Indonesia memang sedang nggregesi. Lha gimana ndak, nilai tukar rupiah terhadap dolar dari hari ke hari semakin memprihatinkan—bahkan sekarang hampir menyentuh angka 14 ribu. Ini adalah pelemahan rupiah yang terburuk sejak Agustus 1998.
Lebih nggregesi lagi, melemahnya rupiah ini terjadi di masa presiden yang dulu sempat digadang-gadang bakal menstabilkan rupiah di angka 10 ribu. Ya Jokowi itu. Tak urung, Jokowi pun mendapatkan banyak nyinyiran. Wajar dong. Namanya juga negeri absurd. (Kalau di negeri lain mah, presiden itu tugasnya ngurusin rakyat. Lha di sini, di negeri absurd ini, justru rakyat yang ngurusin presiden. Apa ndak hebat?)
Melemahnya rupiah ini tak pelak mengundang keprihatinan banyak pihak, salah satunya dari Ustadz Yusuf Mansur. Melalui akun twitternya Ustadz YM menulis: “270an juta penduduk Indonesia, doa bareng, 40 hari, pake 7 TV Nasional, pagi siang sore malem, beres dah. Dolar bisa langsung di bawah ceban.”
Kicauan Ustadz YM itu kemudian menuai respons beragam dari masyarakat. Banyak yang mengamini, tidak sedikit yang justru menyinyiri.
Sebagai salah satu penduduk twitter, saya merasa bahagia sekali membaca twit Ustadz YM. Karena twit beliau membuktikan bahwa ustadz-ustadz kita adalah ustadz yang senantiasa membumi, ustadz yang down to earth, ustadz yang masih mau turun gunung untuk menyinggung masalah dolar yang notabene adalah perkara yang sangat-sangat duniawi.
Twit itu juga membuktikan bahwa ustadz-ustadz kita adalah ustadz yang trengginas dan mrantasi, yang tidak hanya nglothok soal akhirat, tapi juga fasih menganalisis solusi ekonomi. Yah, meski solusi yang ditawarkan bukan solusi teknis seperti yang sering dibahas pakar ekonomi kelas wahid macam Lin Che Wei ataupun Kokok Dirgantoro.
Untuk ukuran seorang ustadz, bolehlah.
Tapi di sisi lain, saya juga prihatin. Ya gimana ndak prihatin, twit Ustadz Yusuf Mansur itu justru dengan terang memperlihatkan kepada kita sebuah pesimisme yang teramat tinggi. Seolah-olah kalau seluruh rakyat Indonesia belum berdoa maka rupiah tidak akan bisa menguat.
Padahal sebagai seorang ustadz, YM tentu diharapkan bisa menyebarkan optimisme dan semangat yang tinggi untuk menyongsong kemajuan ekonomi. Bukannya malah melemahkan sugesti perekonomian yang harusnya dibangun dengan sedemikian kuatnya.
Kalau ustadznya saja sudah pesimis, terus bagaimana dengan umatnya? Yo piye meneh, memang begitulah dinamika kehidupan di negeri yang absurd ini.
Komentar nakal atas kicauan Ustadz Yusuf Mansur itu pun bermunculan. Ada yang bilang bahwa strategi doa dari Ustadz YM tidak akan efektif, karena apabila 318 juta penduduk Amerika balas melakukan doa bersama maka kemungkinan dolar naik lagi akan lebih tinggi: 318/270 atau sekitar 118 persen.
Belum lagi kalau Cina yang balas berdoa. Dengan penduduk mereka yang berjumlah 1,35 miliar, Cina bisa mem-voor Amerika dan Indonesia: cukup 318 juta warga saja yang berdoa dalam rangka “mengintervensi” langit, sementara satu miliar lebih sisanya tetap bekerja—menjalankan roda ekonomi seperti biasa. Bayangkan bagaimana jadinya, ketika seluruh rakyat Amerika dan Indonesia memanjatkan doa tujuh hari tujuh malam, menghentikan semua aktivitas ekonomi, sedangkan Cina tetap produktif. Lak yo tekor, tho?
Namun terlepas dari segala pro-kontanya, setidaknya kita bisa mengambil dua pelajaran penting dari twit Ustad YM.
Pertama, tentang betapa pentingnya nilai sebuah doa yang dipanjatkan oleh banyak orang. Semakin banyak jumlah orang yang berdoa, maka semakin besar pula persentase kemungkinannya untuk dikabulkan. Dan kedua, betapa ngerinya pertumbuhan penduduk negara kita tercinta ini. Lha mbok bayangkan, dulu, di tahun tujuh puluhan, Wak Haji Rhoma Irama bersama Soneta masih nyanyi “Seratus tiga puluh lima juta, penduduk Indonesiaaaa”, ealah, lha kok sekarang sudah 270 juta.
Baru ditinggal beberapa dekade saja, jumlahnya sudah ndobel. Sampai kaget saya, tidak menyangka kalau ternyata skill reproduksi penduduk Indonesia sudah sedemikian hebatnya. Tapi yo ndak heran sih, karena beranak-pinak memang salah satu kegiatan yang paling enak, mengasyikkan, dan penuh dengan nuansa edukasi.
Ingat, sudah 270 juta lho. Sampeyan masih tega untuk nanya “kapan kawin?”