MOJOK.CO – Kenaikan tarif ojol membuat ibu-ibu di Jogja resah. Pasalnya, tarif ojol sudah sama pentingnya seperti harga sembako. Di sini, dilema terjadi.
Saya mengenalnya sebagai Ibu Ira, usianya 47 tahun, punya 2 anak, dan harus membelah jalanan Jogja-Bantul untuk bekerja. Suaminya, Pak Kasi, usianya 50 tahun, berprofesi sebagai buruh di sebuah sentra kerajinan kulit di Bantul. Bagi Bu Ira, ojol itu sudah menjadi modal utama yang menopang usaha sehari-harinya.
Keluarga Ibu Ira adalah keluarga pra-sejahtera. Uang yang dia dan suami kumpulkan memang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, jika kamu memasukkan unsur biaya sekolah anak, pendapatan keduanya menjadi sangat mepet. Bahkan, sering terjadi, mereka kekurangan. Jangankan menabung, melewati 1 bulan dengan tenang tanpa kecemasan soal ekonomi saja sudah menjadi kemewahan.
Salah satu yang menjadi dilema bagi Ibu Ira adalah biaya transportasi menuju tempatnya bekerja. Jadi, keluarga Ibu Ira mendiami sebuah rumah sederhana di daerah yang dikenal sebagai sentra kerajinan kulit. Sementara itu, dia bekerja sebagai pengasuh anak di daerah Sanggrahan, Kota Jogja. Jarak antara rumahnya dengan Sanggrahan sekitar 21 kilometer. Menggunakan kendaraan roda 2, dia menempuh waktu 30-38 menit sekali jalan.
Nah, kondisinya, keluarga Ibu Ira hanya memiliki 1 sepeda motor hasil lungsuran dari salah 1 keluarganya. Motor tersebut dipakai oleh anak tertua Ibu Ira yang baru masuk SMA. Oleh sebab itu, untuk menuju tempat kerjanya di Jogja, Ibu Ira mengandalkan ojek online atau ojol.
Ibu Ira memilih ojol karena tarifnya yang terjangkau. Maksudnya, biaya transportasi menggunakan ojol membuat pengeluarannya masih terjaga. Namun, ketika tarif ojol sedang naik, hitungan pengeluaran Ibu Ira jadi berubah. Sebuah perubahan yang membuatnya harus menghitung ulang segala kemungkinan.
Bagi seorang ibu di Jogja, Tarif ojol sudah menjadi pengeluaran sehari-hari
Saat ini, untuk menuju Kota Jogja tempatnya bekerja, Ibu Ira harus mengeluarkan Rp40 ribu sekali jalan. Uang Rp40 ribu untuk sekali jalan, bagi keluarga yang serba pas-pasan bukan nilai yang kecil.
Kondisinya, Ibu Ira mendapatkan izin dari tempatnya bekerja mengasuh anak untuk pulang setiap 3 atau 5 hari sekali. Dulu, saat masih bisa menggunakan sepeda motor, Ibu Ira bisa pulang 3 hari sekali. Bahkan bisa lebih sering jika anak keduanya membutuhkan kehadiran Ibu Ira. Maklum, anak keduanya masih SMP dan butuh kehadiran seorang ibu.
Jika Ibu Ira memilih menembus jalanan Bantul ke Jogja setiap 3 hari sekali, artinya dalam 1 minggu, dia membutuhkan biaya yang lebih besar. Sekali jalan, biaya ojol mencapai Rp40 ribu. Artinya, dalam 1 minggu, dia butuh 4 kali perjalanan pulang dan pergi. Maka, dalam 1 minggu, Ibu Ira menghabiskan Rp160 ribu untuk biaya transportasi saja.
Biaya ojol Rp40 ribu itu jika cuaca mendukung. Tarif ojol, tidak hanya di Jogja, akan naik ketika hujan turun. Ini dilema lain lagi yang dihadapi Ibu Ira di musim penghujan.
Oleh sebab itu, bagi ibu pekerja di Jogja, yang ikut berkontribusi di keuangan keluarga, kenaikan tarif ojol bisa sangat merepotkan. Ada banyak hal yang harus dikorbankan hanya demi menutup biaya transportasi. Misalnya, Ibu Ira harus memangkas biaya belanja kebutuhan sehari-hari. Artinya, ada gizi keluarga yang dikorbankan.
Paling dilema adalah ketika harus berhenti menggunakan jasa ojol. Bagaimana Ibu Ira bisa menuju tempatnya kerja di Kota Jogja tanpa kendaraan?
Berbagai pilihan yang tidak mudah
Bagaimana dengan kemungkinan lain, misalnya si anak pertama, mengantar Ibu Ira ke tempat kerja di Jogja dari Bantul? Pilihan itu pernah terlintas. Namun, si anak ini dikejar waktu masuk sekolah. Artinya, sebelum pukul 7 pagi, si anak harus menempuh jarak 21 kilometer ke Jogja, lalu 21 kilometer lagi untuk balik ke Bantul.
Dan, seperti sama-sama kita tahu, lalu-lintas pagi hari di Jogja dan kota besar lainnya sangat padat. Hal ini bisa sangat berbahaya jika anak Ibu Ira harus ngebut mengejar jam masuk sekolah. Selain itu, Ibu Ira juga kasihan jika anaknya sudah kelelahan sebelum waktunya belajar. Makanya, Ibu Ira masih menggunakan ojol meskipun tarifnya naik. Tapi itupun dengan konsekuensi Ibu Ira harus mengurangi pengeluaran lainnya, seperti belanja kebutuhan dapur.
Bagaimana dengan pilihan membeli 1 motor lagi secara kredit? Ini pilihan yang masuk akal juga. Namun, membeli kendaraan artinya ada biaya tambahan. Kalau membeli secara tunai, ada uang dalam jumlah besar yang harus disiapkan. Jika membeli secara kredit, setiap bulan ada biaya tambahan juga untuk mengangsur.
Ibu Ira tentu lebih memilih membeli 1 motor lagi. Namun, keadaan memaksanya mengubur angan itu untuk sementara. Pendapatan pengasuh anak dan buruh kasar tidak memungkinkan keluarga pra-sejahtera ini untuk bermanuver mencari alternatif.
Ibu Ira hanya 1 dari sekian banyak masyarakat di Jogja yang bergantung kepada ojol untuk mobilitas sehari-hari. Mereka adalah orang kecil yang harus mengorbankan banyak hal hanya untuk menutup biaya transportasi. Semoga tarif ojol tidak lagi naik secara signifikan tanpa mempertimbangkan kebutuhan mereka yang sangat menggantungkan produktivitasnya kepada moda transportasi ini. Syukur bisa turun sehingga rakyat kecil bisa bekerja dan beraktivitas dengan tenang.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Sering Diremehkan, Profesi Ojol Malah Menyelamatkan Pemuda Tamatan SMA dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.