan merangseknya satuan-satuan tempur Belanda masuk ke kota Jogja, mengincar target-target yang telah ditentukan oleh duo pimpinan mereka: Letnan Jenderal SH Spoor dan Mayor Jenderal DC Buurman van Vreeden.

***

Termasuk di antara satuan-satuan tempur Belanda yang merangsek masuk kota adalah satu unit elite dengan para personel berkualifikasi komando serta parasutis. Sampai sekitar sebulan sebelumnya, para prajurit unit elite tersebut dikomandani oleh Kapten Raymond Westerling yang tersohor dengan praktik kejinya, khususnya di Sulawesi Selatan.

Namun, dalam aksi hari Minggu itu, unit elite Belanda tadi berada di bawah pimpinan komandan baru mereka, yakni Letnan Kolonel WCA van Beek.

Sekitar pukul 14.00, Van Beek dan para anak buahnya telah berada begitu dekat dengan kompleks bangunan besar yang pada era Hindia Belanda merupakan rumah jabatan Gubernur Belanda untuk Yogyakarta. Dengan segera terkepunglah komplek bangunan besar tadi, yang sejak Januari 1946 menjadi Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Kini bagunan itu lazim disebut sebagai Gedung Agung.

Semula Van Beek dan para prajuritnya sangat mungkin menyangka bahwa mereka akan bertemu pertempuran sengit. Dalam perkiraan awal, bukan sesuatu yang aneh kiranya jika para prajurit pengawal istana akan mempertahankan mati-matian kompleks yang mereka jaga.

Di pihak Van Beek tentu ada saja yang mengira bahwa momen pengepungan dan penyerbuan Gedung Agung akan menjadi kesempatan mereka memamerkan skill terbaik sebagai prajurit komando. Entah itu menembaki satu demi prajurit pengawal secara jitu, atau melempari mereka dengan granat atau pisau, atau juga bergelut adu tinju-tendang-banting.

Namun, skenario yang menjurus kepada puputan ala Jawa itu tidaklah mewujud sebagai kenyataan pada hari itu. Setelah tembak-menembak yang tak terlalu lama, para prajurit pengawal istana ternyata kemudian menyerah. Bukan karena para prajurit pengawal istana tak memiliki niatan melawan, tapi karena Sukarno memang menitahkan para pengawalnya untuk tak perlu sampai menyabung nyawa.

Tak lama kemudian seluruh pengawal meletakkan senjata menuruti instruksi presiden mereka yang bahkan juga telah disepakati rapat kabinet pada paginya. Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta, dan para penghuni istana lantas jadi tawanan Belanda. Mereka ditahan di dalam istana sampai tiga hari kemudian.

Iklan

Pada 22 Desember, Sukarno, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim diterbangkan ke Medan untuk menjalani penahanan di Brastagi; Hatta, Komodor Soerjadarma, Mr Assaat, dan AG Pringgodigdo dibawa ke Pangkalpinang, Bangka, untuk menjalani penahanan di Bukit Menumbing.

Dongkolnya Soedirman kepada Sukarno

Pilihan yang diambil Sukarno, Hatta, dan sejumlah elite Republik Indonesia yang berembug di Gedung Agung pada 19 Desember 1948 pagi adalah sesuatu yang menimbulkan kekecewaan Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia saat itu, Letnan Jenderal Soedirman.

Bagi Soedirman, pilihan Sukarno-Hatta agaknya dianggap tidak menghormati jabatan mereka selaku Presiden dan Wakil Presiden sekaligus Perdana Menteri. Dalam merespons serbuan Belanda ke ibukota Republik Indonesia, Sukarno-Hatta menurut Soedirman semestinya bersedia dan berani ikut menyingkir keluar kota serta turut bergerilya.

Lebih lagi jauh sebelumnya Sukarno dan Hatta pernah berucap bahwa mereka akan pergi bergerilya juga jika Belanda kembali memerangi Indonesia. Demikian dirangkum dari penuturan sejarawan Saleh As’ad Djamhari serta Rushdy Hoesein yang turut dimuat dalam majalah TEMPO Laporan Khusus: Soedirman, edisi 12-18 November 2012.

Pada pertemuan pagi 19 Desember 1948, Sukarno bahkan juga sempat beberapa kali meminta Soedirman yang sakit paru-paru untuk beristirahat saja, tak perlu melibatkan diri pada kegentingan hari itu.

Sukarno membujuk Soedirman untuk tetap saja tinggal di Jogja alias menyerah ke pihak Belanda. Termasuk dalam upaya bujukan itu adalah janji untuk mengontak komandan militer Belanda supaya dapat mengupayakan perawatan rumah sakit bagi Soedirman. Ini tentunya menyinggung harga diri Soedirman selaku Panglima Besar Tentara.

Tak mengherankan jika nanti pada Juli 1949, ketika Pemerintahan Republik Indonesia dipulihkan dan para elite republik kembali ke Yogyakarta dari penahanan maupun dari medan gerilya, Soedirman masih sempat menyimpan kedongkolannya kepada Sukarno.

Kedongkolan ini terekam oleh dua foto Frans Mendur. Sukarno memeluk Soedirman yang sempat lama berdiri saja di beranda Gedung Agung, enggan masuk ke dalam. Di situ, gestur tubuh Soedirman jika diamati memang tampak kaku, tak antusias terhadap pelukan Sukarno.

Penolakan Sukarno-Hatta dan sejumlah elite Republik Indonesia untuk pergi bergerilya saat terjadi Agresi Militer II Belanda, menurut Rushdy Hoesein, adalah awal keretakan hubungan sipil dan militer di Indonesia.

Peristiwa itu sering dipakai juga pihak yang kurang menyukai Sukarno sebagai sikap kurang konsisten maupun kurang bernyali dari Sukarno dan para pemimpin sipil Indonesia.

Memupuskan dalih jahat

Namun, Daud Sinjal, penulis buku Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya yang terbit sebagai kompilasi dan rangkuman memori serta pandangan para alumni Akademi Militer Yogyakarta (1945-1950), justru menilai keputusan Sukarno-Hatta untuk tidak turut bergerilya sudah tepat. Pasalnya pasukan yang mencukupi sebagai pengawal Presiden dan Wakil Presiden jika turut bergerilya sudah tidak tersedia.

Kebanyakan prajurit yang semula berkedudukan di Jogja sudah menyingkir ke luar kota untuk bergerilya. Pilihan menyerah ke pihak Belanda serta menjadi tawanan juga memupuskan dalih jahat Belanda untuk membinasakan Sukarno-Hatta via insiden maupun pertempuran.

Ini berarti menghindarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapatkan pukulan psikologis, politis, dan krisis kepemimpinan karena terbunuhnya dua pemimpin tertingginya. Berhubung Sukarno-Hatta dan sejumlah tokoh RI malah menyerah, maka demi menjaga citra di muka Dunia Internasional, khususnya di depan para sekutunya, ya Belanda lantas terpaksa melakukan penahanan secara baik-baik.

Itu artinya Operasi Kraai alias Agresi Militer II pihak Belanda dapat tercegah dalam hal mencapai level kesempurnaannya sebagai pukulan fatal yang diharapkan dapat mengakhiri riwayat Republik Indonesia.

BACA JUGA 9 Fakta Bung Karno: Dianggap Antek Asing sampai Poliglot 10 Bahasa dan tulisan Yosef Kelik lainnya.

Terakhir diperbarui pada 20 Desember 2021 oleh

Tags: Agresi MiliterbelandasoedirmanSukarno
Yosef Kelik

Yosef Kelik

Periset di suatu museum swasta sejak 2013, juga peracik nama bayi dan jenama usaha sejak 2019.

Artikel Terkait

200 Tahun Perang Jawa- yang Tersisa dari Perang Besar MOJOK.CO
Esai

200 Tahun Perang Jawa: Menyusuri yang Tersisa di Selarong, Bagelen, dan Wates

23 Agustus 2025
Seputar Peristiwa 65 yang Tak Mungkin Ada di Buku Sejarah MOJOK.CO
Esai

Seputar Peristiwa 65 yang Tak Mungkin Ada di Buku Sejarah

30 September 2024
Menelusuri Sejarah Ancol, Pernah Jadi Tempat Jin Buang Anak hingga Tempat Pembantaian MOJOK.Co
Kilas

Menelusuri Sejarah Ancol, Pernah Jadi Tempat Jin Buang Anak hingga Pembantaian

16 Oktober 2023
Suluk Gatoloco dan Serat Darmagandhul, Propaganda Belanda Untuk Menumpas Islam di Jawa mojok.co
Kilas

Suluk Gatoloco dan Serat Darmagandhul, Propaganda Belanda untuk Menumpas Islam di Jawa

17 Agustus 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.